Renaisans Yogyakarta, Lecture of The Year dari Sultan Jogja

marketeers article

Gubernur Darerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Bawana X menjadi pengisi Lecture of Year 2015 Hari Ulang Tahun MarkPlus ke-25. Berikut adalah teks yang disampaikan Sultan dan berjudul “Renaisans Yogyakarta”:

Mengganti bisnis inti tak semudah membalik telapak tangan dan penuh risiko. Biasanya perusahaan mengubah core business-nya sebagai strategi agar bisa “bertahan hidup”. Risiko terbesar adalah penyiapan SDM yang memiliki core value, core behaviour, dan core competence sesuai core business baru.

Meski tidak mengganti core culture berikut values-nya, tapi menyandang risiko serupa, terbatasnya SDM yang akuntabel. Itulah temuan saya tatkala akan membumikan Renaisans Yogyakarta menjadi wujud riil yang manfaat. Konsep yang bertajuk “Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru” itu saya sampaikan di depan Sidang Paripurna DPRD DIY, 21 September 2012. Kini kata “renaisans” itu menemukan padanan istilah lokal “gumrégah” (bangkit kembali). Pencapaiannya jelas memerlukan perubahan mindset, bukan hanya di jajaran birokrasi saja, melainkan juga seluruh elemen masyarakat sipil.

Pemaknaan Nilai-Nilai

Peradaban baru itu adalah peradaban yang dijiwai dan digerakkan oleh visi akbar yang dilandasi filosofi universal “Hamêmayu-Hayuning Bawânâ”, yang di dalamnya terkandung kewajiban Tri Satyâ Brâtâ. Pertama, rahayuning buwânâ kapurbâ waskitaning manungsâ (kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa), harmoni hubungan manusia dengan alam, baik dalam lingkup dunia (world) sebagai kewajiban ”Hamangku Buwânâ”, maupun seluruh alam semesta (universe) sebagai kewajiban ”Hamêngku Bawânâ”.

Kedua, darmaning manungsâ mahanani rahayuning nêgârâ (tugas hidup manusia adalah menjaga keselamatan negara), sebagai kewajiban manusia selama hidup di dunia, dimana kehidupan merupakan dinamika manusia, yaitu ”Hamêngku Nagârâ”. Ketiga, rahayuning manungsâ dumadi karânâ kamanungsané (keselamatan manusia oleh kemanusiaannya sendiri).

Sehingga dapat dimengerti jika filosofi itu menyandang misi akbar bagi manusia dalam tiga substansi tersebut, yaitu: ”Hamêngku Nagârâ, Hamangku Buwânâ, Hamêngku Bawânâ”. Bahwa kewajiban ”Hamêngku Nagârâ” itu, karena Tuhan menciptakan manusia yang berbeda-beda, bergolong-golong dan bersuku-suku, sehingga diperlukan eksistensi negara dan pemerintahan yang mengaturnya, agar tidak terjadi seling-surup dan saling-silang antarmanusia.

Manusia wajib ”Hamangku Buwânâ”, karena buwânâ atau bumi sebagai lingkungan alam telah memberikan sumber penghidupan bagi manusia untuk bisa melanjutkan keturunan dari generasi ke generasi, sehingga manusia wajib pula menjaga dan memelihara kelestariannya. Sementara ”Hamêngku Bawânâ” merupakan kewajiban manusia yang lebih luas dalam mengakui, menjaga dan memelihara seluruh isi alam semesta (bawânâ), agar tetap memberikan sumberdaya bagi kehidupan manusia, seperti bulan, matahari dan planet-planet.

Pada hakikatnya dalam nama Hamêngku Bawânâ itu tersandang tiga substansi makna: ”Hamangku, Hamêngku, Hamêngkoni”, yaitu tugas dan kewajiban mulia manusia untuk mengagungkan asma Allah. Konsekuensinya, secara sosial ajarannya yang melekat dalam nama, derajat, pangkat dan gelar agung itu harus diamalkan, agar berguna bagi rakyat.

