Kolase.com: Musisi Melawan Disrupsi Ekonomi

marketeers article

Era penjualan satu juta kopi sudah berakhir. Digitalisasi membuat konsumsi musik begitu mudah, dan tentu saja menjadi murah. Di sisi lain, digital tidak serta-merta membuat musisi sejahtera. Startup Kolase menawarkan solusi.

Ada untung dan rugi teknologi digital merangsek masuk ke industri musik secara masif. Ketika teknologi belum seperti saat ini, agar seorang musisi mampu membuat karyanya dinikmati banyak orang, harus melewati proses seleksi dari produser atau pemilik label. Mereka tak segan-segan membuang mentah-mentah hasil karya musisi ke bak sampah, dan menawarkan kesempatan bagi musisi lain yang dianggap sesuai dengan selera mereka.

Kini, semua itu sudah mengalami perubahan. Posisi pasar –yang diwakili konsumen- memiliki peran besar dalam menentukan apakah karya musisi patut didengar atau tidak. Tak jarang, lewat berbagai produk digital seperti YouTube dan platform music streaming, musisi lebih senang menjajal pasar dengan melepas satu atau dua buah single terlebih dahulu. Jika respons baik, baru album menyusul kemudian.

Strategi ini tentu membantu posisi musisi. Pasalnya, membuat sebuah karya musik membutuhkan modal. Ongkos produksi rekaman tidaklah murah. Biaya sewa studio, alat musik, hingga post-production semua mesti dibayar dengan uang. Bukan zamannya lagi musisi hanya membuat lagu dan langsung menjualnya ke pasar. Prinsip ‘jika laku Alhamdulillah’, mesti diubah. Alasannya, jika karya tak sukses, musisi mesti menanggung beban dari karya yang mereka buat.

“Banyak musisi yang stres. Sebab, di belakang karya mereka, ada istri dan anak-anak mereka yang mesti dinafkahi. Bagaimana musisi bisa sejahtera jika musik mereka tak memberikan mereka nafkah?” terang Founder & CEO Kolase.com Raden Maulana.

Kolase.com pun mencoba menjembatani antara demand dan supply dari industri musik. Mereka menjadi mediator dalam menghubungkan konsumen (para fans dan pendengar musik) dengan para produsen (musisi) dalam upaya menghadirkan karya yang memiliki nilai ekonomi. Konsep itu dikemas dalam sistem urunan atau bahasa kerennya crowdfunding.

Di Kolase.com ini, penggemar atau pecinta musik bisa membuat kampanye mereka misalnya mengumpulkan dana bagi musisi favorit untuk membuat lagu atau konser musik. Sebaliknya, musisi juga bisa meminta para penggemarnya untuk membantu menyukseskan album yang tertunda karena terbentur masalah dana.

“Kolase.com bertujuan menjadikan industri musik Indonesia benar-benar menjadi industri yang menguntungkan, baik untuk para musisinya maupun fans mereka,” terang Raden saat ditemui di kantornya di kawasan Tomang, Jakarta Barat.

Menurut mantan pemain tambahan dari grup musik Alexa ini, lazimnya sebuah deretan nada-nada yang menghasilkan irama, musik seharusnya dibentuk dari semangat kolaborasi. Dengan begitu, musik menjadi produk yang terus-menerus diproduksi karena melibatkan partisipasi banyak orang.

“Ibaratnya, musisi menerima order dari sekelompok konsumen yang menginginkan mereka membuat karya. Setelah dana terkumpul, itu mampu menjadi pelumas bagi musisi untuk menelurkan karya,” tambah Raden.

Dana tersebut selama ini dihimpun dari orang-orang yang Raden sebut sebagai F4, yaitu friends (teman), family (keluarga), fans penggemar), dan for everyone (dan siapa saja). Kolase akan menarik biaya 5% dari total urunan yang terkumpul dari setiap kampanye.

Bukan Ancaman Label

Jika Anda membuka situs Kolase.com, sebenarnya kampanye atau proyek musik yang bisa dijadikan bahan pengumpulan dana tidak melulu soal memproduksi album. Pengguna (disebut Kolega) bisa membuat kampanye untuk acara live, konser, amal, video music, buku, dan tur dari musisi yang diinginkan.

Kolase juga membuat fitur polling, yang mana musisi bisa mengetahui demografi dan psikografi dari penikmat musiknya. Insight tersebut bisa dijadikan masukan dalam membuat sebuah karya.

Adapula fitur Sponsor di mana sebuah kampanye dapat memperoleh dana dari pihak ketiga, baik brand maupun perusahaan yang tertarik sebagai sponsor. Raden bilang, brand bisa melihat animo pengguna mengenai musik mana yang tengah digemari. Hal ini membantu mereka untuk bisa melakukan sponsored content di dunia musik secara lebih akurat.

“Bagi label, platform kami seharusnya bukan ancaman. Justru mereka bisa mengamati musisi mana yang tengah dicari penggemarnya, untuk kemudian mereka hubungi,” terang dia.

Platform Kolase.com diluncurkan pada Februari 2018. Meski terbilang baru, Raden cukup puas dengan pertumbuhan pengguna mereka. Terhitung sejak pertengahan Juni tahun ini, Kolase.com telah menelurkan 16 kampanye kolaborasi yang berhasil memperoleh dana melebihi dari target urunan yang diharapkan. Adapun total rupiah dari seluruh urunan tersebut mencapai Rp 420 juta dan telah merangkul 12.269 Kolega yang mayoritas berusia 15-25 tahun.

Raden mengakui, yang menjadi “Pekerjaan Rumah” dan belasan pegawai tetap Kolase adalah meningkatkan awareness perusahaan sekaligus edukasi mengenai crowdfunding itu sendiri. Meski sudah mulai bermunculan platform teknologi crowdfunding di Indonesia, namun pemahaman masyarakat terhadap cara kerja dari model bisnis ini pada umumnya masih rendah.

Buktinya, salah satu crowdfunding untuk dunia kreatif, Wujudkan, mesti gulung tikar setelah empat tahun beroperasi di tanah air. Karena itu, melalui branded entertainment berupa Kolase Fest (sebuah pesta musik yang menarik banyak kunjungan kawula muda), startup ini berharap bisa melakukan edutainment, edukasi sekaligus memberikan entertainment.

“Satu mimpi Kolase ke depan adalah mengembangkan platformnya tidak hanya untuk para musisi, melainkan juga pelaku seni lain, seperti muralis, desainer fesyen, desainer grafis, animator, dan lainnya,” tegas Raden.

Kolase memperoleh suntikan seed funding dari perusahaan modal ventura Global Basket Mulia Investama yang didirikan Pendiri JNE Johari Zein senilai US$ 750.000 atau lebih dari Rp 10 miliar. Kolase.com sendiri adalah unit usaha dari PT Kirai Adiwarna Nusantara (Kawan), perusahaan distributor CD musik di Indonesia.

“Bekraf pernah menyebut bahwa omzet industri musik berada paling bawah di antara 12 subsektor industri kreatif di Indonesia. Posisi itu seharusnya bukan industri musik lagi,” tegas Raden.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related