Mampukah Indonesia Berpartisipasi Di Industri Game Dunia?

marketeers article
Banyak orang menganggap game sebagai pemberi pengaruh buruk bagi perkembangan anak. Padahal, stigma tersebut tidak tepat dan menyesatkan. Faktanya, berbagai penelitian dunia menyatakan bahwa game dapat mengurangi depresi, meningkatkan kemampuan mengambil keputusan, dan memacu kerja saraf motorik.
 
“Game itu baik asalkan tahu waktu, dan tidak memainkannya melampaui batas,” kata William Sutrisna, Direktur Pengembangan Bisnis Excellent dan juga seorang game developper di acara Marketeers Creativity Day di Galeri Indonesia WOW! @ SMESCO, Jakarta, Minggu, (24/4/2016).
 
William mengatakan, tidak hanya bermain game yang membuat seseorang menjadi cerdas, menciptakan game pun juga demikian. Keuntungannya, selain memperoleh apa yang telah disebutkan tadi, lewat game, seseorang bisa mendapatkan uang. 
 
Flappy Bird adalah game sederhana yang berhasil meraup Rp 500 juta perhari lewat iklan yang ada di game-nya itu,” terangnya.
 
Ia menambahkan, Indonesia dengan jumlah penetrasi smartphone yang terus meningkat, akan menjadi pasar menarik bagi perusahaan pengembangan game, khususnya mobile game. Ia menyebut, nilai pasar mobile game di dunia pada tahun 2015 menyentuh Rp 350 triliun. Lima tahun lagi nilainya diprediksi meroket menjadi Rp 700 triliun. 
 
“Sebab itu, kami ingin memajukan industri game di Indonesia. Mengubah mindset bahwa saatnya orang Indonesia membuat game-nya sendiri. Kita besar dalam jumlah. Maka itu, kita harus bisa berpartisipasi dalam industri game dunia,” papar lulusan pengembangan game dari Tokyo University of Technology ini.
 
William melanjutkan, zaman dulu, membuat game itu sulit. Namun, saat ini, cukuplah mudah. Usia 11 tahun dianggap usia yang tepat bagi anak untuk bisa membuat game. Langkah membuat game pun harus dipahami oleh para pembuat game awam, menyangkut konsep dan praktik.
 
“Konsep membuat game diajarkan mengenai hal-hal dasar, seperti layar terdiri dari apa saja. Apa itu piksel. Apa itu input, apa itu output,” kata William yang juga membuka kelas pengembangan game di Galeri Indonesia WOW! ini. 
 
Sedangkan secara praktik, sambung dia, orang bisa langsung membuat game sesuai perannya masing-masing. Ada yang mahir sebagai programer, ada yang sebagai desainernya, sound maker, hingga quality insurance.
 
“Game juga ada tingkatannya. Dari yang 2 dimensi hingga yang 3 dimensi seperti Clash of Clans. Semua itu diajarkan secara bertahap,” pungkasnya.
 
Monetisasi Game
Setelah game dibuat, dan dirilis di pasar, srtategi monetisasi juga perlu diketahui oleh game developper. William menyebut, ada tiga cara memonetisasi game. Pertama, lewat iklan berbayar yang ada di game tersebut, 
 
Kedua, melalui virtual item atau menjual produk atau uang online yang digunakan secara online pula. Ketiga, lewat game berbayar. 
 
“Namun, saya sarankan game-nya gartis dulu untuk meningkatkan user acquisition. Nah, untuk naik ke level berikutnya, pengguna harus bayar,” papar Willam yang masih berusia 23 tahun ini.
 
Sedangkan untuk taktik promosi, game developper bisa memanfaatkan viral marketing dari mulut-ke-mulut. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Flappy Bird yang bisa bergerak viral lantaran game-nya sengaja dibuat sedemikian sulit.
 
“Karena sulit ada pengguna yang berhasil memainkannya, kesulitan itu menyebabkan viral,” pungkasnya.
 
Pembuat game juga bisa memberikan referral promo bagi pengguna yang menyebarkan informasi game tersebut ke media sosial mereka. “Bagi yang sharing di medsos, dapat benefit dari game tersebut, misalnya free item tertentu,” terang William.
 
Editor: Sigit Kurniawan

    Related