Presentasi Bahasa Inggris Masih Ditakuti Startup Daerah

marketeers article
48129807 business man writes, do you speak english on a wall

Di mana Anda selama ini belajar Bahasa Inggris? Kursus, otodidak, atau memang pernah tinggal di luar Indonesia? Apa pun itu, di era modern sekarang ketika bisnis sudah merambah banyak negara dan kian universal, Bahasa Inggris adalah syarat mutlak. Pengusaha luar dengan mudahnya membuka bisnisnya di Indonesia. Begitu juga sebaliknya, banyak perusahaan Indonesia berekspansi minimal ke wilayah regional.

Sama dengan startup. Lewat bisnis digital, aplikasi para perusahaan berbasis internet ini bisa diakses dari mana saja di berbagai belahan dunia sehingga membuka peluang mengembangkan sayap ke luar negeri. Yang dibutuhkan tentu kemampuan berbahasa Inggris mumpuni. Tapi, kemampuan ini yang kemudian malah ditakuti oleh banyak pendiri startup teknologi, terutama di daerah luar Jakarta.

Temuan itu dirasakan oleh Deputi II Bidang Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Fadjar Hutomo. “Ketika kami roadshow ke lima kota di luar Jakarta untuk seleksi startup yang akan ikut expo di Silicon Valley tahun depan, banyak yang bertanya apakah presentasi mereka di depan investor harus Bahasa Inggris. Jika iya, mereka tidak pede dan takut. Jadi bahasa ini yang menjadi masalah di daerah,” ujarnya di Jakarta pada Selasa (23/8/2016).

Yang menjadi tren saat ini memang investor luar Indonesia mulai menebar benih mencari startup lokal untuk didanai. Bahkan, Fadjar menyatakan bahwa bukan hanya dari kawasan AS dan Asia Pasifik saja yang berniat datang, dari Ukraina pun sudah menyatakan niatnya bergabung di industri startup Tanah Air.

Hal serupa sebenarnya pernah terjadi kepada CEO Tokopedia William Tanuwijaya yang sekarang berstatus unicorn. Ia dulu cukup kesulitan mendapatkan investor terutama luar Indonesia karena kendala bahasa. Namun,, seiring berjalannya waktu ia mampu mengasah Bahasa Inggrisnya menjadi lebih baik lagi karena semakin lama sering bertemu pelaku startup dan investor luar.

Satu lagi menurut Fadjar yang menjadi masalah di daerah, yaitu permasalahan pola pikir sehingga menghambat eksekusi. Ketika terbang ke Balikpapan ada seorang founder startup mengklaim bahwa ide dari Nadiem membuat GO-JEK itu tidak asli.

“Ia mengklaim punya ide seperti GO-JEK. Kenapa tidak dibuat? Karena ada yang mengatakan kepadanya tidak mungkin tukang ojek membeli smartphone Android sehingga idenya mengendap. Sekarang, kita semua tahu yang terjadi. Ini masalah pola pikir,” sambung Fadjar.

Sekarang, menurut Fadjar, bukan soal startup itu harus tren atau tidak. Sektor ritel seperti e-commerce sedang naik daun. Banyak perusahaan beralih menjadi perusahaan jual beli online. Namun yang dibutuhkan bukan tren, tapi solusi untuk persoalan sosial.

Pencarian Fadjar bersama Bekraf dan perusahaan investasi Fenox VC sendiri ke luar Jakarta adalah bagian dari ajang Startup World Cup (SWC) 2017. Sebanyak sepuluh startup dari kawasan regional, tujuh dari Indonesia dan masing-masing satu dari Filipina, Singapura, dan Malaysia, terpilih untuk masuk ke babak penjurian akhir. Sementara, startup di luar Jakarta diberi kesempatan menjadi wildcard dan akan membuka booth di ajang final SWC 2017 di Silicon Valley, AS, pada 24 Maret 2017 mendatang.

Di ajang final pada Selasa lalu itu, startup asal Indonesia bernama Ahlijasa menjadi juara dan mewakili regional kawasan Asia Tenggara ke Silicon Valley tahun depan berhadapan dengan juara regional lain. Ahlijasa berkesempatan mendapatkan hadiah berupa US$1 juta atau sekitar Rp14 miliar jika berhasil keluar sebagai juara dunia. Startup ini bergerak di sektor on-demand untuk sektor laundry dan saat ini beroperasi di wilayah Jabodetabek.

Related