Implikasi lanjutannya, tidak berhenti hanya pada pemaknaan gelar yang bersumber dari filosofi dalam tuntunan what is semata, tetapi berlanjut tatanan what for, berupa rangkaian tindakan hanya demi sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

Implementasi Nilai-Nilai

Nilai-nilai filosofi itu dibedakan dalam tiga tataran nilai-nilai (values)1. Pertama, nilai dasar, bersifat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu dan tempat dengan kandungan kebenaran bagaikan aksioma.

Dari kandungan nilainya, nilai dasar berkenaan dengan eksistensi yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khas, yang menjadi fondasi keIstimewaan Yogyakarta yang bersifat permanen.

Kedua, nilai instrumental, nilai kontekstual yang merupakan penjabaran nilai dasar, sebagai arahan untuk kurun waktu dan kondisi tertentu. Nilai instrumental ini harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun harus tetap mengacu pada nilai dasar sebagai sumbernya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif-dinamik dalam bentuk-bentuk baru dalam batas-batas nilai dasar yang dimungkinkan. Dari kandungan isinya, nilai instrumental merupakan sistem, kebijakan, strategi, pengorganisasian, rencana, atau program yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut.

Ketiga, nilai praksis, terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat mengimplementasikan nilai-nilai filosofis itu. Dari kandungan isinya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara nilai-nilai ideal dan aktual. Dan, sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijakan, strategi, rencana, atau program terletak batu ujian terakhir dari nilai-nilai, tetapi pada kualitas aktualisasinya di lapangan.

Untuk sebuah filosofi yang terpenting adalah bukti pengamalan atau aktualisasinya yang hidup di masyarakat (living philosophy). Suatu filosofi dapat dirumuskan secara ideal dengan argumen yang logis dan konsisten terhadap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Tetapi, jika rumusan nilai praksisnya tidak dapat diaktualisasikan, maka filosofi itu akan kehilangan legitimasi. Karena, tantangan terbesar suatu filosofi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya tersebut.

Untuk menjaga konsistensi dalam mengimplementasikan nilai-nilai normatif ke dalam praktik, maka nilai-nilai yang abstrak-umum-universal itu perlu ditransformasikan menjadi rumusan yang riil-spesifik-kolektif, bahkan bersifat individual. Artinya, nilai-nilai filosofi itu menjadi sifat-sifat dari subyek kelompok dan individu, sehingga menjiwai perilaku dalam lingkungan praksisnya di bidang ketugasan, profesi, dan kehidupan pribadi. Implementasi nilai-nilai filosofi itu digambarkan sebagai gerak transformasi dari kategori tematis (berupa konsep, teori) menjadi kategori imperatif (berupa norma-norma), dan selanjutnya menjadi kategori operatif (berupa praktik hidup).

Harus ada pilihan medium antara yang mentransformasikan nilai-nilai menjadi kesadaran, sehingga membentuk sikap dan perilaku warga masyarakat yang mengekspresikan nilai-nilai adiluhung itu.

Kendalanya adalah pilihan Pranata (SKPD) mana yang tepat untuk sosialisasinya, dan bagaimana metoda internalisasi dan implementasinya, agar terwujud menjadi sikap dan perilaku. Artinya, pelembagaannya (institusionalisasi) harus diikuti dengan proses penanaman nilai-nilai yang melandasi norma tersebut (internalisasi).

Mengingat betapa arti pentingnya internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai “Hamêmayu-Hayuning Bawânâ” agar menjadi filosofi yang hidup (living philosophy), dan light star yang memandu kehidupan warga masyarakat, maka diperlukan adanya Peraturan Daerah (Perda) tentang Implementasinya.

