Membedah Hubungan Komunitas Olahraga dan Brand (III)

marketeers article
23231583 jakarta october 27, 2013 agustinus benu indonesia runner at jakarta marathon

Sebelumnya dipaparkan seperti apa saja kolaborasi yang bisa dieksekusi antara komunitas olahraga dan brand. Tapi komunitas ini juga pilih-pilih brand, karena mereka punya aturan main tersendiri.

Lalu bagaimana jika ternyata ada brand kompetitor ingin kerja sama? OANC memastikan tidak menerapkan skema eksklusif kepada sebuah brand. Siapapun boleh masuk asal sesuai.

Begitu juga dengan Koskas. Walau dibayar oleh brand untuk mengulas produk-produk sepeda, komunitas ini selalu menekankan bahwa apa yang nanti ditulis dan di-share di media online akan sangat obyektif. Mereka benar-benar mengulas dari sisi positif sampai negatif tanpa sungkan.

“Jika ulsan ditulis bagus tapi ketika publik mengatakan tidak, kapabilitas Koskas akan dipertanyakan dan secara nama bisa tercoreng,” kata Adhiet Satrya, salah satu pengurus Koskas.

Di luar sepeda, Koskas pernah berkolaborasi dengan banyak brand lintas industri. Salah satunya adalah dari sektor properti. Adhiet dan kawan-kawan sudah beberapa kali berkolaborasi dengan pemain di perumahan.

“Mereka mau buat lintasan sepeda. Kami diajak konsultasi tentang bagaimana membuat track sepeda yang baik. Benefitnya lintasan dan spot untuk sepeda yang mereka buat bisa jadi titik kumpul kami,” katanya.

Soal kriteria brand yang diajak berkolaborasi atau sebaliknya, tiap komunitas punya pengangan masing-masing. Bisa dikatakan, hampir semua komunitas olahraga mengharamkan kolaborasi bersama produk yang kontra dengan gaya hidup sehat, seperti rokok. Bahkan, bukan hanya menolak dengan perusahaan rokok, yayasan yang didirikan perusahaan rokok pun pernah mereka tolak. Selain itu, mereka juga pernah menghindari kerja sama dengan produsen minuman bersoda.

“Yang paling penting itu visi. Sama atau tidak. Kami dulu hanya sekumpulan penghobi lari. Sekarang tujuan kami ingin menebar virus lari. Tapi, kami ada edukasinya juga, seperti bagaimana persiapan lari yang benar. Sebab, ada saja brand yang datang ke komunitas hanya mencari massa. Kalau ada yang begitu, kami tidak mau. Selain itu, pendekatan mereka bagus atau tidak. Pada akhirnya ada yang memang berjodoh karena chemistry,” ungkap Yasha lagi.

OANC pun satu frekuensi dengan Indorunners yang menolak. Mereka punya alasan mengapa enggan berkolaborasi dengan brand rokok, bir, atau dewasa lainnya. “Kalau ada anak kecil, maka menjadi tidak etis jika ada brand rokok atau bir,” sambung Ricky.

Berbeda dengan OANC dan Indorunners, Koskas lebih terbuka dengan brand seperti bir dan rokok. Tapi dengan syarat, tidak boleh hard selling ketika acara berlangsung. Adhiet mengatakan pernah berkolaborasi acara dengan Djarum dan LA Light.

Mereka diperbolehkan membuka stand, namun tidak boleh berjualan rokok. Sebaliknya, perseroan hanya membagikan merchandise di luar rokok, seperti bagi-bagi voucher. Bahkan, Adhiet dan kawan-kawan tidak sungkan untuk memberikan beberapa sepeda untuk di-branding oleh merek-mereka itu.

“Hal paling penting dari kerja sama dengan brand adalah kesamaan visi antara komunitas dan brand,” pungkas Adhiet.

Editor: Sigit Kurniawan

    Related