Melihat Debut Martha Tilaar di PBB

marketeers article
Usia yang tak lagi muda bukanlah suatu penghalang untuk memberikan sumbangsih pada negeri dan dunia. Setidaknya hal itu yang telah dibuktikan oleh Marta Tilaar, pengusaha raksasa kosmetika nasional Martha Tilaar Group. Di kala usianya menginjak 63 tahun pada tahun 2010, Martha menjadi salah satu penggagas Global Compact Network Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sebuah inisiatif internasional yang mempertemukan perusahaan swasta dengan badan-badan PBB, organisasi buruh, dan masyarakat sipil, guna mendukung prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, perburuhan, dan lingkungan hidup.
 
Keikutsertaan Martha Tilaar di sebuah badan internasional bukanlah suatu yang diduga-duga sebelumnya. Martha mengatakan, sebuah NGO asal Prancis sempat datang ke pusat perawatan spa miliknya di Kuta, Bali. NGO itu terkesan melihat perempuan-perempuan terapis yang dididik di training center itu, namun mereka tak sepeser pun membayar biaya pelatihan dan tempat tinggal. Ternyata pengalaman NGO itu dilaporkan ke PBB di New York.
 
Ketika itu, pada tahun 2000, Sekjen PBB Koffi Annan sedang menyusun rencana kerja PBB untuk milenium ketiga. Annan ingin mengikutsertakan sektor swasta untuk bersama-sama membantu pemerintah melaksanakan Millenium Development Goals (MDGs) hingga tahun 2015.
 
“Tidak semua negara bisa menyelesaikan persoalan bangsanya. Justru, pengusaha punya kesempatan yang sama untuk membantu pemerintah menyelesaikan permasalahan bangsa,” papar Martha Tilaar kepada Marketeers di rumahnya.
 
Sebagai bagian dari Global Compact, Martha Tilaar melalui perusahaannya PT Martina Berto Tbk, mesti melakukan sepuluh prinsip Global Compact, mencakup hak asasi manusia, hak asasi pekerja, tanggung jawab terhadap lingkungan, dan gerakan antikorupsi. Salah satu yang dilakukan Martha Tilaar adalah dengan mendirikan Kampoeng Djamoe Organik (KADO) di kawasan industri Cikarang, Jawa Barat. Di atas lahan gersang seluas 10 hektare, Martha mengelola lahan itu sebagai hutan buatan yang ditanami tanaman obat kosmetika. Sepuluh tahun berselang, kini ada 700 tanaman obat, sebuah pabrik jamu, dan sebuah klinik obat-obatan herbal di kawasan tersebut.
 
“Dulu, manajemen perusahaan ingin menjual tanah itu senilai Rp 40 miliar. Namun, saya kekeuh untuk tidak dijual. Kini, banyak ahli dari mancanegara datang ke KADO untuk melihat tanaman-tanaman obat langka serta melihat bagaimana kami membangun ekonomi hijau,” ucap Martha yang sempat bersekolah di Bloomington Academy of Beauty Culture ini.
 
Selain menjalankan prinsip-prinsip di atas, setiap tahunnya pula, Martina Berto wajib mengirimkan sustainable growth atau laporan keberlangsungan kepada Dewan PBB. Martha pun selama dua kali setahun menghadiri acara tahunan Global Compact Meeting di New York, Amerika Serikat.
 
Martha mengatakan, dari tahun 2000 hingga tahun 2006, hanya ada 21 pengusaha dalam negeri yang tergabung dalam Global Compact Network. Lewat bantuan CEO & Founder MarkPlus, Inc. Hermawan Kartajaya melalui Indonesia Marketing Association (IMA), sampai saat ini ada 115 pengusaha Indonesia yang tergabung dalam organisasi yang memiliki anggota sebanyak 8.230 pengusaha dunia itu.
 
“Pada tahun 2010 lalu, saya memperoleh penghargaan dari PBB sebagai pengusaha yang terus menerus menyuarakan pilar Global Compact. Bulan ini, kami akan merayakan tahun ke-15 Global Compact PBB sekaligus menyelenggarakan kongres tahunan dengan tema Business as a force for good. Saat itulah, nantinya saya akan mengundurkan diri sebagai Board Member. Mungkin yang akan menggantikan adalah anak saya, Wulan Tilaar atau Bryan Tilaar,” terang perempuan berusia 77 tahun ini.
 
Martha bilang, sebenarnya perusahaan apapun, baik level Usaha Kecil Menengah (UKM) maupun perusahaan berskala besar, bisa menjadi bagian dari Global Compact Network. Syaratnya, mereka hanya menuliskan surat pernyataan yang dikirim langsung kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon dan menjalankan komitmennya. Dari 115 perusahaan saat ini, 90%-nya adalah berstatus perusahaan UKM dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sedangkan hanya 10% yang  dikategorikan sebagai perusahaan besar.
 
“Hanya saja, dalam praktiknya, penyusunan sustainable report menjadi penghalang mereka. Kadang, perusahaan itu tidak bisa membuat laporan yang baik. Atau, ada dari mereka yang tidak ingin transparan, khususnya soal pilar antikorupsi,” cetus Martha.
 
Perempuan kelahiran Gombong, 4 September 1937 ini berharap agar banyak pengusaha Indonesia yang melakukan business for peace alias berbisnis secara berkeadilan. “Jangan sampai bisnis kita mematikan bisnis yang lain. Sebaliknya, kita harus memberikan pengetahuan kepada pelaku usaha kecil untuk mengerti bagaimana menjalankan produksi dan korporasi yang baik. Meskipun usaha itu bergerang di bidang yang sama dengan yang kita geluti,” ucap Martha.

    Related