Strategi Budaya

Sejatinya budaya adalah strategi bertahan hidup untuk menang. Inti dari kebudayaan bukanlah budaya itu sendiri, tetapi strategi kebudayaannya! Budaya tinggi tidak selalu berwujud kesenian yang rumit, melainkan dibuktikan dari how survival is the nation. Disiplin diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan membentuk karakter sebuah masyarakat-bangsa. Sebab karakter mengandung pengertian suatu kualitas positif dengan kepribadian khas yang dimiliki suatu bangsa, atau komunitas, sehingga membuatnya memiliki reputasi.

Tidak sedikit permasalahan yang muncul dalam masyarakat dapat diselesaikan melalui pendekatan budaya, atau setidaknya memerlukan sudut pandang budaya. Namun, sangat disayangkan kebudayaan saat ini dilihat secara parsial dan tidak utuh. Belum adanya grand design kebudayaan merupakan salah satu penyebabnya, sehingga berpengaruh pula pada tataran praksis. Dalam hal ini, Yogyakarta sedang menyiapkan grand design yang komprehensif.

Jika dirangkum, ada empat peran penting kebudayaan, pertama, kekuatan yang mengikat cita-cita dan rasa kebersamaan (binding power), kedua, memberi arah dan muatan pendidikan, ketiga, media rekonsiliasi dan akulturasi (soft power), keempat, kaitannya dengan pendekatan ekonomi berbasis budaya guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat2.

Pada setiap periode sejarah, kebudayaan dan peradaban dipandang sebagai hal terpenting dan menentukan hubungan antarmanusia. Bangsa Yunani dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan budaya. Di dunia Timur, peradaban Islam muncul dan berkembang dipengaruhi oleh budaya Arab, Iran dan Turki. Selama beberapa abad, peradaban Islam berkembang di kawasan Asia Kecil, Balkan, Iran, Asia Tengah, India, Timur Tengah dan Afrika Utara.

Kebudayaan memiliki peran sangat penting dalam memajukan atau menurunkan kualitas hidup suatu bangsa, untuk itu Indonesia dinilai perlu menerapkan strategi Cross Cultural Fertilization (penyerbukan silang antarbudaya).

Dampaknya, saripati budaya-budaya lokal yang berkualitas dan memiliki nilai dorong kemajuan dapat diserbukkan dengan nilai-nilai budaya lain, baik yang terdapat di bumi Indonesia, maupun dari mancanegara.

Kultur Keunggulan

Diharapkan dengan menerapkan konsep tersebut Indonesia akan memiliki kebudayaan baru yang unggul dan tampil percaya diri menjadi bangsa besar yang disegani oleh bangsa-bangsa lain. Indonesia perlu belajar dari negara-negara Asia Timur, seperti China, Jepang dan Korea yang mampu menjadi bangsa terhormat, justru karena memanfaatkan secara optimal unsur-unsur positif yang terkandung dalam budaya mereka.

Menjadi kewajiban kita untuk menumbuhkan kultur baru: “culture of excellence”, kultur keunggulan, di semua arena kehidupan bangsa. Memang banyak yang pesimis, apatis, bahkan sinis. Namun sejarah memberi perspektif yang nyata: ternyata bisa! Satu contoh saja. Korea Selatan pernah luluh lantak usai Perang Dunia II, kini tampil gagah di serambi depan bangsa-bangsa maju. Apa rahasianya? Samuel Huntington dalam “Culture Matters” memberikan jawaban tegas: budaya! Budaya yang bertumbuh di sana ialah kerja keras, disiplin, berhemat, menabung, dan mengutamakan pendidikan. Itulah akar-akar tunggang pohon keunggulan yang kita cari-cari itu.

Tema keunggulan sangat menentukan kemajuan dan martabat bangsa, yang harus digerakkan oleh visi akbar yang menggetarkan bahkan sanggup meminta pengorbanan dari segenap warganya, dipandu oleh strategi cerdas agar sumberdaya yang terbatas pun bisa cukup, dimotori oleh inovasi-inovasi kreatif, dikawal oleh sikap antisipatif, dan didukung oleh karakter ketekunan.

