Perekonomian dunia, khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia, sedang bergerak menuju ekonomi digital. Perkembangan teknologi menjadi penggerak pertama perubahan tersebut. Organisasi dunia OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menyatakan, inovasi digital diklaim mampu membawa banyak negara lebih dekat pada kemakmuran yang berkesinambungan.
Gagasan tersebut tak bisa disangkal mengingat teknologi telah membuat proses produksi, pemasaran, distribusi, dan sebagainya menjadi lebih efisien dan efektif. Konektivitas yang dibangun pun memampukan banyak pelaku bisnis terhubung dengan akses-akses modal dan pasar yang baru. Peluang-peluang bisnis baru pun terbentang lebar dan ekonomi digital hadir sembari menjanjikan kemakmuran.
McKinsey pernah mendaftar inovasi yang dipercaya memberi dampak pada ekonomi secara signifikan. Sebut saja, internet, robotik, 3-D printing, dan sebagainya. Teknologi ini membantu mengembangkan sektor-sektor ekonomi, seperti sektor ritel dengan e-commerce, transportasi dengan kendaraan automatis, pendidikan dengan aneka kursus online, kesehatan, sampai interaksi sosial melalui media sosial.
Sementara itu, teknologi selain menyuguhkan aneka kemudahan, juga menyuguhkan aneka risiko. Selain memberi konektivitas, juga memberi “kekacauan.” Selain membuat orang terpesona, juga membuat orang was-was. Ulasan ini bisa dibaca pada tulisan sebelumnya berjudul “Mengenali Tiga Paradoks Pemasaran di Era Post-Truth.”
Pendekatan Pemasaran Baru
Itulah kondisi di era transisi dari tradisional menuju era digital. Dalam konteks ini, dibutuhkan pendekatan pemasaran baru untuk membantu pemasar dalam mengatisipasi dan mengelola dampak teknologi yang disruptif tersebut. Dalam konteks inilah, Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, dan Iwan Setiawan memperkenalkan konsep Marketing 4.0 dalam buku berjudul “Marketing 4.0, Moving from Traditional to Digital” (Wiley, 2017).
Buku tersebut merupakan sekuel dari buku sebelumnya yang terbit enam tahun lalu, yakni “Marketing 3.0: From Products to Customers to the Human Spirit” (Wiley, 2010). Secara ringkas, buku tersebut memaparkan tiga pergeseran pemasaran utama, yakni dari product-driven marketing (Marketing 1.0) menuju customer-centric marketing (Marketing 2.0) menuju human-centric marketing (Marketing 3.0).
Pada tahun ini, Marketing 4.0 diperkenalkan. Ini merupakan pendekatan pemasaran yang mengkombinasikan interaksi online dan interaksi offline antara perusahaan dengan pelanggan. Secara umum, Marketing 4.0 bisa dipahami seperti itu. Di era ekonomi digital, interaksi digital saja tidaklah cukup. Kenyataannya, justru di saat dunia online berkembang, sentuhan offline menjadi titik diferensiasi yang kuat.
Selain mengkombinasikan online dan offline, Marketing 4.0 juga mengintegrasikan antara style dan substance. Artinya, merek tidak hanya mengedepankan branding bagus, tetapi juga konten yang relevan dengan pelanggan atau menyuguhkan konten yang bagus dengan kemasan yang up-to-date dan bagus.
Marketing 4.0 juga mengembangkan konektivitas machine-to-machine dan artificial intelligence dalam rangka mendongkrak produktivitas. Tetapi, itu harus diimbangi dengan pengembangkan konektivitas human-to-human yang justru akan memperkuat customer engagement. Intinya, pengembangan teknologi tidak berhenti pada teknologi itu sendiri, tapi bagaimana teknologi ini membantu merek dalam memanusiakan relasi dengan para pelanggannya.
Pemasaran Tradisional Usang?
Apakah dalam hal ini pemasaran tradisional menjadi usang? Jawabannya adalah tidak. Dalam Marketing 4.0, digital marketing tidaklah menggantikan pemasaran tradisional. Sebaliknya, keduanya hadir bersama alias coexist di era sekarang. Keduanya saling mengisi peran satu sama lain, khususnya dalam perjalanan pelanggan atau customer path.
Asal tahu saja, di era konektivitas sekarang ini, customer path telah berubah. Dulu, dikenal dengan 4A, yakni Aware, Attitude, Act, dan Act Again. Sekarang, perjalanan pelanggan ini berubah menjadi 5A, yakni Aware, Appeal, Ask, Act, dan Advocate. Dalam customer path yang baru ini, pemasaran tradisional dan digital marketing bisa hadir secara bersama. Bisa jadi, misalnya, orang sadar akan sebuah produk melalui iklan tradisional di televisi. Lalu, kemudian ia bertanya secara online di media sosial, kemudian ia membeli, dan karena puas ia kemudian merekomendasikan produk tersebut ke komunitasnya, baik di media sosial maupun komunitas offline.
Akhirnya, pada intinya, Marketing 4.0 menjadi pendekatan pemasaran yang mengkombinasikan interaksi online dan offline yang tujuan utamanya adalah memenangkan advokasi konsumen.
Bagaimana dengan merek Anda? Ikuti terus serial tulisan Marketing 4.0 di laman Marketeers.com ini.
Catatan:
Bagi Anda yang ingin membeli bukunya, silakan belanja di tautan berikut ini: Marketing 4.0