Langkah Martha Tilaar Memberdayakan Perempuan

marketeers article

Berbicara mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) di Martha Tilaar Group (MTG), tidak melulu berkaitan dengan perusahaan kosmetiknya, yaitu PT Martina Berto Tbk. Pasalnya, grup ini memiliki banyak unit usaha yang semuanya memiliki andil dalam melakukan aktivitas CSR. Program CSR itu pun dibalut dalam tema besar Beautifying Indonesia.

Aktivitas CSR di perusahaan yang memasuki usia ke-46 tahun ini pun memiliki perkembangan dari waktu ke waktu. Meskipun, tema CSR ada yang bersifat sporadis, namun implementasinya harus selaras dengan empat pilar perusahaan, yang menyangkut Beauty Education, Beauty Culture, Beauty Green, dan Empowering Women.

Beautifying Indonesia tidak hanya mempercantik Indonesia secara fisik. Maknanya luas sekali, mencakup pelestarian alam, mengelolah sampah, dan berbagi pengetahuan juga bagian dari mempercantik Indonesia,” kata Heru D. Wardana, Senior Manager Corporate Social Responsibility MTG.

Karenanya, Heru bilang, CSR itu tidak sekadar charity dan filantrofi. CSR harus mengandung value yang tujuannya untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan.

Salah satu program berkelanjutan yang sudah digagas MTG adalah pendirian Kampoeng Djamoe Organik (KaDO). Di atas tanah seluas 10 hektare yang terletak di Cikarang, terdapat 500 spesies tanaman obat, kosmetik, dan aromatik asli Indonesia.

Dengan koleksi tanaman obat yang lengkap, KaDO juga menjadi wadah penelitian bagi para mahasiswa dan tenaga peneliti untuk melakukan praktik lapang, penulisan ilmiah dan pembuatan skripsi tentang tanaman obat .

Masih di lokasi yang sama, di sana terdapat sekolah terapi. Sejak sepuluh tahun lalu, MTG memberikan beasiswa bagi anak perempuan untuk dilatih sebagai terapis profesional. Para perempuan itu juga mendapatkan fasilitas asrama, serta kesempatan untuk bekerja di Martha Tilaar Salon Day Spa.

Awalnya, MTG mencari anak-anak kurang mampu di desa-desa di Indonesia. Tidak hanya di Pulau Jawa, namun juga Sumatera, Sulawesi, Papua, hingga Pulau Embe, Flores. Perempuan yang diajak bergabung pun juga ada yang memiliki keterbatasan atau difabel.

“Kami kumpulkan perempuan lulusan SD hingga SMA, multietnis dan multireligi, untuk diajarkan mengenai teknik scrub, massage, grooming, komunikasi, bahkan hingga literasi keuangan,” jelas Palupi Candra, Head of Corporate Communication & CSR MTG.

Seiring berjalannya waktu, MTG mulai melakukan registrasi terbuka bagi para perempuan yang ingin menjadi terapis profesional. MTG menggandeng SMK di daerah yang memiliki kejuruan tata kulit dan tata kecantikan. Di SMK itu, MTG melakukan roadshow dan memulai proses perekrutan.

“Bedanya, melatih lulusan SD bisa sampai 6-8 bulan. Namun, siswi SMK hanya 3-4 bulan. Sebab, hal itu berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan daya serap otak terhadap pelajaran anatomi tubuh, meliputi, otot, kulit, dan jaingan. Jadi, tidak bisa sembarangan,” ungkap Palupi.

Ia melanjutkan, MTG tidak mencetak tukang pijat, tapi terapis profesional. “Kami tidak ingin, pelanggan jadi lebam-lebam setelah dipijat mereka. Kendati demikian, masih ada lulusan SD yang menerima beasiswa itu,” terang Palupi.

Sampai saat ini, MTG sudah mendidik sekitar 4.500 perempuan menjadi terapis profesional. Yang bekerja saat ini mencapai 1.000 orang. Setiap tahunnya, MTG membuka dua batch yang masing-masing melatih sekitar 100 orang.

“Beasiswa ini sebenarnya wujud dari keinginan sang pendiri, Ibu Martha Tilaar untuk mencetak beautypreneur di Indonesia. Kita tahu, Bu Martha adalah seorang pendidik. Sehingga women empowerment dan beauty education menjadi pilar kami,” tutur Palupi.

Palupi mengatakan, banyak lulusan terapis tersebut yang kini membuka usaha sendiri di daerah asalnya, sehingga ia dapat menghidupi keluarganya. Bahkan, ada pula yang melanjutkan pendidikan di tingkat lebih tinggi, hingga universitas. Ada pula yang menjadi ahli fisioterapi.

Cerita dari para terapis perempuan itu bermacam-macam. Ada yang berhasil menaikkan haji kedua orang tuanya. Adapula yang mampu membelikan kebun untuk ayahnya agar tidak lagi bekerja sebagai buruh tani, melainkan menggarap ladang sendiri.

“Kalau sekolah komersil, mereka kesulitan mengamati gerak-gerik anak di luar sekolah. Nah, kami mendidik mereka selama enam bulan, lalu kami tempatkan di unit usaha kami. Jadi, pemantauan kami terus berlangsung,” pungkasnya.

Dengan begitu, MTG bisa memonitor dan mengevaluasi attitude anak, meliputi produktivitas bekerja, talenta, dan gaya hidup sang anak. MTG juga membekali mereka tips mengelola keuangan dan menabung untuk masa depan.

“Kami ingin ajarkan mereka agar tahu bedanya kebutuhan dan keinginan. Kami tidak ingin terapis kami seperti para buruh, yang sepulang kerja, sudah ditunggu oleh tukang kredit. Kami ingin mereka bisa menabung untuk membuka usaha atau melanjutkan pendidikan,” tegas Palupi.

Empowering Women juga dilakukan MTG dengan membantu mempayunghukumkan Laskar Jamu Gendong, organisasi yang mewadahi para penjual jamu gendong di Indonesia.

Lewat organisasi itu, para penjual jamu memiliki advokasi untuk bisa mendapatkan pembinaan dari pemangku kebijakan. Lewat itu pula, MTG mengedukasi penjual jamu agar dapat membuat jamu yang higienis. Total saat ini ada sekitar 1.500 anggota di organisasi itu.

Untuk pilar Beauty Culture, salah satu yang dilakukan MTG adalah membuat Roemah Martha Tilaar di Desa Gombong, Jawa Tengah, yang merupakan tempat kelahiran Martha Tilaar.

Di sana, MTG mengajak UKM setempat untuk memproduksi barang yang memiliki added value. MTG juga membantu memberikan edukasi dalam membuat kemasan yang menarik, agar produk disukai konsumen.

“Semua CSR memang bisa bikin program pelatihan. Tapi, bagaimana sebuah pelatihan itu bisa terimplementasi dalam aktivitas sehari-hari, bukanlah hal mudah. Kami harus memacu mereka untuk melakukannya tanpa disuruh,” tutur Palupi.

Palupi menjelaskan, yang menjadi target dari CSR MTG bukan dihitung berdasarkan kuantitas, tetapi kualitas. Target utamanya adalah bagaimana virus kebaikan yang kami sebar melalui program empat pilar tadi, berhasil memperdaya kehidupan orang.

“Sehingga, mereka dapat menularkannya ke orang lain. Hal-hal itu tidak bisa diukur berdasarkan angka,” pungkasnya.

Editor: Sigit Kurniawan

Related