Komunitas di Balik Keberhasilan Artotel

marketeers article

Siapa sangka, proyek properti tak hanya tersusun dari kumpulan material, melainkan pula dari keterlibatan komunitas di sekitarnya. Jaringan hotel butik Artotel telah menyadari arti komunitas bagi bisnis mereka.

Di era ketika kita dapat berbicara secara maya dengan robot, scanning barang belanjaan secara mandiri di supermarket, hingga layanan antarbarang apa pun, customer service menjadi faceless alias tak berwajah. Didorong oleh generasi millennial, banyak pelaku perhotelan memanfaatkan kekuatan teknologi otomatisasi ini untuk menyediakan pengalaman yang smooth kepada para tamu.

Tentu saja, layanan sempurna masih diharapkan oleh setiap tamu. Akan tetapi, pemain perhotelan yang jeli seharusnya sadar bahwa sudah saatnya melihat service secara beyond alias di luar arti servis itu sendiri.

Artotel, salah satu pemain hotel di Indonesia memahami bahwa servis tidak sekadar dilakukan oleh para staf hotel. Melainkan, servis itu tercipta pula lewat keterlibatan orang di luar hotel, yaitu para komunitas atau masyarakat setempat, di mana hotel ini berada.

Membuka hotelnya yang ketiga di kawasan Sanur Bali, Artotel telah merangkul komunitas, bahkan sebelum hotel ini berdiri. Di atas lahan seluas 3.000 m2, hotel 89 kamar ini dirancang mengusung konsep kontemporer modern, sebuah desain yang menjadi nadi dari setiap hotel Artotel.

Kendati demikian, kisah di Artotel Sanur agak berbeda. Pihak hotel tidak bisa membangun hotel tanpa campur tangan komunitas adat setempat, yaitu Yayasan Sanur. Pasalnya, tidak semua hotel bisa dibangun di destinasi pariwisata tertua di Bali ini. Yayasan Sanur tersebut hanya memilih hotel bintang empat  yang dirasa cocok dan memiliki tujuan membantu menjaga kultur adat setempat, dan bukan malah merusaknya.

“Yayasan Sanur memonitor pembangunan hotel kami. Ada aturan daerah yang mesti kami taati, seperti tinggi bangunan tidak boleh setinggi pohon kelapa. Dan, event-event musik atau DJ tidak boleh lebih dari jam 10 malam,” kata General Manager Artotel Bali, Goya A. Mahmud saat ditemui di Artotel Sanur bulan lalu.

Tidak hanya soal aturan-aturan operasional, Yayasan Sanur menganggap Artotel dapat menjalin kerja sama kepada komunitas-komunitas yang ada di Sanur, baik komunitas adat, komunitas seni, hingga komunitas musik.

Sempat ada keraguan bagi Artotel untuk membangun propertinya di Sanur. Goya bilang, Sanur memiliki adat yang mengakar dan kuat. Di sisi lain, Artotel membawa imej kontemporer yang sarat akan unsur modernitas. Secara kasat mata, dua hal ini dinilai bertentangan.

Akan tetapi, perbedaan itulah yang justru membuat Artotel Sanur berbeda dari berbagai hotel lain yang berdiri di sekitar kawasan tersebut. Sebagai hotel yang mengedepankan seni kontemporer, Artotel menggandeng para seniman Bali untuk memamerkan hasil karyanya.

Misalnya, pada area lobi, pengunjung akan dimanjakan oleh jamuan visual berupa instalasi seni kontemporer bertajuk White Caps karya seniman Pintor Sirait. Begitu juga di setiap sisi interior bangunan didominasi oleh ornamen bermotif layang-layang. Ini merupakan representasi dari tradisi lokal mengenai festival layang-layang yang setiap tahun dihelat di Sanur.

Perpaduan unsur kontemporer dan budaya Bali juga tersemat apik di setiap kamar yang ada di setiap lantai hotel. Pasalnya, kamar-kamar tersebut dirancang oleh tangan desainer lokal yang berdomisili di Bali, antara lain Kemal Ezedine, I Made Wiguna Valasara, Ines Katamso, Natisa Jones, dan Pintor Sirait.