Akhirnya disimpulkan bahwa basis keunggulan sebuah bangsa, atau komunitas, nyata-nyata dan tak bisa lain, ialah manusia yang unggul spiritualitas, intelektualitas, dan etos kerjanya. Manusia-manusia unggul demikianlah yang menghasilkan kitab Sutasoma, Nêgarakêrtagama, Sêrat Cênthini, candi Borobudur dan Prambanan. Dan manusia-manusia unggul itulah kini yang menghasilkan invensi di bidang sains dan teknologi, inovasi di bidang industri, masterpiece di bidang seni, serta tata kelola yang baik di bidang pemerintahan.

Itulah akar tunggang pohon keunggulan yang pernah kita miliki, dan kini kita cari-cari itu: the spirit of excellence, yang menjadi ruh Renaisans Yogyakarta. Tetapi spirit itu perlu diberi darah, saraf, otot, dan daging agar menjadi tubuh, artinya menjadi budaya.

Renaisans Yogyakarta

Renaisans Yogyakarta digagas dalam tatanan harmoni dengan masa lalu, masa kini dan masa depan, agar titik singgung antara warisan masa lalu dengan kegelisahan masa kini serta harapan di masa depan tidak saling meniadakan. Ditampilkannya kembali ajaran klasik adiluhung dari para pujangga dalam sêrat dan babad, bukan untuk mem-babat apa yang sudah tertanam di masyarakat, tetapi untuk menggali, mengkaji, menguji dan mengukuhkan kembali piwulang agung yang sempat kita lupakan. Dengan keyakinan, bahwa kebesaran peradaban Yogyakarta-Mataram itu harus muncul kembali dan mampu berbicara pada tataran nasional dan global.

Namun, untuk mewujudkan Renaisans Yogyakarta itu, memerlukan pemikiran ulang dan pembentukan kembali semua pranata sosial-politik melalui “Reformasi Kultural”. Maka proses re-thinking dan re-shaping menuju “jogja istimewa” itu, kendati pun saat ini momentumnya tepat akan tetapi tidaklah mudah, di samping juga memerlukan waktu untuk mampu mengubahnya, karena kultur lama sudah amat mengakar.

Kecerdasan kolektif yang menghasilkan Borobudur dan Prambanan, harus kita cermati kembali perhitungan aspek sains dan teknologinya, bagaimana bisa berton-ton batu-batuan disusun dan dikonstruksi menjadi sebuah candi agung yang bisa bertahan ribuan tahun. Tentu di sana membutuhkan kecermatan hitung, ketelitian pikir dan manajemen massal serta penuh dengan landasan filosofis yang menjiwai semangat membangun peradaban.

Bangsa yang pernah membangun Borobudur, hanya dapat menciptakan “borobudur-borobudur” baru, atau historiografi setaraf Pararaton dan Nêgarakêrtagama, ensiklopedi selengkap Babad Tanah Djawi, atau pitutur luhur sekelas Wêdhâtâmâ dan Wulangrèh, selama Rakyat Yogya bersedia secara tekun dan kreatif membuka diri terhadap sains dan teknologi baru, dengan menajamkan rasa dan mengasah rasio, serta siap beradaptasi dengan kemajuan zaman.

Dengan demikian, kebanggaan akan keberhasilan nenek-moyang itu, bisa menginspirasi hadirnya wawasan kreatif tentang Renaisans Yogyakarta. Yang harus diisi dengan menghidupkan kembali kantung-kantung budaya di kampung-kampung, sehingga tercipta suasana kehidupan berkebudayaan yang kondusif menuju peradaban baru.

