Meraba Masa Depan Layanan Food Delivery Startup di Indonesia

marketeers article
45238824 hand holding smart phone with food online device on screen over blur restaurant background, food online, food delivery concept

Semenjak beberapa tahun terakhir, layanan food startup delivery semakin menjamur di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Layanan ini terus menjadi idola bagi masyarakat, karena masyarakat bisa menikmati makanan dan minuman tanpa harus bersusah payah mengeluarkan energi lebih untuk mendatangi lokasi, menunggu, menikmati, dan kembali ke tempat asal. Hanya dengan satu aplikasi, makanan yang diinginkan segera sampai di depan Anda.

Selain kemudahan tersebut, tingginya penetrasi internet di kota-kota besar, serta daya beli masyarakat yang semakin membaik membuat layanan food startup delivery semakin digilai. Dari sisi pemainnya juga terus bertambah, baik lokal maupun asing. Layanan yang diberikan juga beragam. Ada yang memberikan layanan pengantaran makanan, jasa catering makanan, hingga pengiriman barang-barang groceries.

Untuk layanan pengiriman jasa katering makanan setidaknya sudah ada beberapa nama pemain yang tidak asing, yakni Berrykitchen dan Kulina. Keduanya sama-sama bergerak dalam model bisnis yang sama, yakni melayani jasa pengiriman katering makanan untuk wilayah Jakarta. Namun keduanya memiliki pendekatan yang berbeda.

Kulina yang telah berdiri sejak tahun 2015 saat ini fokus pada pengiriman makan siang. Kulina hadir sebagai marketplace antara konsumen dengan para penyedia jasa katering makanan. Menurut CEO Kulina Andy Fajar Handika, sebagai marketplace, awalnya Kulina menghadirkan beragam jasa pengiriman makanan untuk beragam situasi, tidak hanya makan siang. Namun, saat ini mereka sedang fokus menggarap makan siang.

“Kami ini tidak punya dapur. Kami kerja sama dengan 300 lebih mitra dapur. Sekarang di Jakarta setiap hari ada satu menu diproduksi oleh banyak dapur,” jelas Andy.

Untuk di Jakarta, Andy menilai bahwa pekerja kantoran ketika memutuskan untuk makan siang dihadapi dengan pilihan makanan yang cukup mahal. Terlebih bagi yang berkerja di gedung perkantoran yang dilengkapi dengan pusat perbelanjaan. Selain mahal, pegawai harus ada usaha lebih untuk naik turun lantai. Meski makanan kaki lima terjangkau, namun dari sisi kebersihannya masih perlu dipertanyakan.

“Sementara di pelosok Jakarta ada katering yang memiliki dapur bagus dan tidak kena biaya sewa yang mahal seperti di pusat perbelanjaan. Cost mereka terjangkau,” tambahnya.

Saat ini Kulina menawarkan paket makan siang dengan menu yang sama untuk satu harinya. Artinya, dalam satu hari seluruh pengguna Kulina mendapatkan menu makan siang yang sama. Menu tersebut akan berganti pada keesokan harinya. Bagi Andy, ketika menawarkan banyak menu, konsumen yang datang hanya berniat coba-coba. Sementara ini Kulina sedang berusaha untuk mempertahankan konsumen mereka yang sudah ada. Untuk satu kali makan siang, pengguna dikenakan biaya sekitar Rp 30.000. Kulina menerapkan sistem pembayaran transfer bank, kartu kredit, sistem wallet.

Bila Kulina tidak memiliki dapur, lain halnya dengan Berrykitchen. Berdiri sejak tahun 2012, Berrykitchen mengambil target kalangan pekerja sekitar 3.000 porsi makanan setiap harinya. “Saat ini setidaknya ada sekitar lima juta pekerja di Jakarta. Gaji mereka rata-rata Rp 4 juta hingga Rp5 juta. Bagi mereka susah buat cari makan siang yang proper dan murah. Kadang harus kompromi dengan harga dan kualitas,” ujar Cynthia Tenggara, CEO Berrykitchen.

Saat ini 80% konsumen Berrykitchen berasal dari kalangan wanita. Sebanyak 90% dari total konsumen kebanyakan berasal dari golongan young professional dengan rata-rata menghabiskan biaya makan sebesar Rp 500.000-Rp 700.000 satu bulannya. Selain memiliki layanan katering makan siang, Berrykitchen juga menyediakan makanan ready to eat yang bisa diantarkan kepada konsumen saat itu juga, celebrity chef menu, dan layanan ready to cook. Harga menu di Berrykitchen bervariasi mulai dari Rp 15.000-Rp 35.000 per porsi. Namun Berrykitchen menggunakan sistem poin, sehingga konsumen tinggal membeli poin dan menukarkannya dengan menu yang akan disantap.