Semua pembangunan Artotel tak bisa lepas dari bantuan para komunitas. “Mereka membuat hotel hidup dan membuat hotel ini bisa menjual dirinya sendiri,” katanya.

Goya melanjutkan, “Ini juga cara kami untuk meningkatkan pariwisata di Sanur dengan menggaet tamu muda, yang mana 70% tamu kami usia 30 tahun ke bawah. Padahal, kita tahu bahwa Sanur merupakan destinasi wisata bagi turis-turis tua.”

Gaet Komunitas Seni

Kebetulan, hanya beberapa radius meter dari lokasi hotel, terdapat sebuah bangunan tempat berkumpulnya para komunitas bernama Rumah Sanur. Di sana, terdapat komunitas seni kontemporer. Artotel pun lantas mengajak Rumah Sanur untuk berkolaborasi.

Setiap bulannya, sebuah pameran seni diadakan dengan tema yang berbeda. Pameran tersebut berlangsung di area lobi hotel, sehingga tamu dapat langsung menikmati hasil karya seniman itu.  Tak jarang banyak tamu yang mengabadikan karya-karya tersebut lewat jepretan kamera.

Karya tersebut juga dapat dibeli oleh tamu hotel dengan 70% hasil penjualan akan diberikan kepada seniman. Goya mengatakan, langkah ini dilakukan untuk mengangkat citra seniman emerging yang memiliki potensi untuk menjadi seniman profesional kelak.

s30-by-valasara

Artotel pun memiliki Art Manager yang mengatur kolaborasi dengan para komunitas, termasuk dengan komunitas Rumah Sanur. Ini bukan berarti setiap seniman bisa menampilkan karyanya di Artotel. Rumah Sanur berperan untuk mengkurasi karya-karya seniman itu dan memilih karya mana yang layak ditampilkan.

Event & Partnership Manager Rumah Sanur Inar Andrea Prakosa mengatakan, kerja sama komunitasnya dengan Artotel lebih sering terjadi secara spontanitas. “Setiap ide yang kami miliki biasanya kami usulkan ke Artotel. Dan, setelah disetujui, barulah program itu berjalan,” tuturnya.

Selain pameran rutin setiap bulan, Rumah Sanur kerap mendatangkan seniman-seniman anyar untuk mengisi art workshop yang diselenggarakan Artotel untuk para tamu hotelnya. Misalnya, Rumah Sanur mengajak muralis asal Belgia, ROA untuk menjadi pembicara di Artotel.

Inar menceritakan, tidak hanya Artotel yang bekerja sama dengan sentra komunitas yang didirikan oleh desainer grafis Arief Ayip Budiman ini. Rumah Sanur kerap menerima pinangan dari banyak merek untuk proyek-proyek kolaborasi.

Alasan merek bekerja sama dengan Rumah Sanur karena merek itu ingin dekat dengan para komunitas.”Brand ingin dikenal oleh para komunitas karena mereka tahu komunitas memiliki ikatan yang kuat antar anggotanya. Sekali merek disukai oleh komunitas, merek ini memiliki pelanggan loyal,” tutur Inar.

Akan tetapi, tidak semua ajakan merek diiyakan oleh Rumah Sanur. Sebab, masih banyak seniman yang memiliki idealis tinggi. Misalnya, seniman yang menolak bekerja sama dengan brand rokok. Meskipun, kenyataannya, seniman itu adalah perokok aktif.

Yang jelas, merek apapun yang ingin bekerja sama dengan Rumah Sanur harus bertekad memberdayakan seniman agar naik kelas. Setidaknya, setelah berkolaborasi dengan merek itu, seniman bisa naik kelas.=

“Misalnya, ada komunitas musik yang didukung oleh salah satu merek rokok. Setelah program berlanjut, musisi itu jadi mendapat publikasi sehingga harapannya memiliki karier cemerlang,” tutupnya.

Editor: Sigit Kurniawan

Related