Komunitas Historia Indonesia Usung Cara Baru Belajar Sejarah

marketeers article

Belajar sejarah tidaklah harus duduk serius di dalam kelas lalu membaca buku atau mendengarkan guru mengajarkan materi sejarah. Belajar sejarah bisa dilakukan secara fun, menghibur, tetapi tetap edukatif. Paling tidak, inilah yang selama ini dilakukan oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI).

“KHI dibangun dilandasi oleh keprihatinan terhadap gejala yang terjadi di masyarakat. Khususnya di kalangan generasi muda. Mereka tidak menyukai sejarah dan menganggap sejarah sebagai pelajaran yang membosankan. Dari sini, kami ingin membangun metode belajar sejarah secara menarik dan disukai oleh anak-anak muda,” ujar Asep Hambali, Sejarawan dan Pendiri Komunitas Historia Indonesia.

Ini tidak tanpa halangan. Justru karena pelajaran di sekolah, misalnya, anak-anak menganggap pelajaran sejarah itu membosankan alias buruknya cara guru mengajar sejarah di kelas. Belum lagi, tayangan-tayangan televisi yang masih minim mengangkat konten-konten sejarah. Sebaliknya, banyak tayangan yang mengangkat hedonisme, konsumersisme, dan pembodohan. Di sisi lain, konvergensi media yang menjadikan akses informasi berada dalam satu genggaman, menjadi tantangan lain.

Tiga Kemasan Baru

Di tengah keprihatinan tersebut, KHI mengusung kegiatan yang bersifat rekreatif, edukatif, dan entertainment. Rekreasi itu metode empirik belajar sejarah karena langsung bersentuhan dengan pengalaman. Caranya, dengan mengunjungi museum, situs sejarah, gedung-gedung tua, dan sebagainya. “Pengalaman langsung ini membuat partisipan dengan gampang mengingat apa yang ia pelajari,” kata Asep.

Sifat edukatif mengusung tiga hal, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Di sini, anggota komunitas mendapatkan pengetahuan, kepedulian dan opini, serta aksi konkret. “Edukasi di sini membuat orang selain makin tahu juga makin peduli dan akhirnya membuat aksi konkret untuk mempertahankan nilai-nilai sejarah ini,” katanya.

Sementara, entertaintment diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan yang menghibur, seperti nonton film, amrazing race, outbond, dan sebagainya. Lalu, dengan beragam macam kegiatan itu, pertanyaan mendasarnya adalah untuk apa belajar sejarah?

“Dengan mengenali sejarah Indonesia, orang akan makin cinta dengan republik ini. Nasionalisme dan patriotisme bisa dibangun melalui komunitas ini. Intinya, belajar sejarah akan menumbuhkan rasa cinta pada Tanah Air,” kata Asep.

Asep menambahkan, anggota komunitas KHI akan makin mencintai Tanah Air karena mereka memiliki ingatan akan sejarah Indonesia. Kalau orang Indonesia tidak memiliki ingatan sejarah, mereka juga tidak akan peduli dengan nasib dan masa depan Indonesia.

“Ingatan Bangsa ini ada dalam ingatan kolektif orang-orang Indonesia. Sebab itu, belajar sejarah itu berjuang melawan lupa. Komunitas ini merupakan komunitas melawan lupa,” kata Asep.

Asep prihatin tidak banyak orang mengenal sejarah Indonesia. Sebab, selama 71 tahun Indonesia merdeka, orang-orang Indonesia hanya diajari dengan panjat pinang dan balap karung – tetapi tidak belajar sejarah. “Inilah pembodohan massal selama 71 tahun tersebut. Bayangkan, generasi yang tak memiliki ingatan sejarah, tentukan akan mudah terombang-ambing dan mudah dikendalikan oleh bangsa lain. Ini yang bakal membuat Republik ini hancur,” katanya.

Mengelola komunitas – khususnya dengan jumlah besar anggota – tidaklah gampang. Termasuk menyampaikan nilai-nilai tadi ke anggota komunitas. “Seperti pahlawan pada era dulu, sekarang kami juga berjuang demi generasi masa depan. Kita masih berjuang mengisi kemerdekaan dan berjuang melawan lupa. Di era teknologi ini, kita dijajah dalam bentuk lain, dalam rupa budaya, gaya hidup, politik, dan sebagainya,” katanya.

Sebagai pengikat, KHI secara rutin menggelar aktivitas yang mengintegrasikan antara online dan offline.  Kegiatan yang sifatnya travelling pun digelar, seperti program menginap di museum, jelajah malam sejarah, games, pemutaran film, pameran, outing, museum week, dan sebagainya. Pada November ini, misalnya, digelar Drama Musikal Katulistiwa yang mengangkat para pahlawan nasional di Teater Djakarta.

“Saya yakin dengan kemasan-kemasan seperti itu, sejarah akan makin disukai dan minati.  Buktinya, event-event yang kita gelar selalu menarik ribuan peminat. Kuncinya, tetap rekreatif, edukatif, dan entertaintment,” ujarnya.

Program Museum Week juga menjadi program tak kalah menarik. Program ini justru digelar di dalam mal selama empat hari. Peminatnya berjibun sekitar 30.000 pengunjung. Asep melihat, kuncinya bagaimana mengemas event tersebut secara kreatif dan inovatif. “Kalau tidak dikemas secara kreatif, kita justru akan kehilangan momentum,” katanya.

Agar makin menjangkau banyak orang, KHI gencar melalukan kampanye online. Kemasannya pun, sambung Asep, harus mengusung kekinian agar menarik dan relevan dengan generasi sekarang. Rata-rata sebulan sekali, KHI menggelar kegiatan komunitas.

Jumlah anggota KHI pada tahun 2012 sekitar 23.000 dan sekarang sudah berkembang menjadi kurang lebih 25.000 dari seluruh dunia dan dari jumlah tersebut 63% adalah anak muda. “Sebenarnya, KHI itu komunitas lintas generasi dan tidak hanya orang muda dan siapa saja bisa bergabung untuk belajar sejarah. Tapi, kami sangat perhatian pada anak muda,” katanya.

Related