Lima Negara Ini Bisa Gantikan Tiongkok Sebagai Negara “Murah”

marketeers article
55438812 made in china, the chinese flag on a computer keyboard with text made in china

Sekitar sepuluh tahun lalu tidak ada yang mengenal Tiongkok sebagai sentra manufaktur. Bahkan konon dunia barat menganggap remeh Negeri Tirai Bambu. Beberapa tahun kemudian pada 2010 Tiongkok mulai dikenal sebagai negara dengan tenaga kerja murah. Sekarang sang naga berubah menjadi menakutkan. Selain menjadi salah satu pusat ekonomi dunia, manufaktur di sana maju pesat. Bahkan disparitas harga tenaga kerja mereka hanya lebih murah 4% saja dibanding AS.

Sebegitu majunya sektor manufaktur mereka, sampai brand global sekelas Apple rela memproduksi produk iPhone di Tiongkok lewat Foxconn. Dengan disparitas tipis itu juga, mereka kini bukan lagi negara dengan tenaga kerja murah, namun sudah bergeser sebagai pusat manufaktur teknologi kelas menengah sampai atas.

Sejak 2010, rata-rata pendapatan pekerja manufaktur di Tiongkok per tahun naik 80% sampai sekarang. Makanya sekarang status low cost tidak berlaku lagi karena mulai terjadi pergeseran ke arah manufaktur dengan output jauh lebih bernilai. iPhone hanya satu contoh, karena masih banyak produk teknologi tinggi wara wiri di sana terutama produk berbasis mobile. Pemerintah jelas berada di balik semuanya dengan investasi jor-joran yang mereka dikeluarkan.

“Produk buatan Tiongkok sekarang jauh lebih maju dan kompleks. Kualitasnya pun terjaga. Sebut saja smartphone, semi-konduktor, robot, sampai produk manufaktur canggih. Bahkan membuat pesawat pun mereka sudah mulai,” ujar direktur riset IDC Worldwide Robotics Jing Bing Zhang seperti dilansir dari The Diplomat.

Transisi Tiongkok tentu saja membuka ruang bagi negara lain untuk mengisi posisi sebagai negara berstatus low-cost manufacturing. Deloitte memprediksi ada lima negara yang bisa menjadi the next Tiongkok yang juga dikenal sebagai pabriknya dunia. Mereka adalah Malaysia, India, Thailand, Indonesia, dan Vietnam alias “Mighty Five” atau MITI-V.

Menurut McKinsey, sektor manufaktur adalah pusat pembangunan ekonomi sebuah negara. Kontribusinya besar kepada sektor ekspor, inovasi, sampai peningkatan produktivitas. Tiongkok, AS, sampai Jerman masuk sebagai 15 negara paling kompetitif dari segi manufaktur. Tapi dalam lima tahun ke depan menurut Deloitte, MITI-V akan masuk ke dalam kelompok 15 besar tersebut terutama yang berbau low cost.

India

Parameter dari low cost tersebut dilihat dari output industri alias produk diproduksi, lebih ke arah mana. Biasanya negara dengan status tersebut mayoritas memiliki output berupa pakaian, mainan, tekstil, dan produk elektronik namun tidak berteknologi sangat tinggi. “Pakaian dan sepatu sudah diproduksi di Vietnam, Indonesia, dan Bangladesh,” sambung Zhang.

Paremeter lain adalah populasi muda, biaya murah pekerja, kebijakan pemerintah lokal yang mendukung, infrastruktur berkualitas, ketersediaan SDM berbasis manufaktur, sampai pertumbuhan ekonomi. Dari semua faktor itu, India adalah kontender utama dibanding keempat negara lain.

Kekuatan India berasal dari keberadaan SDM dengan skill mendasar sampai tingkat tinggi. Populasinya pun besar, 1,2 miliar penduduk. Memang masyarakat mereka mayoritas miskin, tapi dari segi pendapatan terus meningkat. Lulusan berlatar belakang tekniknya pun diakui.

Dengan membawa slogan “Make In India” pada 2014 lalu, pemerintah lokal pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi terus mendorong investasi luar masuk ke sana. Tidak heran Huawei berkomitmen untuk memproduksi tiga juta smartphone setahun di India. Perusahaan manufaktur Tiongkok Foxconn pun ikut kepincut dengan pembangunan pabrik iPhone senilai US$10 miliar.

Faktor-faktor di atas sebenarnya mirip dengan keempat negara lainnya termasuk Indonesia. Sebut saja Vietnam mulai diserbu perusahaan Tiongkok karena situasi politiknya dianggap adem ayem. Harga tenaga kerjanya pun hanya setengah Negeri Tirai Bambu, plus kelebihan geografi karena posisi kedua negara berdekatan.

Indonesia Jangan Bersedih

Sementara Thailand sudah lama dikenal sebagai basis produksi otomotif, elektronik, pangan, sampai farmasi. Malaysia kuat di sisi obat-obatan, mesin, dan industri berbasis karet. Indonesia potensinya ada di jumlah populasi sebanyak 255 juta penduduk. Itu menjadikannya sebagai negara dengan pasar paling potensial setelah India.

Kelemahannya, Indonesia dianggap sangat tidak mendukung secara infrastruktur. Pasalnya negara ini terdiri dari kepulauan sehingga isu infrastruktur tampak menjadi tidak ada habisnya. Pemerintah lokal juga dinilai kurang bisa mengimplementasikan strategi industrialisasi, terutama di daerah-daerah.

Namun apakah Indonesia perlu bersedih dengan potensinya yang kurang bersinar seperti halnya India? Istilah low cost manufacturing dari konteks di sini memang mengarah kepada tenaga kerja murah. Berangkat dari status tersebut Tiongkok kini menjelma menjadi raksasa manufaktur kelas dunia. Ekonominya terhitung maju pesat. Perusahaan-perusahaan mereka melanglangbuana ke berbagai negara.

Namun Menteri Komunikasi dan Informatika RI Rudiantara punya pemikiran berbeda. Dengan semakin banyaknya perusahaan luar berinvestasi di Indonesia termasuk di sektor manufaktur, membangun SDM murah bukanlah tujuan bijak. Menurut Rudiantara, jika tenaga kerja murah menjadi keunggulan, Indonesia hanya akan mulai dibanding-bandingkan dengan negara lain yang menyediakan tenaga kerja lebih murah.

Isu tersebut punya potensi dimainkan para pemain industri global. Pasalnya faktor tenaga kerja murah mengarah kepada cost murah dalam membuat satu produk. Semakin murah tenaga kerja, semakin murah produk dibuat. Pada akhirnya karena mengejar status murah demi menarik investor, Indonesia bisa ketinggalan jauh. Dan Indonesia tidak bisa disamakan dengan Tiongkok karena banyak faktor.

“Ingat, jangan sampai Indonesia dikenal sebagai negara blue collar karena faktor tenaga kerja murah. Faktor produksi lain pun harus ikut didorong. Indonesia harus punya value lebih daripada sekedar “murah”,” ujar Rudiantara.

    Related