Bahaya, Orang Indonesia Masih Anggap Iklan Sebagai Gangguan

marketeers article
44384077 blank advertising billboard in the city at night.

Saluran multichannel saat ini menjadi hal yang wajib bagi para brand untuk memperkenalkan produknya. Namun, strategi multichannel yang tidak efektif dapat membahayakan keberhasilan kampanye. Berdasarkan AdReaction: The Art of Integration, studi terbaru dari Kantar Millward Brown, di Indonesia, tiga per empat (77%) dari konsumen yang disurvei melaporkan bahwa mereka melihat iklan di tempat yang lebih beragam dibanding yang mereka lihat tiga tahun lalu.

Peningkatan channel tersebut memberikan serangkaian pendekatan baru untuk brand  Banyak brand percaya bahwa mereka telah memberikan kampanye terintegrasi. Namun, konsumen merasa kurang yakin mengenai seberapa baik brand telah mengintegrasikan strategi multichannel mereka. Hanya setengah (53%) dari konsumen di Indonesia setuju bahwa iklan-iklan yang mereka lihat di berbagai channel, seperti TV, outdoor, dan digital tersebut telah ‘terhubung dengan baik’.

Faktanya, analisis Kantar Millward Brown mengenai kampanye global di dalam database efektivitas media menunjukkan pandangan yang berlawanan dengan apa yang diyakini brand, yaitu kurang dari setengah (46%) dari seluruh kampanye yang diuji dalam penelitian ini dapat dinilai terintegrasi dengan baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pandangan konsumen lebih mendekati kenyataan jika dibandingkan dengan pandangan brand.

Integrasi antarchannel menawarkan kesempatan kepada brand untuk meningkatkan efektivitas kampanye. Menurut studi itu, kampanye iklan yang disesuaikan dan terintegrasi dengan baik, mampu meningkatkan efektivitas kampanye hingga sebanyak 57%. Iklan yang tidak efektif dan tidak terhubung berisiko menjauhkan konsumennya. Banyak konsumen Indonesia yang disurvei mengatakan bahwa mereka tidak nyaman dengan peningkatan iklan, dengan 48% setuju bahwa iklan sekarang lebih terasa mengganggu. Fakta bahwa setengah dari orang Indonesia melihat iklan sebagai hal negatif harus menjadi panggilan bagi brand di Indonesia.

“Kami melihat beberapa kampanye yang inovatif dari brand-brand di Indonesia. Namun, kami juga menyadari bahwa dari setiap iklan yang sukses, terdapat banyak juga iklan-iklan yang tidak efektif dan tidak relevan,” terang Kelvin Gin, Executive Director Kantar Millward Brown di Indonesia.

Kelvin meyakini bahwa orang Indonesia merasa dibombardir oleh iklan. Hal ini menyebabkan brand yang ingin mendapatkan perhatian di tengah banyaknya iklan-iklan yang ada perlu fokus dalam memberikan iklan berkualitas yang relevan terhadap konsumen dan terintegrasi dengan baik pada channel yang digunakan.

“Perlu dicatat bahwa beberapa brand di Indonesia masih menghindari investasi digital dan senantiasa fokus pada channel tradisional,” tambahnya.

Baginya, pendekatan ini dapat memberikan hasil. Namun, untuk benar-benar memaksimalkan sinergi dan mendapatkan pengembalian investasi terbaik, brand perlu merancang strategi multimedia terintegrasi yang bekerja secara holistik untuk terhubung dengan konsumen di berbagai channel.

Sejalan dengan hal tersebut, Duncan Southgate selaku Global Brand Director, Media & Digital, Kantar Millward Brown menilai bahwa konsumen merasa terbebani oleh iklan dari berbagai sudut sementara brand berjuang untuk memaksimalkan format dan channel iklan agar bisa menjangkau konsumen dengan sebaik mungkin.

Berdasarkan data Indonesia Native Advertising and Influencer Marketing Report 2018 yang dikeluarkan oleh GetCRAFT, masyarakat Indonesia menghabiskan waktu lebih dari delapan jam setiap harinya di Internet baik melalui desktop atau tablet. Masing-masing menghabiskan lebih dari tiga jam untuk media sosial. Sementara, waktu yang dihabiskan untuk menonton TV hanya berkisar di angka dua jam 23 menit.

Saat ini, brand akan cenderung memilih jalur yang paling efektif dalam berjualan, terlebih saat ini konsumen juga ingin dilibatkan dalam proses decision making sebuah brand. Tentunya brand harus bisa pintar memilih medium dan momentum yang tepat buat sarana komunikasinya. Tidak hanya sekadar ikut dan menggelontorkan uang saja. Namun di satu sisi, agensi periklanan juga harus bisa dengan cepat mengubah pola pikirnya.

Editor: Sigit Kurniawan

Related