“Yang membedakan kami dengan kompetitor lain adalah affordability dan quality. Kami mencoba memberikan makanan yang terbaik kepada kalangan young professional. Kami juga berupaya berikan customer experience yang baik, bahkan kami tidak pakai MSG. Harganya tetap terjangkau dan kualitasnya terbaik,” tambah Cynthia.

Untuk menjaga kualitas makanan, Berrykitchen memilih membangun dapur dan memiliki kuasa penuh terhadap makanan yang disajikan. Cynthia menilai, ketika memutuskan untuk bekerja sama dengan katering lain, maka akan banyak kompromi harga yang nantinya berujung pada penurunan kualitas makanan.

“Kami tidak mau hal seperti itu. Yang mau kami sajikan adalah kualitas dan harga yang terjangkau. Untuk mencapai dua hal itu, kami harus bikin sendiri dengan menjaga kualitas dan tahu cara masaknya, Sehingga, kami bisa fokus ke bahan dan bumbu,” jelas Cynthia. Untuk semakin meyakinkan pelanggan, Berrykitchen menyediakan jenis makanan yang khusus diracik melalui resep-resep dari profesional koki, seperti Chef Juna, Vindy Lee, dan Edwin Lau

Selain Berrykitchen dan Kulina, ada juga layanan startup yang menawarkan jasa pengantaran bahan-bahan makanan dengan nama TukangSayur. Layanan ini fokus menghubungkan pelanggan rumah tangga dengan para tukang sayur. Dengan melakukan pemesanan pada satu hari sebelumnya, konsumen bisa mendapatkan bahan-bahan masakan sesuai dengan yang dipesan dan dikirimkan langsung oleh para tukang sayur.

“Sekarang ini, tukang sayur kalau membeli sayuran itu konsepnya gambling karena tidak tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang akan dimasak oleh konsumen. Makanya akan selalu ada sisa bahan belanjaan. Dengan melakukan pemesanan sebelumnya, tukang sayur menjadi lebih efektif dalam memilih bahan-bahan masakan yang akan dijual kepada para konsumennya,” ujar Tofani Sadikin, Chief Business Officer TukangSayur.

TukangSayur diluncurkan pada akhir tahun 2016. Saat ini layanannya sudah bisa dirasakan di Jakarta, Bandung, Surabaya, Gresik dan kota-kota lainnya. Saat ini pelanggan TukangSayur adalah kalangan rumah tangga. Mitra TukangSayur akan menjangkau beberapa area sehingga ongkosnya menjadi lebih murah dan efisien. Setiap mitra akan menjangkau area dengan radius sampai 3 km. Semua pembayaran di TukangSayur masih dalam bentuk bayar di tempat. Proses pengirimannya akan dikirimkan mulai dari jam enam pagi hingga jam sembilan pagi. Sampai saat ini TukangSayur sudah memiliki 80 mitra tukang sayur.

“Bisnis model kami memberdayakan para tukang sayur dengan membuat mereka lebih efisien. Produk terpenting adalah layanannya,” imbuh Tofani.

Membicarakan layanan food startup delivery tentunya tidak lengkap tanpa membahas Go-Jek dengan layanan Go-Food yang amat fenomenal. Layanan Go-Food telah diluncurkan sejak tahun 2015. Sampai saat ini layanan Go-Food sudah mencapai di 50 kota di Indonesia.

Nadia Tenggara, Business Head of Go-Food menjelaskan, saat ini Go-Food sudah memiliki setidaknya 95.000 merchant partner. Dari angka itu, sebanyak 40.000 berasal dari Jabodetabek dan sebanyak 60.000 dari luar Jabodetabek. Selama periode Agustus 2016 hingga Agustus 2017, terjadi peningkatan transaksi hingga tiga kali lipat bila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2016.

“Tahun ini kami melakukan pembaruan tampilan Go-Food, sekarang lebih dominan putih. Merchant ada profilnya, ada fitur special connect dengan Facebook, kemudian juga ada fitur re-order,” ungkap Nadia.

