Ketika Komedi Menjadi Tema Utama Iklan Brand di Super Bowl

marketeers article

Di Indonesia, ajang Super Bowl memang tidak terlalu populer. Tidak populer bukan berarti tidak menarik untuk tidak dibahas. Mengingat ajang ini merupakan salah satu ajang ‘pamer’ beragam brand di Amerika Serikat.

Buat yang belum terlalu paham, sedikit gambaran, Super Bowl merupakan babak final dari olahraga American Footbal (Rugby). Di Amerika Serikat rugby lebih populer dari sepak bola. Jadi singkatnya, Super Bowl merupakan final Piala Dunia (atau final Piala Champion Eropa, kalau Piala Dunia terlalu besar) ala American Football.

Pada tahun 2018 ini, penyelenggaraan Super Bowl sudah berlangsung ke-52 dan mempertemukan New England Patriots dan Philadelphia Eagles. Dalam pertandingan ini, Philadelphia Eagles berhasil keluar sebagai pemenang. Selain pertandingannya yang memang ditunggu, aksi Super Bowl Halftime Show juga menjadi salah satu yang dinanti-nanti. Pada tahun ini, penyanyi pria Justin Timberlake yang giliran beraksi di hadapan ratusan juta pasang mata.

Dari sisi marketing, Super Bowl menjadi ajang ketika brand berbondong-bondong untuk mengisi slot iklan. Padahal slot iklan yang tersedia tidak bisa dikatakan murah. Setiap tahunnya, biaya untuk beriklan di Super Bowl selalu mengalami kenaikan.

Untuk Super Bowl tahun 2017 lalu, biaya yang harus digelontorkan oleh brand bila ingin mengisi slot dalam durasi 30 detik mencapai US$ 5 juta atau setara dengan Rp 66 miliar. Tahun sebelumnya, dana yang diperlukan sekitar US$ 4,8 juta. Bahkan, brand masih rela mengeluarkan 25% dari US$ 5 juta hanya untuk menayangkan iklan sebelum pertandingan Super Bowl dimulai. Menurut situs Bleacher Report, tahun 2018 ini untuk slot 30 detik iklan sudah melewati angka US$ 5 juta.

Hanya saja, saat ini ajang Super Bowl mengalami permasalahan tersendiri. Jumlah penonton yang menyaksikan di layar kaca terus mengalami penurunan. Tahun 2017 lalu, pertandingan antara New England Patriots melawan Atlanta Falcon disaksikan oleh 111,3 juta pasang mata. Angka tersebut sudah menurun dari angka penonton di tahun 2016. Sementara tahun 2018 ini, jumlah penonton kembali menurun dari hanya berada di angka 103,4 juta penonton. Jumlah penonton terendah sejak tahunn 2009.

Namun, hal ini tidak membuat brand untuk tidak beriklan di sana. Brand masih beranggapan bahwa Super Bowl adalah ajang pamer yang tepat untuk mempromosikan beragam produk mereka.

Tahun 2017 lalu beragam brand seperti Airbnb, Coca-Cola, dan Budweiser membawakan tema kesetaraan, kesamaan, kebebasan, dan kesempatan di ajang Super Bowl. Tentunya, tahun lalu mereka mengkritisi beragam kebijakan Presiden Donald Trump. Tahun ini sebenarnya tidak terlalu berbeda. Hanya saja ada beberapa unsur yang brand tambahkan untuk menambah appeal di mata calon konsumennya.

Salah satu unsur yang amat ketara dari beragam brand yang muncul di Super Bowl adalah unsur komedi. Brand seperti Tide, Bud Light, Mountain Drew, Doritos, dan Amazon memunculkan sisi humoris dari sebuah brand. Bahkan, beberapa terkesan seperti terlalu bercanda.

Bud Light tampil dengan tema iklan perang kolosal ala seri Game of Thrones. Di tengah pertempuran antara pasukan yang lalim dengan rakyat jelata, muncul Bud Warrior yang dinanti-nanti. Alih-alih membantu perang, Bud Warrior malah memasuki sebuah toko masa depan dan membeli beberapa kaleng bir.

Mountain Drew dan Doritos justru berkolaborasi dalam iklannya. Mereka menampilkan sosok Peter Dinklage dan Morgan Freeman yang beradu aksi lip sync. Tide, justru lebih kocak lagi. Produk detergen ini menampilkan sosok David Harbour yang terkenal dalam serial Stranger Things. David menjelaskan bahwa setiap ada pakaian yang putih dan bersih merupakan iklan dari brand Tide. Tidak lupa iklan dari Tide juga mengkritisi brand lain yang kerap menggunakan formula yang sama dalam beriklan di Super Bowl. Tide setidaknya membeli 90 detik slot iklan, dengan empat video iklan yang berbeda.

David Harbour selaku pemeran dalam iklan Tide menjelaskan bahwa konten iklan yang dihadirkan oleh Tide, bukan tipikal iklan detergen biasanya. “Ini amat menyenangkan buat Tide untuk masuk ke area ini (komedi). Saya menyukai ketika ada brand mainstream yang mengambil risiko seperti ini dan tampil lebih autentik dari pada tampil berpura-pura,” ujarnya pada Adweek.

Selain Tide, beberapa brand juga ada yang menggunakan ajang satu ini untuk mengolok-ngolok brand lain. Salah satunya adalah Wendys yang mengolok penggunaan daging beku yang disajikan oleh McDonald’s.

Super Bowl memang kurang populer di Indonesia, namun ada satu hal yang bisa dipelajari oleh brand di Indonesia. Terlepas dari miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk mempromosikan produknya, ada baiknya brand tidak memanfaatkannya untuk sekadar penjualan saja. Gunakan momentum yang berharga dan mahal seperti ini untuk menegaskan posisi dan karakter brand. Memang amat berisiko. Tapi, kalau mengena, ya dipastikan konsumen akan suka.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related