Melihat Keindahan Unity in Diversity

marketeers article
Closeup portrait of hands joining each other isolated on white background

Terdiri dari beragam suku yang tersebar di berbagai daerah membuat Indonesia kaya akan perbedaan, tak terkecuali soal agama. Bak bensin, perbedaan agama justru sering kali disulut api oleh pihak tak bertanggung jawab. Padahal, Romo Gregorius Soetomo mengatakan di dalam satu agama yang sama pun dapat ditemukan perbedaan. Kemampuan untuk berkaca diperlukan dalam upaya mewujudkan unity in diversity, baik secara lokal maupun global.

Ditemui di Jakarta, Senin (11/12/2017), Soetomo menjelaskan perbedaan sekalipun dapat ditemukan di dalam agama yang sama.

“Sepanjang perjalanan sejarah agama Kristen memang dapat terlihat berbagai perbedaan yang ada. Ada penafsiran yang berbeda antara ajaran Kristen yang satu dengan yang lain. Di dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) saja ada sekitar 89 persatuan gereja yang terdaftar, namun saya yakin lebih dari jumlah ini masih ada di luar sana,” ungkap Soetomo.

Kitab suci Injil memang hanya satu, namun Soetomo meyakini ada begitu bayak ekspresi yang dapat digunakan untuk menafsirkan tiap ayat di dalam injil. Demikian dengan islam yang memiliki berbagai macam aliran. Namun Soetomo menambahkan, ini seharusnya tidak menjadi masalah bagi bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi perbedaan.

“Bukankah Negara kita mengenal Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika? Mayoritas atau minoritas tak seharusnya diperbedakan,” kata Soetomo yang mengenyam pendidikan Pascasarjana dan Doktoral di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Universalisme Islam

Berbicara dari pandangan islam, mahasiswa Pasacasarjana jurusan Islam Nusantara di UIN Jakarta Wildan mengatakan, pandangan Gusdur terkait universalisme islam dapat menjadi contoh baik bagi kaum muslim di Indonesia.

“Universalisme islam yang diajarkan Gusdur memandang islam tidak hanya sebagai simbol, melainkan universal. Ada lima poin pokok ilmu fiqih yang beliau terangkan terkait lima hal dasar yang dilindungi agama, meliputi hifz al-dîn, hifz al-nafs, hifz al-aqli, hifz al-nasl, dan hifz al-mâl,” terang Wildan.

Dari lima hal tersebut, Wildan mengatakan hifz al-dîn adalah poin yang membahas menganai kerukunan beragama. Wildan menjelaskan, Gusdur menafsirkan ini sebagai kebebasan beragama yang memungkinkan tiap individu dalam islam memberikan keleluasaan bagi setiap individu lain untuk menganut agama yang mereka yakini.

Dari nilai-nilai yang disampaikan Gusdur tersampaikan bahwa islam membawa nilai toleransi. Tak hanya islam, Soetomo mengatakan Kristen pun memiliki nilai serupa. Yohanes Paulus II menjadi contoh nyata pembawa toleransi bagi seluruh umat beragama. “Kebaikan dan sikap toleransi yang ia tebarkan kepada seluruh umat di dunia menjadikan ia sebagai sosok yang begitu dicintai, baik oleh umat Katolik maupun agama lain di dunia,” kata Soetomo.

Inkulturasi

Hal penting lain yang harus diperhatikan menurut Soetomo adalah perihal inkulturasi. Beragam suku bangsa dan agama yang ada di Indonesia memang menjadikan Indonesia sebagai Negara yang kaya akan budaya. Hal ini tak lepas dari persoalan keagamaan. Bahkan, Soetomo menambahkan, dari persoalan desain bangunan rumah ibadah hingga cara peribadatan pun bisa mengalami percampuran.

“Visi kultural perlu dibangun. Hal ini merupakan cerminan dari penyatuan perbedaan. Bagaimana bangunan gereja bisa benar-benar terasa lokal, bukan bawaan dari kolonial. Tak melulu harus bernuansa Eropa, di Bali kita bisa temukan gereja dengan sentuhan puri hindu sebagai contoh,” tutur Soetomo.

Wildan menambahkan, pribumisasi islam pun terjadi di beberapa daerah dan penting untuk dijaga. Ia mencontohkan Menara Kudus sebagai satu bentuk peninggalan walisongo yang masih tidak meninggalkan arsitektur kehinduan. Perpaduan antara agama dengan budaya lokal dipercaya Soetomo perlu dijaga untuk menjamin kesatuan atas dasar perbedaan.

Related