Menteri Perhubungan: MRT Dapat Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi

marketeers article
JMW

Ada yang unik dari pembukaan Jakarta Marketing Week (JMW) ke-5 yang dihelat di Kota Kasablanka, 3-9 Mei 2017. Acara pemasaran terbesar di Indonesia itu mengajak PT MRT Jakarta, operator mass rapid transit untuk memapakan proyeknya di hadapan tamu yang hadir. Sebab, JMW kali ini mengusung tema baru, “Lifestyle in The City“.

Itulah mengapa pada JMW kali ini, pihak yang hadir cukup variatif. Selain dibuka oleh Kementerian Perhubungan RI Budi Karya Sumadi, juga terdapat Direktur Operations & Maintenance PT MRT Jakarta Agung Wicaksono, Wakil Gubernur Maluku Zeth Sahuburua, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Catur Laswanto serta perwakilan Kementerian Pariwisata RI.

Dalam sambutannya, Agung Wicaksono, mengatakan, kehadiran MRT tidak hanya memberikan moda transportasi baru di ibukota, melainkan juga mengubah lifestyle atau gaya hidup para penggunanya.

“Prinsip MRT adalah BMW alias Bus, MRT, dan Walk. Masyarakat menggunakan bus untuk sampai ke stasiun MRT, lalu berjalan kaki menuju lokasi tujuan dari stasiun MRT,” ungkap Agung.

Ia menegaskan bahwa MRT yang beroperasi pada tahun 2019 mendatang itu dapat mengurangi kebiasaan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi saat menuju Jakarta. Selain itu, waktu tempuh akan menjadi lebih singkat.

“Bila berkendara menggunakan mobil atau motor dari Lebak Bulus menuju Bundaran HI, memakan waktu rata-rata 2 hingga 2,5 jam. Namun, melalui MRT hanya 30 menit,” ujarnya.

Agung juga mengutip data penilitian tahun 2011 yang menyatakan bahwa kerugian akibat kemacetan yang terjadi di Jakarta mencapai Rp 65 triliun. Kerugian tersebut adalah hasil akumulasi dari biaya-biaya yang timbul akibat waktu yang terbuang selama di jalan, kesehatan yang menurun, serta biaya transportasi yang membengkak.

Uang sebesar itu, katanya, jauh lebih tinggi ketimbang investasi MRT yang pada tahap pertama menyerap biaya Rp 15 triliun untuk trayek sepanjang 16 kilometer. Proyek pertama MRT itu akan memiliki 13 stasiun, dengan rincian 6 stasiun layang, dan 7 stasiun bawah tanah.

Dari 13 stasiun itu, enam akan difungsikan sebagai Transit Oriented Development (TOD) atau kawasan properti terintegrasi berbasis transportasi, seperti di Dukuh Atas dan Lebak Bulus. Harapannya, TOD akan menggerakkan sektor ekonomi di sekitar kawasan, khususnya sektor ritel, properti apartemen, dan perkantoran.

“Prinsip TOD yaitu MRT yang terintegrasi dengan lingkungan sekitar, seperti akses langsung ke perkantoran atau mal terdekat,” pungkasnya.

Menurut Agung, selain dapat menggerakan sektor properti di sekitar kawasan, MRT juga mampu mengerek kenaikan harga properti. “Sehingga, pengembang akan tergerak membangun apartemen di sekitar kawasan MRT. Ekonomi pun bisa bertumbuh,” akunya.

Dia mengakui, karena masih belum beroperasi, sulit untuk memprediksi sejauh mana MRT dapat mengurangi tingkat kemacetan di ibukota. Agung bilang, jika dibandingkan dengan Hong Kong, MRT di Jakarta masih jauh tertinggal. Di Hong Kong, pemerintahnya telah membangun Mass Transit Railway (MTR) sepanjang 2.300 kilometer dan berhasil mengangkut 5 juta penumpang setiap harinya.

Jika melihat dari segi daya angkut, MRT hanya dapat mengangkut sekira 173.000 orang per hari. Setiap satu kereta akan memiliki enam rangkaian yang menampung 2.000 penumpang. Artinya, satu MRT memuat 12.000 orang. “Pada jam-jam sibuk, yaitu pagi dan sore hari, kereta akan tiba setiap lima menit sekali,” papar Agung.

Menanggapi proyek MRT pertama di Indonesia itu, Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi menilai, 20% dari pengguna kereta Commuter saat ini, nantinya dapat berpindah menggunakan MRT. “Ada 850.000 orang yang menggunakan Commuter. Sekitar 20%-nya akan diambil MRT. Kalau berkembang baik, 60% pergerakan komuter akan disumbang dari MRT,” cermat Budi.

Mantan Direktur Utama Angkasa Pura II itu juga menegaskan bahwa kawasan yang terletak 3-5 kilometer dari MRT, akan menarik minat masyarakat untuk mencari hunian maupun kegiatan usaha. Hal itu tentunya dapat mengurangi pergerakan seseroang dari satu tempat ke tempat lain, selain tentu saja efeknya dapat membuat kepadatan aktivitas meningkat.

“Ke depannya, ada satu desain kota yang lebih efisien. Ruang-ruang kota dalam radius 3 kilometer dari MRT akan memiliki kepadatan yang lebih tinggi, sehingga dibutuhkan bangunan vertikal yang juga jauh lebih tinggi,” tutur Budi.

Related