Menkominfo: Semua Orang Tahu GO-JEK, Tapi Budaya Kita Tidak Siap

marketeers article
GO-JEK

Ranah teknologi digital di Indonesia berkembang cepat. Dengan kehadiran smartphone dalam genggaman serta berbagai aplikasi, kemunculan berbagai startup berbasis digital bagai jamur di musim hujan. Berbagai sektor di dunia digital bertumbuhan, dimulai dari sektor e-commerce sampai sekarang mulai booming apa yang dinamakan dengan fintech.

Dengan kondisi itu tentu banyak perusahaan teknologi luar menyasar Indonesia sebagai pasar. Namun sayangnya belum banyak yang menyasar Indonesia sebagai sumber talent pengembangan teknologi startup.

“E-commerce luar negeri banyak yang berencana ekspansi ke Indonesia. Mereka melihat pasar kita. Artinya mereka menargetkan Indonesia sebagai konsumen. Namun mereka belum melihat negara ini sebagai gudangnya talent. Startup-startup kita masih banyak impor dari India,” ujar Menteri Informasi dan Informatika (Menkominfo) RI Rudiantara di Jakarta beberapa waktu lalu.

Padahal Menkominfo bisa dikatakan sebagai ujung tombak dari pengembangan digital dari sektor pemerintah. Ia meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa didorong dari sektor digital. Salah satu yang coba didorong adalah akan disahkannya sebanyak 31 inisiatif digital pemerintah.

Salah satu sasarannya agar Indonesia bisa memiliki industri digital senilai US$130 miliar pada 2020. Artinya nilai itu akan berkontribusi sebanyak 20% kepada GDP. Walau begitu salah satu hambatan untuk mendorong digital ekonomi adalah bentuk negara ini yang kepulauan. Secara biaya logistik menjadi sangat mahal dibanding negara tidak berbentuk kepulauan.

“Sebesar 25% GDP kita itu untuk logistik. Jadinya Indonesia terkena efek high cost economy. Bandingkan dengan negara lain. Cost logistik di Amerika Serikat hanya 11% GDP, sementara negara tetangga Malaysia sebesar 20%,” sambung Rudiantara.

Yang sedang dicari solusi dari pemerintah adalah dengan memberdayakan PT Pos. Perusahaan yang identik dengan kirim mengirim surat lagi harus bertransformasi menjadi perusahaan logistik. Apalagi mereka memiliki sebanyak 2.000 cabang di seluruh Indonesia.

Hal lain yang disorot oleh Menkominfo dalam pengembangan digital economy adalah soal budaya. Walau terbilang pesat, justru perkembangannya tidak diimbangi oleh budaya dan sosial. Banyaknya startup berbasis digital yang mendisrupsi pemain konvensional di beberapa industri menjadi sorotan.

“Contoh GO-JEK, tidak ada yang tidak tahu mereka sekarang. Tapi kehadiran mereka menciptakan friksi karena secara sosial dan budaya tidak siap. Akibatnya demonstrasi lebih sering, friksi antara pemain konvensional dan digital terjadi,” sambung Rudiantara lagi.

Kesimpulannya memang mengembangkan digital menjadi sebuah ekonomi di Indonesia tidak mudah. Mengingat juga sisi infrastruktur harus ikut dibangun, termasuk infrastruktur telekomunikasi. Nah, ini juga masih menjadi batu sandungan.

Menurut Menkominfo, kecepatan internet Indonesia nomor dua setelah Singapura secara regional. Sayangnya bicara soal infrastruktur, Indonesia hanya ada di posisi empat. Jika infrastruktur tidak dibangun secara bertahap, Indonesia akan digeser Vietnam.

Ulasan Menkominfo soal tantangan yang dihadapi Indonesia di bidang digital ini diutarakan dalam kerjasama pemain teknologi Huawei dengan tujuh perguruan tinggi di Indonesia dalam program SmartGen. Para mahasiswa terpilih dari universitas tersebut akan mendapatkan pelatihan berbasis teknologi dari Huawei.

Menkominfo mengatakan bahwa keinginan pemain luar untuk memajukan talent berstatus mahasiswa tersebut adalah salah satu cara untuk mendorong digital economy terutama di masa depan. “Tapi saya deal dengan Huawei karena mereka mau invest jutaan dolar. Buat mereka itu tidak seberapa. Kalau tidak, ya saya tidak mau. Dan sifatnya ini partnership, bukan vendor. Kalau vendor dicari yang paling murah, kalau partnership dicari yang mau investasi besar,” tutup Rudiantara.

    Related