Sumbernya, Renaisans Jawa

Dalam sejarah Mataram kita mencatat Sultan Agung (1613-1645) sebagai Ratu gung binathârâ terbesar. Pada masanyalah kita menyaksikan puncak kejayaan Mataram yang terlihat dalam performa politik, luas wilayah dan besarnya kekuasaan. Kemampuannya mempertahankan kemerdekaan dan hubungan dengan berbagai kerajaan di luar Jawa, pengembangan kebudayaan Jawa lewat akulturasi budaya, penulisan Babad Tanah Djawi, pembangunan makam di bukit Imogiri, dan bahasa Jawa Krâmâ-ngoko, telah membuktikan kebesarannya itu3. Banyak sejarawan telah menulis sejarah Mataram, seperti monografis karya de Graaf, De Regering van Sultan Agung, yang memperlihatkan betapa cemerlang Sultan Agung mewarnai sejarah Mataram.

Kalender Sultan Agungan, mengubah sistem penanggalan Syamsiyah berdasar pergerakan Matahari pada penanggalan Saka Hindu-Jawa menjadi sistem Komariyah berbasis pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi mengadopsi sistem penanggalan Hijriyah yang Islami. Namun meski mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriyah, kalender Jawa tidak mengikuti aturan penanggalannya. Selain mengubah sistem penanggalan, ada penyesuaian nama bulan dan hari. Semula menggunakan bahasa Sansekerta menjadi bahasa mirip bahasa Arab. Maka secara samar ditengarai, pada masa Sultan Agung-lah dimulainya “Renaisans Jawa”.

Jika Renaisans Eropa menghidupkan kembali peradaban Yunani dan Romawi kuna, dalam wujud kebangkitan ilmu berdasarkan sumber-sumber klasik, Renaisans Jawa juga menggunakan sumber-sumber klasik kesusasteraan serupa, dengan diberi vitalitas dan “ruh” baru.

Renaisans Jawa di bidang sastra mencapai puncaknya ketika zaman kapujanggan pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana IV. “Pemberontakan” Jawa terhadap pengaruh asing, Hindu, Buddha, Islam, India, Arab, China, Belanda, terefleksikan dengan lugas lewat karya-karya susastrâ. Pada masa itu tersirat terjadinya “benturan antarperadaban” (the clash of civilization) di Jawa. Intensitasnya menjadikan bahasa dan tulisan Jawa berkembang pesat, karena digunakan sebagai media defensif masuknya budaya dan peradaban asing.

Dampak lanjutannya adalah lahirnya kembali (renaisans) nilai-nilai dalam budaya dan peradaban Jawa. Renaisans Jawa pada jaman kapujanggan ini merupakan titik awal Jawa memperoleh “kedaulatan spiritual”. Ketika itu digali naskah-naskah lama yang berisi ajaran etika, dengan menggubah dan merevitalisasi isi dan bahasanya disesuaikan dengan zaman. Isi ajarannya bersumber pada etika dan filsafat Jawa beserta larangan-larangannya dengan mengacu pada ajaran leluhur dinasti Mataram, Panembahan Senapati dan Sultan Agung, dengan premis dasar: dunia ideal adalah dunia harmoni lahir dan batin.

Menurut seorang Indonesianis dari Monash University, M.C. Ricklefs, “Revolusi sosial di Yogyakarta dimulai dari atas ke bawah”. Sedangkan sosiolog Prof. Selo Sumardjan mengatakan, revolusi Kraton Yogyakarta tidak perlu mendobrak pintu-pintu Istana seperti Revolusi Perancis, karena pintu-pintu Kraton dengan sendirinya terbuka lebar, saat Pagêlaran, Sitihinggil dan beberapa nDalêm Pangèranan untuk kuliah mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

Fenomena itu adalah tanda-tanda tumbuhnya benih-benih lanjutan Renaisans Jawa yang dimulai pada zaman Sultan Agung hingga masa Revolusi Istana di Yogyakarta. Sekarang tinggal bagaimana kita menyempurnakannya sebagai wahana yang menyejahterakan rakyat.

