Mengapa Bus Layak Masuk Tol Tanpa Bayar Alias Gratis?

marketeers article
6383672 silver tour bus on highway in motion. no trademarks

Moda transportasi berbasis online, tiket pesawat kian murah, dan pelayanan kereta api yang kian berkualitas dianggap sebagai faktor pembunuh bisnis bus konvensional terutama antar kota.

Walau masih banyak digunakan, minat masyarakat diklaim berkurang karena faktor-faktor di atas. Bayangkan tiket pesawat Jakarta ke Surabaya bisa didapatkan dengan harga Rp500 ribuan saja. Cepat pula. Bus memang lebih murah, namun dengan waktu belasan jam serta service yang ketinggalan zaman dibanding moda transportasi lain, membuatnya kian terpojok.

“Memang memprihatinkan. Tapi inilah yang namanya kompetisi. Bisa jadi ini adalah kesalahan kita bersama, di mana masyarakat bukan lagi mencari tarif tapi kualitas pelayanan. Biar mahal tapi bisa cepat dengan pelayanan berkualitas, ya pasti dipilih oleh masyarakat,” ujar Plt Dirjen Perhubungan Darat Hindro Surahmat di Jakarta pada Senin (30/10) 2017.

Apa yang diutarakan oleh Hindro memang beralasan. Menurut Presidium Masyarakat Trasportasi Indonesia Muslich Asikin, pada dasarnya memang tidak ada keberpihakan dan insentif langsung dari pemangku regulasi untuk mendukung bertahan dan berkembangnya sektor moda transportasi darat seperti bus.

Menurutnya selama ini semua pihak tidak konsekuen, mau memajukan tapi justru tidak ada langkah kongkrit diambil. “Seperti begini, kenapa bus tidak dibebaskan dari tarif tol. Memang berapa persen sih kontribusi bus ke pemasukan jalan tol? Kecil sekali dan tidak ada pengaruhnya. Katanya ingin angkutan umum maju tapi tidak ada keberpihakan kepada mereka,” ungkap Muslich.

Lebih jauh lagi, banyak sebenarnya kebijakan terkait tarif yang bisa dilonggarkan sebagai insentif memajukan moda transportasi bus. Muslich mencontohkan lagi jika selama ini pengemudi angkutan umum seharusnya bisa dibebastarifkan dari pembuatan SIM.

Alasannya sama dengan kontribusi kepada jalan tol, pengemudi angkutan umum seperti bus yang membuat SIM tidak sampai satu persen dibanding SIM umum. Hanya sayang sekali masyarakat Indonesia sering mengedepankan efek negatif dulu sebelum dilakukan.

“Nanti uangnya disalahgunakan atau apa lah. Tidak usah dipikirkan dulu, lakukan saja. Apa-apa selalu efek sampingnya yang diributkan makanya apapun tidak pernah jadi,” sambung Muchlis.

Selain soal tarif, masalah lahan pembangunan jalan tol juga menjadi sorotan karena modal membuat jalan tol tersebut menjadi aspek ditentukannya tarif. Menurut Muchlis, selama ini yang selalu diributkan ketika membangun jalan tol adalah pembebasan lahan. Itu tidak akan terjadi jika pemerintah berniat membangunnya di atas tanah, karena biayanya dianggap sama namun tanpa embel-embel persoalan pembebasan tanah.

Namun kembali lagi aspek service menurut Hindro, harus dikedepankan. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan sudah banyak moda menggunakannya sebagai platform untuk meningkatkan bisnis mereka, para pelaku industri bus juga harus mulai mengarah ke sana.

“Kita semua harus ikuti dunia teknologi. Sekarang tiket dijual online, dan mau tidak mau bis juga harus coba mengarah ke sana. Sampai sekarang ada sekitar 250 ribu supir angkutan umum termasuk bus tidak berbasis aplikasi. Kalau mereka terimbas karena angkutan online, berapa orang yang akan terkena dampaknya. Kalau setiap supir punya istri dan dua anak, artinya ada satu juta orang akan terhimpit ekonominya,” tutup Hindro.

    Related