Kembangkan Pariwisata Namun Tak Membuat Sejahtera, untuk Apa?

marketeers article

Dalam buku The Art of Travel, Alain de Botton berkata, “Jika hidup kita ditentukan oleh pencarian kebahagiaan, barangkali tiada kegiatan yang bisa mengungkapkan banyak hal tentang dinamika kehidupan kecuali perjalanan”.

De Botton mendefinisikan perjalanan (traveling) sebagai sarana melarikan diri dari kehidupan sehari-hari sekaligus cara membenamkan diri dalam budaya dan tempat di luar kebiasaannya. Traveling pada dasarnya adalah praktik konsumtif, yang bergantung pada hubungan dengan orang, tempat dan mobilitas.

Akan tetapi, penulis dan filsuf asal Inggris kelahiran Zurrich ini justru menuliskan kekhawatirannya terhadap masa depan pariwisata. “Selama beberapa tahun terakhir, kita menjadi sangat sadar bahwa pariwisata bukan sekadar mengamati tempat secara pasif, tapi juga mengubahnya – dan biasanya untuk sesuatu yang buruk.”

Destinasi wisata memang menarik banyak turis untuk berpelesir ke suatu destinasi. Sayangnya, hal itu tak dibarangi kesadaran bahwa turisme yang tidak memikirkan lingkungan sekitar, mampu membuat kerusakan yang parah pada lokasi destinasi tersebut.

Pada akhir 2012, jumlah wisatawan dunia melampaui satu miliar orang untuk pertama kalinya. Sementara turis yang berkembang justru di luar Eropa dan Amerika Utara, di mana jumlah peningkatan turis terbesar berasal dari Negara Asia, terutama China.

Pertumbuhan turisme sepadan dengan potensi kontribusi pembangunan ekonomi negara, yang lebih terasa di negara yang kurang berkembang dimana mata pencaharian masyarakat cukup terbatas. Hal ini sejalan dengan visi UNWTO mempromosikan pariwisata sebagai jalan menuju pembangunan, kemakmuran dan kesejahteraan

“Pariwisata juga disebut-sebut sebagai potensi perdamaian dan pemahaman yang lebih baik di antara masyarakat, karena memungkinkan pengentasan kemiskinan marjinal, cara untuk melindungi potensi alam yang rapuh dan sebagai alat mempromosikan praktik dan pelestarian budaya,” kata Joseph M Cheer, Direktur Pariwisata Internasional Monash University, Australia di acara Loka Karya Pariwisata Nasional: Peningkatan Daya Saing Destinasi Pariwisata di Philip Kotler Theater, Rabu (7/3/2018).

Pertumbuhan pariwisata global di banyak negara juga dikritik karena beberapa hal, salah satunya karena isu lingkungan. Di Venesia, kota dengan 30 juta wisatawan mancanegara dalam setahun itu tengah dihantui sejumlah penolakan pariwisata dari masyarakat lokal. Mereka membawa papan bertuliskan Mi No Vado Via Mi Resto yang dalam dialek Italia berarti ‘Saya tak pergi, saya tinggal.’ Penduduk lokal memprotes meningkatnya harga sewa rumah dan kapal pesiar yang menyebabkan polusi di kota mereka.

Di Indonesia, peristiwa yang berhubungan dengan kegiatan menolak pariwisata memang tak seekstrim di Eropa. Paling banter adalah aksi menolak reklamasi di Teluk Benoa, Bali yang akan dijadikan kawasan resor wisata internasional. Sejumlah media nasional menyebut bahwa warga Pulau Dewata sudah muak terhadap eksploitasi lingkungannya.

“Untuk apa pariwisata, kalau tidak membuat sejahtera masyarakat di sekitar lokasi wisata itu? Kemana uang pariwisata yang berhasil diraih tersebut?” tegas Joseph kepada partisipan yang hadir.

Sebagai akademisi, ia menyayangkan beberapa pemerintah dunia yang lebih memprioritaskan jumlah wisatawan yang berkunjung, ketimbang kualitas yang dilakukan mereka. Target yang besar belum tentu membuat pariwisata tersebut berjalan berkesinambungan.

“Pemasaran memang berhasil meningkatkan demand orang untuk pergi ke destinasi wisata. Nmaun, supply-nya apakah sudah siap? Jangan sampai marketing hanya membuat overpromise ke calon wisatawan?” terang dia.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related