Menengok Strategi Go-To-Market Sunpride

marketeers article

PT Sewu Segar Nusantara (SSN) memang menjadi pemimpin pasar buah bermerek di Indonesia. Namun, predikat itu saja tidak cukup bagi SSN, si pemilik merek Sunpride, untuk bisa menguasai pasar. Banyak tantangan yang mesti ditaklukan SSN di pasar domestik.

Badan Pusat Statistik menyatakan, pasar buah segar di Indonesia pada tahun lalu sebesar Rp 290 triliun. “Jika dibandingkan dengan pasar total buah di Indonesia, penjualan kami menguasai 1%. Masih sangat kecil. Namun, potensinya masih besar,” terang Luthfiany Azwawy, Marketing Manager SSN saat kunjungan ke perkebunan Sunpride di Lampung Timur, Kamis, (25/8/2016).

Selama ini, buah yang ada di dalam negeri masih didominasi oleh buah impor. Bahkan, ada yang menyebut bahwa 70% buah yang ada di Indonesia saat ini berasal dari Tiongkok.

Alasan itulah yang membuat pemerintah Indonesia untuk berani menutup keran importir buah Tiongkok demi memacu penjualan buah lokal. Meskipun, pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak diprotes oleh penjual buah di Tanah Air karena harga buah jadi melonjak lebih dari 100%.

“Sister company kami, PT Nusantara Tropical Farm (NTF), berencana untuk meningkatkan produksi buah Sunpride hingga 20 juta boks sampai tahun 2020,” kata Luthfi. Dengan satu boks setara 13 kilogram, artinya Sunpride bisa menjual buah segar setidaknya 58.500 ton dalam setahun.

Selama ini, Sunpride hanya mendistribusikan buah-buahan tropis, seperti pisang cavendish, pepaya, jambu, nanas, dan buah naga. Semua buah-buahan itu masih dibudidayakan di perkebunan seluas 3.700 hektare di Lampung Timur. Perkebunan itulah yang dikelola oleh NTF.

“Untuk produksi tahun ini, kami akan tingkatkan menjadi 5 juta boks. Tahun depan 6 juta boks. 80% produksi masih didominasi oleh pisang cavendish,” ujarnya.

Sebagai perusahaan yang bertugas untuk memasarkan produk, SSN mengamati apa yang menjadi kebutuhan konsumen akan buah segar. Ia melihat, selain pisang, nanas punya potensi untuk tumbuh.

“Volume produksi nanas akan meningkat hingga tiga kali lipat sampai tahun 2020 dari 419 ribu boks tahun ini. Permintaan nanas Honi meningkat luar biasa,” tegasnya.

Masalah Distribusi
Yang menjadi tantangan SSN saat ini justru distribusi. Dengan infrastruktur Indonesia yang masih belum merata, ditambah dengan sifat buah segar yang tak bisa bertahan lama, buah Sunpride sulit terdistribusi merata secara nasional.

Sampai saat ini, Sunpride baru bisa ditemui di delapan kota, di antaranya Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali.

“Karenanya, kami bekerja sama dengan petani lokal untuk membudidayakan buah lokal, seperti pisang baranang dan raja kepok di berbagai daerah. Ini dilakukan agar semua orang bisa makan buah-buahan lokal,” ujar Luthfi.

Ia menambahkan, “Mencari mitra petani untuk sama-sama mengembangkan buah berkualitas itu tidak mudah. Target kami itu 200 petani, tapi sampai saat ini baru 100 petani,” terangnya lagi.

Sementara itu, keberadaan ritel modern, baik supermarket maupun minimarket, memang membantu merek untuk dekat ke konsumen. Namun, beberapa ritel modern, khususnya hipermarket, banyak yang harus gulung tikar.

Kondisi ini berdampak pada pendapatan SSN di pasar modern yang sempat menguasai 80% dari penjualan buah miliknya. “Pertumbuhan supermarket dan hipermarket melambat. Di sisi lain, pertumbuhan minimarket seperti Indomaret dan Alfamart meroket 300%,” tutur Luthfi.

Oleh sebab itu, mulai tahun ini, SSN akan mengubah porsi distribusinya selama ini, yaitu sarang 50% antara general trade (GT) dan modern trade (MT).

“Kami akan genjot distribusi di GT agar semakin banyak konsumen dapat mengonsumsi buah Sunpride,” tuturnya.

Kendati demikian, ia mengakui bahwa melakukan kesepakatan dengan MT jauh lebih praktis ketimbang dengan GT. Namun, untuk urusan profitabilitas, GT memberikan margin keuntungan lebih tinggi ketimbang MT. Apalagi, GT biasanya membeli secara tunai, bukan utang.

“Kami juga sarankan kepada penjual buah untuk tidak mengambil buah dari kami dalam partai besar sekaligus. Sedikit-sedikit saja, namun laku dan berkesinambungan,” timpalnya.

Meningkatkan awareness merek Sunpride juga terus dilakukan SSN. Salah satunya dengan turut mensponsori Jakarta Martahon yang setiap tahunnya menarik animo sekitar 15.000 peserta.

Lantas, mengapa SSN tidak meningkatkan penjualannya di minimarket? Luthfi menjawab, minimarket selama ini lekat dengan imej sebagai lokasi pembelian produk consumer goods (FMCG), seperti makanan instan dan snack. Alhasil, ruang gerak fresh food, termasuk fresh fruit, menjadi terbatas.

“Di minimarket, kami masuk dengan pisang Single yang dijual satuan. Adapula jambu biji. Di minimarket, tak bisa menjual buah dalam jumlah besar. Tak bisa secara kiloan atau sesisir,” pungkas Luthfi.

Dulu, ada rencana SSN untuk membuat ritel sendiri yang menjual produk buah segar, sekaligus buah-buah impor yang didistribuikannya. Namun, secara hitung-hitungan bisnis, rencana tersebut membutuhkan modal yang cukup besar, mencakup sewa lahan, biaya tenaga kerja, dan listrik.

“Kami fokus menjadi distributor saja. Karena sifatnya jual putus ke ritel, sehingga lebih mudah,” akunya.

Editor: Sigit Kurniawan

Related