PERHUMAS: Think Before Sharing, Saring Before Sharing

marketeers article

Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia ‘panen’ ujaran kebencian dan berita hoax. Entah kenapa, konten-konten negatif ini begitu deras menghujam sejak pemlihan presiden tahun 2014 dan semakin menjadi saat pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun lalu. Menjadi pertanyaan, apakah orang kita memang doyan memproduksi dan menyebar konten negatif? Sudah pasti jawabannya tidak.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana kita menghadapi serbuan konten negatif tersebut? Perhimpunan Hubungan Masyarakat (PERHUMAS) Indonesia mengambil peran aktif dalam menangkat konten-konten negatif ini. PERHUMAS menggelar kampanye #Indonesia Bicara Baik yang telah mereka mulai sejak tahun 2015.

“Dalam teori hubungan masyarakat, setiap orang bisa menjadi humas atau public relation. Jadi, di Indonesia ada 260 juta orang yang bisa menjadi humas dan hanya memproduksi dan membagikan konten positif,” kata Agung Laksamana, Ketua PERHUMAS Indonesia di Jakarta Marketing Week, hari ini (06/05/2018).

Wakil Ketua Umum III PERHUMAS Indonesia Boy Kelana Soebroto menambahkan bahwa sekarang ini semua orang bisa memproduksi dan menyebarkan konten. Dan, ada komunitas-komunitas yang berisi orang-orang yang suka membuat dan berbagi berita, seperti komunitas blogger, dan lainnya.  “Nah, salah satu cara untuk meredam penyebaran konten negatif adalah merangkul komunitas-komunitas ini,” katanya di acara yang sama.

Menurut Arninta Puspitasari, salah satu praktisi kehumasan, untuk menangkal konten negatif harus dimulai sejak dini. Artinya, di keluarga dan di sekolah anak-anak harus diajari untuk membedakan mana konten positif dan negatif. “Tidak hanya itu, anak-anak juga harus diberi pemahaman bagaimana menyikapi konten negatif. Diamkan saja, jangan dibagi,” tambahnya.

Lebih lanjut, Agung menambahkan bahwa di era digital ini, tantangan humas memang semakin besar. Menurutnya, ada tahapan evolusi dalam dunia humas. Pertama, Humas 1.0 yang terjadi ketika hanya saluran informasi hanya ada di media konvensional, baik cetak dan elektronik. Kedua, Humas 2.0 saat media online hadir di masyarakat. Ketiga, Humas 3.0 yang ditandai dengan hadirnya media sosial.

“Terakhir, Humas 4.0 yang muncul seiring dengan bergulirnya Industri 4.0. Dalam Humas 4.0 ini penggunaan Big Data sudah tak terelakkan lagi. Tantangan terbesar bagi humas dalam era ini adalah kemampuan analisis bukan sekadar kemampuan media monitoring saja,” tambah Agung.

Banyak orang menyebut bahwa dua tahun ini (2018 dan 2019) adalah tahun politik. Tak ayal lagi, kemunculan hoax dan konten negatif tak bisa dihalangi. Lalu, apa pesan PERHUMAS Indonesia dalam menghadapi kondisi tersebut? “Singkat saja, Think before sharing, saring before sharing,” pungkas Agung.

    Related