Pasar Inklusif, Konsep CSR Masa Depan

marketeers article

Corporate Social Responsibility (CSR) bisa memberikan dampak tidak hanya bagi lingkungan dan masyarakat, tetapi juga bagi bisnis. Salah satunya dengan memberdayakan masyarakat miskin. Efeknya pun menguntungkan jangka panjang.

Anggapan CSR banyak melenceng dari yang seharusnya. Mengapa demikian? Karena selama ini CSR sekadar kegiatan amal bagi mereka yang membutuhkan. Bahkan, ketika ada jembatan rusak dan perusahaan membiayai perbaikannya, itu sudah disebut CSR.

“Ya, kalau perusahaan mau CSR dengan memberi saja tentu tidak salah. Tapi, akan lebih baik lagi ada efek berkelanjutan bagi yang diberi serta bisa menjadi penopang bisnis jangka panjang perusahaan,” ujar Presiden Global Compact Network Indonesia YW Junardy.

Lebih maju lagi, ada konsep social investment, yakni ketika perusahaan memfasilitasi sebuah komunitas masyarakat untuk berkembang. Namun, di sini tidak ada hubungannya dengan bisnis si perusahaan. CSR paling ultimate adalah ketika perusahaan melakukan CSR untuk memajukan sebuah komunitas masyarakat, terutama masyarakat miskin, dan memiliki efek jangka panjang terhadap bisnis perusahaan, baik dari sisi market maupun suplai.

CSR yang mendukung business sustainability inilah yang disebut Junardy sebagai inclusive markets. Memberdayakan komunitas masyarakat kelas menengah bawah atau miskin menjadi bagian integral bisnis perusahaan, terutama dari segi suplai.

“Gampangnya begini. Misalnya, Unilever Indonesia memberdayakan komunitas petani kedelai hitam dan memberi mereka pelatihan serta teknologi. Sebagai gantinya mereka menjadi penyuplai utama Unilever untuk membuat kecap. Unilever tidak susah-susah beli lahan, sementara petani punya akses market dengan Unilever sebagai pembeli utama,” terang Junardy.

Konsep yang selaras dengan bisnis ini juga menjadi panduan bagi organisasi perlindungan alam, The Nature Conservancy. Yang namanya pembangunan di era moden adalah sebuah keniscayaan. Di satu sisi, alam dibutuhkan karena menjadi sumber bahan baku, tapi dengan begitu potensi merusak alam begitu besar. Di sinilah, edukasi dilakukan karena pembangunan, bisnis, dan ekosistem harus berjalan beriringan.

“Dulu CSR hanya tempelan atau ad hoc. Sekarang, tidak bisa karena harus ada integrasi dengan bisnis. Misal di Kalimantan Timur, kami bekerja sama dengan perusahaan konsesi hutan. Penebangan pohon biasanya di-buldoser. Tapi sekarang, mereka menggunakan rantai agar tidak merusak dan arah jatuhnya bisa diarahkan. Setelah itu pohon kemudian ditarik keluar. Dibanding di-buldoser, efek terhadap kerusakan lingkungan sekitar tidak ada,” ujar Country Director The Nature Conservancy Rizal Algamar.

Efeknya, selain membuat bisnis berkelanjutan, juga bagus untuk lingkungan sekitar yang tidak rusak dan bisa diberdayakan kembali. Selain itu, secara branding juga positif. Menurut Rizal, perusahaan yang melakukan CSR tersebut bisa meraih kepercayaan pasar karena melakukan bisnisnya dengan ramah lingkungan. Dan, usaha CSR ini diyakini tidak memakan biaya besar atau setidaknya sama dengan cara konvensional.

Sementara, UNICEF menekankan bahwa usaha CSR yang peduli lingkungan bisa memberi dampak langsung kepada bisnis, terutama perlindungan terhadap hak anak-anak. Cukup sulit membayangkan bagaimana sebenarnya bisnis punya dampak langsung kepada mereka. Apalagi, banyak perusahaan mengaku tahu soal isu ini dan menganggap penting, tapi pada kenyataannya tidak, sehingga investasi di bidang ini sangat terbatas.

Menurut Kepala Komunikasi dan Advokasi Publik UNICEF di Indonesia Michael Klaus, isu anak-anak sangat penting. Tidak peduli punya efek langsung terhadap bisnis maupun tidak. Tapi, CSR untuk membereskan isu anak-anak tidak cukup hanya membangun sekolah dan puskesmas setelah itu selesai, harus berkelanjutan.

“Di Indonesia awareness terhadap isu anak-anak belum besar. Tapi, sudah dimulai. Ada satu bank di Indonesia mulai peduli dengan adanya ruang menyusui bagi ibu dan bayi. Sepertinya tidak ada hubungan atau efek langsung kepada bisnis. Tapi, ketika ibu diberi fasilitas itu, kebahagiaannya akan meningkat. Perusahaan yang memiliki fasilitas itu akan membuat SDM mereka bahagia dan ini berefek langsung kepada bisnis,” ungkap Klaus.

Tanpa Aset

Melakukan CSR yang berdampak pada komunitas sebenarnya adalah salah satu cara mendapatkan lisensi usaha. Selama ini paradigma terjadi di Indonesia adalah bahwa mendapatkan lisensi usaha dari pemerintah saja sudah cukup. Harus ada lisensi sosial seperti pendekatan kepada masyarakat sekitar agar bisnis mereka berjalan lancar.

Jika tidak berpedoman ke sana, perusahaan cenderung tidak mengerti aturan kemasyarakatan dan melanggar norma yang berlaku di sekitar tempat usaha. Biasanya setelah ini gejolak penolakan masyarakat berbuntut kekerasan bisa terjadi. Menurut Junardy, paling mudah adalah menjadikan masyarakat sekitar sebagai pegawai. Contohnya bisnis di bidang pertambangan. Agar terus beroperasi, perusahaan harus memberdayakan masyarakat sekitar.

“Pemberdayaan itu bisa saja tidak ada hubungannya kan dengan bisnis pertambangan. Tapi, itu adalah license to operate. Kalau mereka melanggar norma dan didemo, mereka bisa rugi jutaan dollar AS per jam. Per jam, ya, bukan per hari,” sambung Rizal.

Tidak terbatas pada masyarakat wilayah sekitar, tetapi konsep inclusive markets lebih fokus lagi pada komunitas masyarakat khusus menengah ke bawah. Kelebihan dari konsep ini juga tidak hanya bisa diterapkan oleh perusahaan besar, tapi juga perusahaan kecil seperti UKM.

Konsep merangkul masyarakat miskin ini membuat CSR sesuai dengan tujuan awal dari visi Global Compact, yaitu mengentaskan kemiskinan. Parameter kesuksesan lain adalah jika ketika perusahaan memberdayakan masyarakat miskin, si masyarakat miskin ini berkembang ekonominya dan bisa memberdayakan masyarakat sekitarnya lagi.

Related