Mengupas Problematika Buah di Indonesia

marketeers article
buah

Pepatah yang bilang “Tongkat dan batu bisa jadi tanaman” memang benar adanya. Sebagai negara tropis, Indonesia mendapat berkah karena banyaknya ragam buah yang tumbuh subur di bumi pertiwi. Namun sayang, konsumsi buah masih saja kecil.

Jika Presiden RI Joko Widodo sempat menguji seorang anak Sekolah Dasar untuk menyebut lima jenis nama ikan, Presiden sewaktu-waktu mesti menguji masyarakat untuk menyebutkan lima nama buah asli nusantara. Kami yakin sebagian akan menjawab apel, jeruk, pir, dan juga semangka. Padahal, itu bukan buah endemik asal Indonesia.

Mungkin sebagian dari kita luput bahwa buah manggis, durian, jambu biji, rambutan, dan belimbing adalah varietas buah yang hanya tumbuh di tanah air. Belum lagi dengan buah Semanggi, Kemang, Menteng, Gandaria, dan Maja yang mungkin tidak sama sekali dikenal sebagai jenis buah. Nama-nama itu kini hanya dikenang sebagai nama jalan di Jakarta.

Matahari yang bersinar terang sepanjang tahun memberikan andil besar bagi tumbuh suburnya beberapa buah endemik tersebut di zamrud khatulistiwa. Akan tetapi, keberadaan buah itu mulai menghilang di pasaran. Rambutan misalnya, semakin jarang penjaja pasar menawarkan buah berbulu nan manis itu.

“Petani rambutan mulai jarang, sehingga pasokannya tidak memenuhi kebutuhan buah masyarakat Indonesia,” ungkap Luthfiani Azwawy, Senior Marketing Manager PT Sewu Segar Nusantara (SSN), distributor buah lokal bermerek Sunpride.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2016 yang diumumkan BPS, konsumsi buah-buahan lokal mengalami penurunan drastis bila dibandingkan dengan konsumsi buah non-lokal. Hal tersebut terjadi akibat penurunan konsumsi yang parah pada rambutan dan durian.

Konsumsi buah rambutan per kapita per tahun turun 51% dari 8,8 kg pada tahun 2015 menjadi 4,29 kg pada tahun 2016. Durian juga turun 60% dari 2,74 kg menjadi sekitar 1 kg pada tahun 2016. Penurunan ini membuat konsumsi buah nasional turun rata-rata 16% pada tahun 2016.

“Artinya, konsumsi turun bukan karena orang tak lagi ingin makan buah, tapi bisa disebabkan karena produksi buah lokal yang turun. Sehingga, tidak ada varian buah lain yang mendongkrak peningkatan konsumsi buah,” ujar Luthfi di acara MarkPlus Center for Consumer di Philip Kotler Theater, Kota Kasablanka, Jakarta.

Laporan SUSENAS tersebut juga diperkuat oleh temuan BPS lainnya yang menyebut bahwa konsumsi buah per kapita masyarakat Indonesia mengalami degradasi berkelanjutan selama sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2007, konsumsi buah orang Indonesia mencapai 49,17 kg/kapita/tahun.

Enam tahun setelahnya atau pada tahun 2013, konsumsi buah anjlok menjadi setengahnya alias 24,9 kg/kapita/tahun. Jumlah itu sangat jauh dari anjuran Food & Agriculture Organization (FAO) tentang konsumsi buah seseorang yang minimal sebanyak 73 kg/kapita/tahun.

Luthfi menerangkan, selain masalah produksi, pengeluaran masyarakat untuk membeli buah juga tidak tinggi. Merujuk data yang dikeluarkan Euromonitor tahun 2014, buah berada di urutan kelima sebagai produk pangan yang dibeli konsumen Indonesia. Yang tertinggi adalah roti dan sereal (US$ 227,4 miliar), disusul berturut-turut oleh sayur-mayur (US$ 24,4 miliar), ikan dan makanan laut (US$ 20,8 miliar), serta susu, keju, dan telur (US$ 14,6 miliar).

Sedangkan konsumsi masyarakat terhadap buah mencapai US$ 9,5 miliar atau setara Rp 128,50 triliun. Kendati demikian, jumlah ini meningkat 13% bila dibandingkan dengan konsumsi buah tahun 2011 yang sebesar US$ 8,2 miliar. Meski lebih tinggi, konsumsi buah tak terpaut jauh dari konsumsi daging yang sebesar US$ 7,7 miliar.

Transaksi pembelian buah yang rendah bisa disebakan oleh banyak faktor. Salah satunya menyangkut snacking habit atau kebiasaan mengunyah makanan selingan. Di mana pun, buah dikategorikan sebagai makanan penutup atau dessert yang biasa dikonsumsi setelah menyantap makanan berat atau meal.

Laporan Snapcart mengenai snack habit masyarakat Indonesia. Data diambil dari struk belanja.

Perusahaan analis data berdasarkan struk belanja Snapcart memaparkan temuannya terkait hal itu. Hasilnya, buah berada di posisi buncit sebagai snack yang dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Temuan itu menyebut, 67% responden membeli chips (keripik) sebagai makanan selingan mereka, 66% memilih biskuit, 38% mengonsumsi kue dan roti, dan 33% menikmati cokelat batangan.

