Belum Kenal Kota Tua Jakarta? Anda Tidak Sendirian

marketeers article
Kota Tua Jakarta

Beberapa dari Anda mungkin belum mengenal Kota Tua Jakarta. Jangan berkecil hati, menurut laporan BPS tahun 2013, ternyata banyak warga Indonesia yang tidak pernah berkunjung ke museum semasa hidupnya. Tercatat hanya 169.527 pengunjung atau setara dengan 14.127 pengunjung museum per bulan.

Bandingkan dengan Museum Louvre di Paris. Museum ini mampu menarik 7,7 juta pengunjung atau rata-rata sekitar 660.000 pengunjung per bulan. Meski dengan harga tiket masuk yang cukup mahal, sekitar 12 euro atau setara Rp 174.000. Padahal jika dihitung, biaya tersebut 87 kali lipat lebih mahal dari harga rata-rata tiket museum Indonesia yang berkisar hanya Rp 2.000-an saja.

Sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kunjungan masyarakat ke museum. Diantaranya pelayanan, keragaman objek bersejarah dan budaya yang dipamerkan, dan infrastruktur pendukung museum.

Rendahnya inovasi dan sumber daya manusia disertai kurangnya promosi lewat kanal internet turut memperkuat imej “kuno” museum bagi masyarakat, terlebih anak muda. Sehingga banyak masyarakat dan anak muda awam mengenai museum.

Di setiap kota besar di dunia, museum merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia pariwisata. Para wisatawan biasanya tertarik mengunjungi museum untuk mengenal lebih dekat kultur, sifat, serta sejarah dari negara atau kota yang dikunjungi. Namun fakta berkata lain. Museum di ibu kota hanya berkontribusi 2% dari total kunjungan wisatawan ke kota ini. Torehan itu masih sangat kecil bila melihat jumlah museum di Jakarta yang mencapai 70 museum.

Sejatinya, banyak potensi yang bisa digali dari pemberdayaan museum. Museum bisa dijadikan tempat pemberdayaan pemuda marjinal, sehingga mereka bisa bekerja untuk pengembangan museum itu. Misalnya, mereka bisa menjadi pemandu museum, pengrajin, serta penjual suvenir.

Dengan puluhan museum di Jakarta, gagasan itu bisa jadi salah satu solusi menurunkan angka pengangguran di ibu kota. Sebab, menurut laporan BPS, 12% pemuda tingkat SMK berusia 15 tahun ke atas tidak memiliki pekerjaan alias menganggur. Oleh sebab itu, perlu studi lebih lanjut mengenai sejauh mana efektivitas keterlibatan pemuda dalam pengembangan museum sebelum inisiatif ini bergulir menjadi program kerja pemerintah yang berkesinambungan.

Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB Foundation) bersama Citibank dan PT First State Investments Indonesia pernah melakukan studi terkait hal ini di Kota Tua Jakarta, kawasan di mana terletak banyak museum bersejarah, seperti Museum Wayang, Museum Keramik, dan Museum Fatahillah. Studi ini bertujuan menentukan program pemberdayaan pemuda yang paling tepat dalam rangka mendorong pengembangan museum sebagai kontributor pariwisata ibu kota.

Banyak anak muda Jakarta ingin berdayakan Kota Tua

Berdasarkan survei kepada 859 pemuda berusia 15-24 tahun yang tinggal di Kecamatan Tamansari dan Tambora, 88% pemuda berminat menjadi pemandu dan penjual suvenir di museum Kawasan Kota Tua. 49% (422 pemuda) berminat menjadi pemandu museum, dan 39% (336 pemuda) ingin menjadi penjual suvenir.

Selanjutnya, 22% dari pemuda yang ingin menjadi pemandu museum mengatakan mereka siap jadi pemandu secara sukarela asalkan dibekali pengetahuan yang memadai tentang museum. Selain itu, 52% dari mereka yang tertarik menjual suvenir bersedia menjual suvenir berkaitan dengan Kota Tua.

