Masihkah Industri Toiletris Dominasi Iklan Televisi?

marketeers article
20145937 a young boy is watching a television screen

Keberadaan internet masih belum menggoyang tingkat konsumsi orang pada televisi. Sekitar 95,7% orang masih mengakses televisi. Memang, ada potensi tingkat konsumsi media ini akan turun, namun itu masih lama. Belanja iklan di televisi pun masih terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2014, di kisaran Rp 113 triliun, lalu meningkat menjadi Rp 118 triliun di tahun 2015, dan menjadi Rp 135 trilun pada tahun 2016 lalu.

“Hingga dua bulan pertama tahun ini, belanja iklan di televisi telah mencapai Rp 20 triliun. Masih sama dengan periode yang sama tahun lalu,” kata  A. Adji Watono, Chairman & Founder Dwi Sapta Group, A Dentsu Aegis Network Company.

Walaupun masih tinggi, tidak semua industri terus menambah pengeluaran iklannya di televisi. Beberapa industri justru mengalami defisit alias turun spending iklannya di televisi. Menurut data Nielsen yang dipaparkan Adji, beberapa industri yang mengurangi iklan di televisi adalah otomotif, properti, pendidikan, apparel, dan lainnya.

Sebaliknya, beberapa industri justru terus menggelontorkan iklan di televisi secara besar-besaran. Industri yang belanja iklannya tertinggi adalah toiletris dan kosmetik. Tahun 2016 lalu, industri ini tumbuh 24% dibanding tahun sebelumnya dari Rp 16,7 triliun menjadi Rp 20,6 triliun. Sedangkan pada tahun 2014, industri ini menggelontorkan dana ke iklan televisi hingga Rp 15,5 triliun.

Apakah industri toiletris dan kosmetik bisa mempertahankan posisinya sebagai pengiklan terbesar di televisi pada tahun ini? Sebabnya, terjadi fenomena menarik di industri toiletris ini. Menurut riset Aprindo yang membandingkan year to date (YTD) Februari 2016 dan Februari 2017, di beberapa kategori produk terdapat fakta yang saling bertentangan antara pertumbuhan value dan volume.

Sebagai contoh, untuk kategori skincare, secara volume produk ini minus 2,4%. Namun, secara value skincare tumbuh 3,3%. Lalu, kategori pasta gigi yang secara volume minus 0,6%, tapi value-nya naik hingga 3%. Produk shampo justru turun dua-duanya, volume minus 2,8% dan value turun 1,5%.

“Meski begitu, optimisme harus tetap ada lantaran tahun ini masih menyisakan banyak bulan untuk meraih pertumbuhan. Kondisi ini mungkin hanyalah sentimen negatif pada pasar, bukan penurunan daya beli pasar karena inflasi kita masih di kisaran 3%,” kata Roy N. Mande, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).

Kembali ke pengiklan terbesar di televisi, setelah industri toiletris disusul dengan industri beverages. Nilai iklan industri ini di televisi mencapai Rp 20,2 triliun pada tahun 2016. Tumbuh sekitar 15% dibanding tahun 2015 yang nilainya Rp 17,5 triliun. Industri beverages ini berpeluang menggeser dominasi industri toiletris sebagai pengiklan terbesar di televisi.

Bila digabung dengan industri food, pada dasarnya sudah melampui belanja iklan industri toiletris. Di kategori food, tahun lalu nilai yang ditabur ke iklan televisi mencapai Rp 17,1 triliun.  Tumbuh 17% dibanding tahun 2015 yang nilainya Rp 14,64 triliun.

Selain media televisi yang masih menjadi primadona para pengiklan, ada dua jenis media lain yang trennya terus digemari oleh masyarakat. Dua media itu adalah pay TV dan bioskop.  Pertumbuhan pay TV sejak tahun 2013 rata-rata berada di kisaran 20% setiap tahunnya. Tren peningkatan pelanggan ini diprediksi akan terus berlangsung di masa mendatang.

Tahun 2014, pelanggan pay TV di angka 4,4 juta pelanggan. Tahun berikutnya, menjadi 5,5 juta pelanggan. Kemudian, bertambah hingga 6,3 juta pelanggan di tahun 2016. Dan, tahun 2017 ini prediksinya jumlah pelanggan pay TV menjadi 7,1 juta pelanggan.

“Jadi, televisi masih tetap menjadi primadona bagi pengiklan. Internet terus meningkat trennya, disusul oleh televisi berbayar dan bioskop,” pungkas Adji.

Related