Belajar Dari Kasus Yang Sudah Ada

Selama dua tahun ke belakang, industri food startup delivery mengalami banyak gejolak. Selain pemainnya bertambah, ada beberapa pemain yang akhirnya harus mengibarkan bendera putih dan keluar dari arena pertandingan. foodpanda sebagai salah satu pemain awal dalam food startup delivery di Indonesia, harus menutup layanannya pada tahun 2016. Sempat berjaya, kehadiran foodpanda mulai terkikis ketika layanan seperti Go-Jek mulai bermunculan di Jakarta. Hal yang sama juga dialami oleh Black Garlic yang juga harus tutup pada pertengahan tahun 2017 ini.

Tentunya para startup kuliner itu harus bisa berjuang meningkatkan market share-nya. Startup seperti Kulina dan Berrykitchen harus bisa mengoptimalkan peluang lima juta pekerja di Jakarta yang memerlukan makan siang. Sementara, layanan seperti TukangSayur perlu memperkenalkan layanannya lebih jauh lagi kepada konsumen dan mitra bisnisnya.

Karenanya, TukangSayur berencana melebarkan portofolio produk mulai dari barang-barang consumer goods, resep makanan, hingga pulsa listrik. “Saat ini pendanaan masih dari biaya sendiri. Sampai akhir tahun ini, kami mau masuk ke seluruh kota di pulau Jawa. Ragam produk juga akan terus kami tambahkan,” jelas Tofani.

Sementara, Kulina menilai bahwa bisnis sedang mereka jalani adalah real business dan bisa profitable. Andy menjelaskan, Kulina membeli produk dari produsen dengan harga tertentu. Ketika Kulina bisa mengantarkan makanan ke satu lokasi dalam jumlah banyak, maka efisiensi pun terjadi. Konsumen Kulina pun akan mendapatkan dampaknya dengan mendapatkan uang kembalian. Kalau ada startup yang tutup mungkin tiap transaksi mereka rugi, merek tidak tahu cara monetisasinya,” imbuh Andy.

Untuk melakukan scale up, Kulina akan memperkuat operation dan proses marketing. Namun Andy mengingatkan bahwa Kulina adalah sebuah tech company. Kulina pun akan memanfaatkan algoritma big data sehingga pengiriman makanan bisa berjalan dengan efisien.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Cynthia. Baginya, bisnis food delivery startup merupakan bisnis yang menguntungkan. “Saya percaya kalau tidak diakuisisi pun bisnis food startup itu bisa profitable dan menghasilkan uang yang banyak. Kalau saya hitung-hitungan bisnis ini bisa untung besar,” jelas Cynthia.

Cynthia juga memaparkan bahwa Berrykitchen akan fokus terlebih dahulu di Jakarta dan wilayah sekitarnya seperti Depok, Bintaro, Serpong, Karawaci, dan Bekasi. Hal ini diwujudkan dengan rencana membangun dapur baru dan sebuah pabrik. Baginya, pasar Jakarta terlalu sayang bila dilewatkan begitu saja.

“Jakarta potensinya besar. Saat ini kami menyediakan 3.000 porsi. Padahal pasarnya bisa sampai lima juta penduduk. Buat apa capai-capai di kota lain. Lebih baik fokus dan maksimal di sini. Akhir tahun ini kami mau bisa menyediakan 4.000 hingga 5.000 porsi,” tegas Cynthia.

Go-Food yang sudah memiliki basis pengguna dan merchant partner yang besar ternyata belum puas dengan apa yang sudah mereka dapatkan saat ini. Terlebih saat ini mereka diuntungkan dengan kompetitor yang belum memiliki skala sebesar Go-Food. Nadia mengungkapkan, bahwa Go-Food ke depan akan melakukan ekspansi lebih besar lagi ke kota-kota di Indonesia. Termasuk, memperbesar daftar merchant partner dan memperluas bisnis tidak hanya pada model bisnis food delivery.

“Kami ingin engage dengan model bisnis lain seperti industri rumahan. Kami sadar bahwa ada segmen business office yang belum bisa kami layani. Beberapa industri rumahan ini bisa melayani para pekerja yang sibuk dengan model bisnis berlangganan, tidak sekadar on-demand,” jelas Nadia.

Industri ini memang menarik untuk diamati. Hampir semua pelaku menyatakan rasa optimisme dengan bisnis yang mereka jalani. Namun di satu sisi, para pemain sebelumnya juga sudah ada yang berguguran. Tentunya ini menjadi tantangan buat semua pemain di industri ini.

Yang pasti, pemain harus bisa gigih dalam membangun bisnis ini terutama dalam meyakinkan calon konsumen akan layanan dan produk yang disediakan. Pelaku juga harus pintar dan cermat dalam hitung-hitungan keuangan, terlebih ketika sudah optimistis bahwa bisnis ini adalah bisnis yang menguntungkan.

Related