Berbagi Peran

Kota-kota peninggalan Mataram membayangkan Kraton sebagai representasi dari pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan. Dimana kedua dimensi itu dijiwai oleh semangat Satriya Mataram, yang menurut konsep Yogyakarta adalah: “Sawiji, Grêgêt, Sêngguh, Ora-Mingkuh”. Sedangkan versi Surakarta menggunakan idiom serupa, “Lungguh, Sêngguh, Tangguh”.

Sejatinya raja-raja Jawa, Sri Paku Buwono XII, Sri Mangkunegara IV, Sri Paku Alam VIII dan Sri Sultan HB IX adalah sosok-sosok transformator nilai. Secara kesejarahan, tampak Kasunanan Surakarta Hadiningrat (simbol lingga) lebih fokus pada pengembangan olah-tari, Mangkunegaran (yoni) sebagai pusat kapujanggan dan susastrâ, Paku Alaman (lingga) di bidang pendidikan, dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (yoni) dalam hal kepemimpinan. Namun, di masa kini peran-peran itu sudah saling bertukaran, karena adanya saling-silang budaya, dan proses interaksi sosial-budaya yang luas.

Tentang peran Sri Sultan HB IX sebagai transformator nilai, ada pendapat yang mengatakan: “Kalau melihat swargi HB IX, kita tidak lagi terkesan sebagai Raja Jawa. Tetapi seorang yang mengokohkan kehadiran sebuah negara besar: Indonesia. Dan ini adalah transformasi kepemimpinan”. Indonesia kini memiliki program-program yang tidak bisa lagi dengan referensi masa silam.

Namun, para pendahulu telah meletakkan dasar-dasarnya. Tantangan bagi generasi sekarang adalah bagaimana melanjutkan dan menyempurnakannya.

Petilasan Mataram tersebar di mana-mana. Ada candi Prambanan mewakili Hinduisme yang dibangun Abad-7. Candi Borobudur, mewakili Budhisme di Abad-9. Peradaban Demak mewakili Islam mulai Abad-11. Bila dibutuhkan waktu 100 tahun untuk membangun Prambanan, maka jarak waktu antara kehadiran Hinduisme dengan Budhisme sangatlah dekat. Juga masuknya Islam dua abad setelah Borobudur dibangun, bukanlah jarak waktu yang jauh dari sisi peradaban.

Padahal jarak geografis pusat-pusat pasang-surutnya nilai-nilai itu, hanyalah puluhan kilometer saja. Pastilah para raja di wilayah itu memiliki pengalaman dan ngèlmu yang memadai untuk tetap survive, karena bisa mengelola konflik menjadi suatu kehidupan yang penuh harmoni dan toleransi.

Peran raja-raja Surakarta-Yogyakarta ini dari segi kebudayaan sangatlah besar, mengingat Jawa Tengah-DIY-Jawa Timur menjadi ajang pengaruh isme-isme global yang datang pasang-surut silih-berganti.

Refleksi Sejarah

Untuk bahan refleksi sejarah, kita dapat merunut zaman Senapati. Sebagai pendiri Mataram, beliau melakukan penyaturagaan “Senapati-Ratu Kidul”4 sebagai Deklarasi Politik bahwa Mataram bukanlah penerus Pajang, baik de facto maupun de jure, karena kedaulatannya meliputi wilayah Mataram sampai Laut Selatan yang bagaikan tak terbatas itu. Situasi politik saat itu adalah masa dimana armada Belanda dan Portugis boleh dikata sudah menguasai Laut Jawa.

Untuk mengukuhkan kekuasaannya, beliau bergelar Panembahan Senapati. Gelar ini timbul dari satu masa, ketika “dua tangan” (ulama dan raja) memegang “satu fungsi” yang bersegi kembar, ibarat “kupu tarung” (segi ruhani dan badani). Konsep ini semula muncul di zaman Demak, dan lebih melembaga ketika “dwi fungsi” (agama dan politik) dipegang satu tangan, sejak zaman Senapati, dan terlebih lagi pada masa Amangkurat5.

