Ramai-Ramai Harus Hijrah ke Teknologi 4G?

marketeers article
36401891 4g sign on blackboard

Keinginan pemerintah untuk mempercepat proses migrasi pengguna jaringan 2G ke jaringan 4G diperkirakan masih akan melalui jalan yang cukup panjang. Masalah terbesar saat ini yang dihadapi adalah masih banyaknya pengguna yang memakai jaringan 2G di Indonesia.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara beberapa waktu lalu mengakui bahwa ongkos produksi sebuah jaringan 2G sangat mahal. Dia menilai beban biaya telekomunikasi itu bisa lebih ringan jika terjadi peralihan teknologi ke 3G maupun 4G.

Tak dapat dipungkiri, tren digital yang semakin masif di Indonesia menjadi bukti bahwa kebutuhan akan internet cepat semakin dibutuhkan. Konten digital yang menjamur dan semakin tumbuh membuat kebutuhan data semakin pun meningkat. Tren digital ini lama kelamaan membuat orang semakin banyak yang beralih dari jaringan 2G ke 3G atau 4G.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh GfK, penjualan ponsel di Indonesia sekarang ini sudah mencapai 60%, dan sejumlah perangkat sudah memiliki kemampuan 4G. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa Indonesia akan mampu dengan cepat beralih ke teknologi 4G.

Namun kenyataannya, saat ini sekitar 60% – 70% masyarakat Indonesia masih menggunakan layanan 2G, yang hanya digunakan untuk voice dan SMS saja. Diperkirakan, pasar layanan 2G akan migrasi ke 3G atau 4G membutuhkan waktu hingga lima tahun. Untuk memuluskan proses migrasi pengguna 2G menuju 4G, maka perlu diperhatikan ketersediaan handset 4G yang murah.

Untuk menyikapi kemajuan teknologi seluler dari 2G, 3G, hingga 4G, Nonot Harsono, Dosen PENS dan Pengamat Telekomunikasi, Mastel Institute mengatakan sungguh bijak jika dimulai dengan melihat permasalahan yang dihadapi di lapangan pada saat mau mengambil langkah ke depan.

Nonot menambahkan, bila angka 60% hingga 70% pengguna ternyata belum beralih ke 4G itu benar adanya, maka itupun masih mungkin karena ada dua penyebab. Pertama, karena supply layanan 4G penetrasinya masih kecil, baik coverage maupun kepemilikan handset 4G pada pengguna yang mungkin karena willingness to buy atau daya beli dari mayoritas lapisan masyarakat masih kurang. Kedua, kebutuhan masyarakat akan layanan 4G memang belum tumbuh.

Menurutnya, penyebab yang kedua, yakni kebutuhan masyarakat akan layanan 4G memang belum tumbuh. Kalau disimak lebih cermat, sebenarnya bagi pengguna, nilai tambah yang didapat dari 4G dibanding 3G adalah peningkatan kenyamanan dan kepuasan dari user experience (UX), atau biasa diistilahkan dengan convenience and satisfaction.

“Jangan-jangan orang Indonesia sebagian besar belum butuh itu (4G), yang penting bisa komunikasi verbal. Belum lagi ada yg merasa gaptek dan enggan untuk mencoba hal yang baru,“ ujar pria yang pernah menjabat sebagai komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia selama dua periode ini.

Perangkat 4G dengan harga terjangkau memang sangat dibutuhkan untuk memuluskan
rencana migrasi pengguna 2G ke 4G. Idealnya, range harga ponsel 4G agar bisa diterima
pasar menengah bawah berkisar US$ 250. Karena daya beli rata-rata pengguna 2G yang
kebanyakan dari kelas menengah bawah hanya maksimal mampu membeli handset seharga US$ 125.

Menurut Nonot, tantangan pemerintah dan para penyedia jaringan 4G adalah bagaimana
menciptakan the real needs dari 4G yang bukan sekedar untuk convenience dan
satisfaction; misalnya untuk alat bantu dalam menjalankan bisnis. Bisa saja pemerintah
membuat program pembinaan e-UKM yang lebih nyata dengan pelatihan literasi teknologi
dan subsidi gadget. Konon ada lebih dari 100 ribu UKM yang bisa diprovokasi untuk
menggunakan teknologi 4G hingga seramai demam batu akik.

Di sisi lain, ponsel 4G murah di Indonesia bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Karena saat
ini, beberapa vendor dan pabrikan ponsel telah mulai memproduksi ponsel 4G murah
dengan kisaran harga Rp 500 ribu. Saat ponsel 4G sudah menjadi sangat terjangkau, maka akan bisa mengatasi keengganan pengguna 2G bermigrasi ke 4G karena alasan handset yang mahal.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related