Keinginan pemuda menjadi pemandu dan penjual suvenir di museum yang ada di Kota Tua cukup relevan dengan permintaan para pengunjung museum. Pasalnya, berdasarkan survei yang dilakukan kepada 209 pengunjung di tiga museum (Museum Sejarah, Wayang, Seni Rupa & Keramik) menunjukkan bahwa 86% dari mereka tidak menggunakan jasa pemandu museum karena tidak mengetahui adanya jasa tersebut.

Di sisi lain, 31% dari pengunjung tidak mengetahui adanya penjual suvenir di museum yang mereka kunjungi. Hal ini mengindikasikan bahwa museum perlu melakukan promosi dan re-packaging produk menjadi lebih baik, sehingga menambah alasan pengunjung untuk membeli suvenir maupun menggunakan jasa pemandu museum.

Bukan hanya berjualan, penjual suvenir juga harus ditantang menciptakan cenderamata hasil kreativitas mereka sendiri. Mereka perlu dibekali ilmu kewirausahaan dan pemasaran agar bisa bekerja kreatif dan mandiri. Hal ini dulakukan untuk merangsang pengunjung membeli produk mereka.

Berdayakan Kota Tua Lewat Kampanye Online

Hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan YCAB Foundation bersama komunitas museum menyatakan bahwa museum perlu melakukan improvisasi infrastruktur dan kelembagaan, antara lain menyediakan parkir yang laik, melakukan kolaborasi dengan institusi pendidikan dalam hal riset & pengembangan, serta menyelenggarakan event yang mampu menyedot atensi masyarakat.

Tak hanya itu, strategi mendekati pengunjung mesti menjadi agenda kehumasan museum. Jika pengunjung sudah tidak lagi mengunjungi museum, kini giliran museum menyambangi pengunjung di area di mana mereka kerap berkumpul. Mal atau pusat belanja adalah salah satunya. Salah satunya dengan program Program Museum Goes to Mall yang dilakukan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta di Jogja City Mall 2016 lalu.

Bekerja sama dengan Do Something Indonesia, tercetuslah sebuah kampanye online melalui media sosial bertajuk #VisitMuseum yang khusus mengajak masyarakat untuk berkunjung ke museum. Kampanye online ini menantang anak muda di seluruh Indonesia untuk mengajak keluarga dan temannya agar mengunjungi dan bermain di museum, serta mengunggah foto benda sejarah atau hal unik yang membuat mereka tertarik berkunjung ke museum. Dalam rangka Hari Museum Internasional yang jatuh pada tanggal 18 Mei 2017, kampanye ini juga dirayakan secara offline di Kawasan Kota Tua. Acara tersebut sekaligus menandai berakhirnya program pemberdayaan pemuda untuk pengembangan Museum di Kota Tua yang diprakarsai YCAB Foundation dan Citibank selama hampir setahun sejak Juni 2016.

Ratusan pemuda dan sukarelawan hadir di acara yang dihelat di Kawasan Kota Tua, Jakarta. Mereka akan melakukan berbagai aktivitas, mulai dari membersihkan sampah yang ada di museum dan area sekitarnya, membeli buah segar di pasar untuk dihias sedemikian rupa, memperoleh teman baru, bermain “Sherlock at The Museum”, serta berbincang dengan orang asing yang baru dikenal. Acara dikemas secara fun sesuai dengan karakter pemuda sebagai target audiens yang hadir.

Tertarik untuk menjadi pemuda yang peduli museum? Ajak keluarga dan kerabat Anda mengenal bagaimana bangsa ini dibangun lewat museum. Dengan begitu, bukan hanya menghargai rentetan sejarah yang panjang dan budaya yang beraneka ragam, Anda juga ikut membantu mengurangi pengangguran dan meningkatkan ekonomi masyarakat di kawasan sekitar museum. Ingat, bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai sejarah dan budayanya.

Editor: Sigit Kurniawan

Related