Sementara, di zaman Sri Sultan HB I beliau merumuskan etos kerja: “Sawiji, Grêgêt, Sêngguh, Ora-Mingkuh”, karena orang Jawa kala itu membutuhkan disiplin. Disiplin adalah konsep integritas untuk menguatkan ketatanegaraan dan bekal perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Mitos politik, seperti kata Mircea Eliade tentang hubungan mitos dan realitas, menyediakan argumen praktis yang menyajikan peristiwa masa lalu sebagai preseden atau paradigma tindakan sekarang. Sementara menurut Ernst Cassirer, mitos seperti agama, yang memberi kita kesatuan merasa. Tetapi kesulitan dengan mitos dalam kehidupan modern yang menuntut transparansi dan kepercayaan adalah tidak terpisahkannya yang riil dari yang fiksi, yang subyektif dari yang obyektif, yang partikular dari yang universal6.

Oleh sebab itu, kita harus secara cerdas menangkap substansi dari pesan dan makna yang terkandung dalam mitos dari para pendahulu kita yang selalu bersifat interpretatif karena penuh misteri. Mitos, sesungguhnya tidak selalu negatif, tetapi jika pandai menggunakannya, justru bisa memberikan jalan bagi kemajuan bangsa.

Jatidiri Budaya Mataraman

Jika merujuk makna “kraton” dari akar kata bahasa Sansekerta, “kratu” artinya “kebijaksanaan”, maka Budaya Mataraman yang dipancarkan dari keempat Kraton itu penuh nilai-nilai kearifan dan menjadi pusat keteladanan masyarakat. Jatidirinya termuat dalam Sêrat Cênthini, Sêrat Sastrâ Gêndhing, Sêrat Wulangrèh, dan Sêrat Wêdhâtâmâ sebagai sumber utama acuan untuk ajaran etika, estetika, dan filsafat Jawa. Misalnya pesan Sultan Agung dalam Sêrat Sastrâ Gêndhing kepada keturunannya berikut ini:

Marmâ sagung trah Mataram, kinèn wignyâ têmbung kawi.

Pupuh itu menyiratkan pesan, agar Trah Mataram secara arif harus memetik hikmah yang terkandung dalam bahasa Kawi yang banyak memuat ajaran-ajaran filsafat untuk membentuk jatidiri Manusia Jawa (dan Indonesia) dalam menjalankan laku utâmâ. Jatidiri adalah kata kunci paham Jawa, karena dimengerti dalam rangka pengalaman individual-mistik. Jadi jatidiri juga memiliki aspek sosial dan politik kebangsaan. Jatidiri dalam aspek sosial politisnya ini tidak mungkin diraih dengan asketis individual. Jatidiri macam ini hanya dapat diraih dengan asketis sosial.

Dalam bahasa reformasi sekarang ini, asketisme sosial itu adalah pengendalian diri untuk menghindari kecenderungan yang mencari keuntungan pribadi yang bukan haknya, seperti korupsi dan berbagai-bagai tindak penyelewengan lainnya. Dunia sekarang ini adalah medan pergulatan yang berat, karena dalam dunia inilah orang mendapat tawaran pelbagai nilai yang sering bertentangan dengan jatidiri manusia dalam dimensi sosialnya itu.

Bila kita ingin menghidupkan ajaran dan nilai jatidiri serta kasunyatan dalam dimensi sosialnya itu, kiranya kita harus memahami bahwa mencari jatidiri dalam dunia modern bukanlah tugas moral, tetapi tugas politik. Hanyalah politik yang dapat mewujudkan jawaban atas keprihatinan akan kemerosotan nilai-nilai. Realisasi jatidiri itu, tidaklah jatuh dari dunia teori atau imbauan moral, tetapi di bidang praksis dan politik praktis.