“Hanya 22% responden yang memilih buah sebagai snack. Padahal, buah jauh lebih sehat bila dibandingkan keripik,” kata Luhfi.

Masalah Distribusi

Tidak bisa dipungkiri, memasarkan buah sebagai barang konsumer cukup sulit. Buah memang tidak tepat disebut sebagai fast moving consumer goods. Sebab, produksi buah tidak bisa menggunakan mesin-mesin pabrik yang dapat diatur kapanpun.

Sebagai hasil alam, produksi buah sangat tergantung pada keadaan cuaca. Saat musim kemarau panjang yang disebabkan El Nino, produksi buah dapat berkurang karena terbatasnya sumber air yang mengairi sawah.

Selain itu, produksi buah cukup memakan waktu. Untuk bisa memanen buah pisang misalnya, dibutuhkan waktu selama setahun. Begitu pun dengan nanas yang dapat dipanen paska ditanam selama 18 bulan.

Belum lagi buah memiliki risiko terhadap hama. Tidak adanya musim dingin di Indonesia turut membuat hama, virus dan bakteri sulit binasa. Musim dingin berperan mematikan laju pertumbuhan virus dan juga bakteri.

Kondisi di atas memaksa petani buah untuk menggarap ladang secara polikultur. Artinya, jika sebidang ladang sudah mengalami panen tanaman tertentu, maka di ladang yang sama harus ditanam tanaman lain untuk panen berikutnya.

Cara ini, meski harus memutar otak, namun dipercaya dapat memutus mata rantai pertumbuhan hama.

“Jerih payah petani menanam buah luar biasa. Saya cukup prihatin jika banyak konsumen yang tega menawar buah begitu rendah di pasar,” kata Luthfi.

Konsumsi buah yang rendah juga disebabkan oleh distribusi buah yang tak merata. Biaya distribusi buah membengkak karena mesti diangkut dengan armada yang memiliki box pendingin.

“30% dari biaya kami untuk keperluan supply chain. Pertama, gudang penyimpanan buah harus punya ruangan pendingin khusus. Kedua, kami harus mendistribusikan buah menggunakan chiller bus,” ucapnya.

Belum lagi, infrastruktur di Indonesia cukup merepotkan. Luthfi bilang, biaya distribusi buah dari Lampung menuju Balikpapan lebih mahal ketimbang distribusi buah impor dari China ke Jakarta.

Tak selesai sampai di situ, setelah barang terdistribusi, masalah lain pun timbul yaitu rendahnya penyerapan buah di kanal distribusi modern. Data menunjukkan bahwa jumlah supermarket dan hipermarket menurun lantaran banyaknya gerai modern yang gulung tikar. Grup Hero misalnya yang sejak awal tahun 2015 silam telah menutup tujuh gerai Hero dan tiga gerai Gyant.

Kesempatan lain kini ada di kanal minimarket yang pertumbuhannya meroket paling tinggi. Akan tetapi, ritel semacam Alfamart dan Indomaret dianggap belum menjadi tempat ideal untuk membeli buah-buahan segar.

“Berapa banyak sih buah yang bisa masuk ke minimarket? Kami selama ini hanya bisa masuk melalui pisang Single (pisang Cavendish satuan),” aku Luthfi.

Berbagai kendala itu menjadi alasan kuat mengapa bujet marketing PT Sewu Segar Nusantara (SSN) hanya 0,5% dari total pendapatan. Sebab, perusahaan fokus memperbaiki kanal distribusi agar buah dapat diserap konsumen lebih cepat setelah dipanen dari perkebunan.

“Percuma kami kuatkan awareness di televisi, tapi ketika konsumen cari buahnya, malah tidak ada,” terang dia.

Sejauh ini, SSN memasarkan buahnya di delapan kota nusantara, dengan Lampung sebagai basis produksi. Lahan seluas 3.300 hektare itu dikelola oleh sister company SSN, PT Tropica Nusa Farm (TNF) yang memanen pisang cavendish, jambu kristal, nanas honi, pepaya california, dan buah naga.

Untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan buah, SSN juga menjadi distributor buah impor yang memang sulit ditanam di Indonesia, seperti apel, pir, dan kiwi dengan merek Zesprit. (Baca Juga: Dapat Sertifikasi ISO 9001, Apa Tujuan Besar Sunpride?)

Tahun 2016, penjualan SSN telah mencapai 65 juta boks, tumbuh 25% dari tahun 2015 yang sebesar 52 juta boks. Dengan asumsi satu boks setara 13 kilogram, maka SSN mampu menjual 845.000 ton buah sepanjang tahun lalu.

“Dengan hasil itu, kami dianggap sebagai penguasa pasar buah di Indonesia. Padahal, omzet kami tidak sampai 0,001% dari total pasar buah yang sebesar ratusan triliun. Artinya, belum sampai Rp 1 triliun,” akunya.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong hadirnya perusahaan sejenis seperti SSN di Indonesia demi mendorong produksi buah dalam negeri. “Dengan begitu, kami harap konsumsi buah akan semakin lebih besar lagi. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan kita semua,” imbuh Luthfi.

Related