PR Pemerintah Terkait e-Commerce Lintas Industri di Indonesia

marketeers article

Kehadiran teknologi memaksa banyak pihak untuk menggeser kebiasaan mereka. Mulai dari masyarakat sebagai konsumen, pelaku usaha, hingga pemerintah sebagai regulator. Hal ini juga terjadi ketika e-commerce menyeruak masuk pasar Indonesia. Fenomena tak tertahankan ini memaksa seluruh elemen negeri untuk beradaptasi dan memperbarui inovasinya.

Jika tidak, mungkin roda perekonomian atau kehidupan sosial di negeri ini akan goyang. Fenomena ini pun meninggalkan beberapa pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah sebagai penjaga stabilitas negara. Apa saja PRnya?

“Dunia e-commerce ini kehadirannya banyak memberikan perubahan pada ekosistem bisnis pelumas. Meski perkembangan untuk bisnis lubricant belum sepesat dibanding bisnis lain dan cara belanja pelumas di e-commerce juga masih kecil sekali, tapi kami harus mengikuti perkembangan dunia internet,” jelas Adrian Nusa, Ketua Bidang Organisasi Asosiasi Pelumas Indonesia (Aspelindo) pada MarkPlus Center for Logistic di Main Campus MarkPlus, Inc., Jakarta, Kamis (31/8/2017).

Tantangan lainnya, konsumen pelumas kini dan beberapa dekade lalu tidak sama. Jika pada tahun 1980-an atau 1990-an banyak orang yang beli oli dan menggantinya sendiri, sekarang sudah jarang ditemui. Kebanyakan dari masyarakat akan datang ke bengkel dan menggantikan oli kendaraan mereka. Dari sini, harapan Adrian adalah kanal e-commerce seharusnya digunakan oleh para bengkel rekanan mereka.

Hal serupa juga diakui oleh Andry Prihartono, Wakil Ketua Umum Presidium Nasional Indonesia Automotive Society (IAS) Bidang Edukasi dan CSR. Bagi para pehobi ini, fenomena e-commerce sangat membantu mereka. Teknologi ini menghilangkan middleman atau perantara pemasaran. Kehadiran teknologi lebih memudahkan bagi mereka untuk mencari suku cadang dan aksesoris.

“Bagi kami para pelaku bengkel, kehadiran teknologi ini memudahkan komunikasi dan distribusi produk kami. Bahkan beberapa kali kami belanja di e-commerce luar seperti eBay atau Alibaba. produk yang didapat bisa lebih murah dibandingkan beli langsung di dalam negeri. Khususnya barang-barang yang sulit didapatkan atau langka,” jelas Andry.

Meski begitu, teknologi ini juga memberikan kekhawatiran bagi mereka sebagai pembeli. Kekhawatiran akan jaminan kualitas dan proteksi pelanggan salah satunya. Jika diturunkan, permasalahan ini tidak bisa memberikan jaminan ketika barang yang dikirim memiliki nilai yang tinggi.

e-Commerce ini memang sudah lintassektor. Saat ini, kami sedang menyelesaikan peraturan soal perdagangan elektronik. Sudah dua tahun ini namun belum selesai. Dan, semua ini akan diatur di bawah Kementerian Perdagangan,” jelas I Nyoman Adhiarna, Kasubdit Tatakelola eBusiness, Direktorat eBusiness, Kominfo.

Nyoman melanjutkan, tantangan industri kini adalah mengedukasi pelanggan. Ketika kita merasa tidak nyaman dengan barang yang kita beli di e-commerce, harusnya kita berani komplain. Penyedia jasa pun harus menyediakan media untuk menuangkan keluhan konsumen.

“Jadi, pembeli pun harus peduli. Pembeli harus mengedukasi penjual. Kami pun tengah membuat aturan perlindungan konsumen dalam perdagangan online atau e-commerce. Dalam upaya ini, kami bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI),” tutup Nyoman.

Editor: Sigit Kurniawan

Related