Perlukah Deregulasi untuk Pertumbuhan Industri Pariwisata dan Perhotelan

marketeers article

Beberapa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dinilai menghambat pertumbuhan industri pariwisata dan perhotelan. Para pelaku industri mendesak pemerintah untuk segera melakukan deregulasi agar bisa mendorong kemajuan bisnis di industri penghasil devisa kedua di negeri ini.

Maulana Yusran selaku Wakil Ketua Umum Perhimpinan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengatakan, ada beberapa kebijakan dan perundang-undangan yang selama ini menghambat daya saing industri pariwisata. Di antaranya adalah kebijakan pajak dan retribusi daerah, bentuk perizinan yang tidak lagi sesuai dengan dinamika industri, pemanfaatan sumber daya air, tingginya biaya untuk sertifikasi usaha, dan masalah hak cipta.

“Ujungnya adalah daya saing sebenarnya. Kalau bicara masalah regulasi ini sangat penting terhadap daya saing karena regulasi ini paling banyak mengeluarkan biaya bagi pengusaha. Ini beberapa poin yang kita lihat,” ujar Maulana.

Banyak pelaku di industri ini menilai, mereka tengah menghadapi berbagai tantangan mulai dari room oversupply (jumlah kamar berlebih), digital disruption (tantangan dari serbuan digital), kompetisi harga, hingga kekisruhan dalam sertifikasi profesi.

Pengusaha perhotelan mengeluhkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 55 tahun 2016 tentang Pajak Daerah dan Detribusi Daerah (PDRD) yang menetapkan bahwa complimentary/free of charge di hotel dan restoran juga dikenakan pajak. Mereka juga mengeluhkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak daerah, yang merupakan dasar hukum yang mengatur tentang pajak hiburan, dengan tarif pajak daerah maksimal mencapai 75%.

“Daerah karena terdorong cepat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), akhirnya konsumen yang terkena,” tambah Maulana. Ia mengatakan menurut pelaku industri, jenis serta pengelompokan untuk jasa akomodasi dan restoran sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika di industri ini.

“Dulu, misalnya, kita mengenal ada hanya satu jenis akomodasi, yakni hotel. Zaman sekarang yang namanya akomodasi itu ada hotel, kondotel, vila, rumah wisata, homestay, dan lain-lain. Makanya gak cocok lagi disebut pajak hotel, seharusnya disebut pajak akomodasi. Pajak restoran pun seperti itu, harusnya diubah menjadi pajak makanan dan minuman, karena kan penyedia jasa makanan dan minuman bukan hanya restoran, tapi ada kafe dan lain-lain,” kata Alan.

Pelaku usaha perhotelan juga khawatir dengan pembahasan antara Pemerintah dan DPR terkait RUU Sumber Daya Air. Pelaku industri perhotelan menilai RUU ini, jika diresmikan akan memunculkan ketidakpastian usaha, lantaran mencapuradukkan pengelolaan sumber daya air sebagai fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Dalam draft RUU ini, prioritas utama penggunaan SDA untuk kegiatan usaha diberikan kepada: BUMN, BUMD, BUMDes, Kebutuhan pokok dan pertanian, baru terakhir swasta.

“Pemberian izin penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat,” ujar Alan.

Maulana menggarisbawahi bahwa kebijakan sertifikasi usaha dinilai mahal. Sedangkan pengawasan terhadap pelaksanaan yang lemah dan sangat memberatkan pemilik hotel. Waketum PHRI ini membahas UU 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sering menjadi masalah buat operator hotel karena sering terjadi konflik yang berujung hukum. Misalnya, masalah nonton bareng untuk siaran tertentu.

Solusi menderegulasi retribusi daerah itu, ujar Alan, seharusnya pemerintah pusat hingga tingkat dua kompak dalam soal deregulasi retribusi daerah.

Sementara itu, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan mencontohkan bahwa iia tidak hanya menjanjikan deregulasi kepada pengusaha, namun menjamin akan memberikan insentif agar industri perhotelan dan wisata semakin maju di daerahnya.

Erzaldi mengajak investor pariwisata untuk menanamkan modalnya di dua KEK Pariwisata baru di Bangka Belitung, yakni KEK Tanjung Gunung dan KEK Sungailiat yang berada di Kabupaten Bangka. Saat ini, sudah ada beberapa investor yang tertarik berinvestasi di dua KEK tersebut.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related