Menilik Cara SONY Music Lawan Disrupsi

marketeers article
51873612 sound engineer working at mixing panel in the boutique recording studio.

Disrupsi teknologi tak hanya menyambagi industri ritel Tanah Air, melainkan industri kreatif seperti musik sekalipun. Beberapa waktu terakhir industri ini telah mengalami pergeseran. Toko kaset kekurangan separuh peminatnya di pasaran karena masyarakat beralih ke layanan musik streaming.

Bahkan, siapapun kini bisa menjadi penyanyi terkenal melalui YouTube tanpa perlu berangkat dari perusahaan rekaman tertentu. Lantas,  apa yang dilakukan Sony Music Entertainment sebagai salah satu perusahaan dapur musik terbesar di dunia dalam menghadapi disrupsi ini?

Changing direction based on data” diyakini SONY Music menjadi kunci untuk bertahan di era disrupsi.  Jika sebelumnya mereka merujuk pada sales chart, kini mereka beralih pada streaming consumption numbers dari berapa banyak lagu tersebut di-stream dan berapa banyak vide tersebut ditonton menjadi panduan utama.

Photo Credits: 123rf

“Data menjadi begitu penting bagi industri musik saat ini. Jika sebelumnya kami berbicara soal intuisi dalam menilai lagu di mana jika lagu tersebut bagus kemudian diliput oleh media dan diberikan spotlight di toko kaset, maka saat ini tak lagi demikian,” ungkap Mahavira Wisnu, Associate Director, A&R of SONY Music Entertainment dalam gelaran IDEAFEST 2018 di Jakarta, Jumat (26/10/2018).

Saat ini, siapapun bebas memegang data secara langsung melalui Spotify, YouTube, dan lain-lain. Semua bisa diketahui secara real berapa banyak lagu tersebut di-stream atau video dari para penyanyi dilihat.

“Isyana misalnya, kami bisa mengetahui lagu apa saja yang on demand. Kami tidak lagi bisa menentukan lagu mana yang bagus atau juara. Lagu Heaven memiliki jumlah stream tertinggi di Spotify, kami juga bisa mengetahui dimana saja lokasi dengan jumlah pendengar terbesar. Data ini kemudian dapat dimanfaatkan untuk menentukan lokasi promosi, aktivasi, maupun konser Isyana yang bisa kami lakukan di sana,” jelas pria yang akrab disapa Inu.

Yang menarik, menurut Inu kini SONY Music tak lagi merilis seluruh lagu ke dalam satu album terlebih dahulu. Pola yang dilakukan berubah. Ia mengambil contoh grup musik GAC yang baru merilis album pada 24 Agustus lalu. Setiap dua bulan, SONY Music merilis single terbaru GAC satu per satu.

Photo Credits: Instagram

“Pasalnya, jika dirilis sekaligus ke dalam satu album maka pasar hanya akan menyukai beberapa lagu. Namun jika dirilis satu per satu, mau tidak mau mereka akan mendengarkan lagu tersebut. Setelah semua lagu dirilis, barulah semua dikompilasi ke dalam satu album,” ujar Inu. Hal ini pun berlaku bagi deretan penyanyi asuhan SONY Music lain, seperti Randy Pandugo, Ardhito Pramono, ataupun The Overtunes.

Kolaborasi di era sharing economy tak dipungkiri Inu juga berlaku di industri musik. Bahkan, dengan kompetitor langsung sekalipun.

Ingatkah Anda akan isu konflik di antara Raisa dan Isyana Sarasvati? Momen ini justru ditangkap SONY Music sebagai penanggung jawab Isyana bersama Juni Records yang memayungi Raisa untuk berkolaborasi. Hasilnya, ketika dua penyanyi ini berduet meluncurkan satu single, mereka langsung menjadi trending di berbagai media sosial dan platform musik streaming.

“Juni Records bersama Sony Music saat itu bertemu dan kami menganalisis jumlah data pendengar kedua artis naungan kami. Kami pun berpikir untuk menggabungkan mereka menjadi satu. Hasilnya, project ini langsung menjadi trending dengan satu juta viewers dalam satu hari,” ungkap CEO Juni Records Adryanto Pratono.

Pada akhirnya, Inu mengatakan data menjadi poin penting yang harus diperhatikan di industri musik. “Data berfungsi agar kita tidak shooting in the dark. Kita tidak boleh apatis dengan data karena ini yang membuat valid sesuatu yang kreatif. Back end of the day yang dicari adalah angka,” papar Inu. Kini, SONY Music pun masih eksis di Indonesia dan memayungi sejumlah penyanyi yang tengah naik daun, seperti Kunto Aji, Ramengvrl, dan kawan-kawan.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related