Membabar jatidiri, tidaklah cukup bila dimensi sosialnya diterjemahkan dalam istilah kekeluargaan dan kebersamaan. Dari sisi wong cilik, kebersamaan itu harus mewujud dalam keadilan. Dan ini bukanlah tugas pujangga, karena mereka hanya mengimbaukan ajaran. Politisilah yang harus menghidupkannya di dunia nyata. Jatidiri tak lagi dicapai dengan tâpâ-brâtâ di gua sepi, tetapi terjun di dunia ramai (tâpâ-ngramé).Bukankah pesan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, “Tahta Untuk Rakyat” jelas telah membuktikan “laku tâpâ-ngramé” itu?

Dari Catur Sagâtrâ Kembali ke Catur Sagotrah

Sebagai kerajaan besar, pengaruh Mataram melingkupi seluruh Nusantara. Karena kuatnya pengaruh itu, melalui Perjanjian Giyanti Belanda memecah Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kedua kerajaan ini memiliki satu lambang, Dwi Nâgâ Râsâ Tunggal, dua naga yang menghadap ke arah Barat dan Timur, namun ekornya tetap bertaut menjadi satu. Naga yang menghadap ke Barat adalah Tamansari (Kraton Yogyakarta) yang memiliki kekuatan Gunung Merapi dan Pesisir Parangkusuma, Naga yang menghadap ke Timur adalah Sriwêdari (Kraton Surakarta) dengan kekuatan Gunung Lawu dan Kayangan Dlepih.

Keempat kerajaan ini disebut Catur Sagâtrâ (Catur Gâtrâ Tunggal), yang sama-sama memiliki satu garis Trah Mataram, sehingga menjadi pewaris sah dari Budaya Mataraman. Catur Sagâtrâ, adalah konsep kosmologi Jawa yang bertumpu pada harmoni mikro dan makro kosmos. Ilmu tentang alam semesta ini kemudian oleh Pendiri Mataram dijadikan konsep dasar perencanaan tata ruang kota Mataram-Islam, yang diterapkan pada pembangunan Ibukota pertama Mataram di Kotagede. Catur Sagâtrâ jika diurut searah putaran jarum jam, terdiri atas Kraton, Masjid Agung, Pasar Gêdé dan Alun-Alun. Catur Sagâtrâ tersebut, meski terpisah tetapi terhubung oleh koridor-koridor jalan. Keempat entitas itu saling menguatkan, karena disatukan oleh ikatan nilai-nilai kepemimpinan, religi, sosial-ekonomi dan budaya. Sebuah kemapanan kultural Mataram di Kotagede, dimana konsep nilai-nilai religi, sosial, ekonomi dan budaya dijadikan acuan tata ruang kota.

Masing-masing memiliki fungsi tersendiri, tetapi dalam satu keutuhan “gatra” (“tubuh”) saling melengkapi, dan mempengaruhi perilaku masyarakat di lingkungan kawasan. Dengan pengertian “kesatutubuhan” itu, mengandung makna dan pesan agar keempat Dinasti Mataram itu kita bangun bersama kembali menjadi “sagotrah”, manunggalnya ikatan kekerabatan keempat Trah Mataram.

Konsep Catur Sagâtrâ memiliki inner-energy untuk melebur-menyatu, sekaligus menjadi ruhnya konsep kekerabatan agung, Catur Sagotrah. Jika penyatu-paduan itu bisa diwujudkan, itu adalah sebuah lompatan besar (great-leap) yang dapat digunakan sebagai wahana menggali, mengkaji, dan menguji nilai-nilai kecerdasan lokal (local-wisdom) dan keunggulan lokal (local-genius), agar dapat kita kembangkan menjadi cermin laku kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi Indonesia.

Bukan harus disalahpahami oleh masyarakat Indonesia untuk membangun kembali sistem feodalisme. Tetapi adalah prakarsa awal Renaisans Budaya Mataraman sebagai gagasan inspiratif akulturasi budaya menuju Indonesia yang lebih bermartabat.

Bertahap, Namun Konsisten

Kebangkitan Eropa dari era kegelapan diawali proses revitalisasi budaya. Pada era ini, yang berlangsung sekitar Abad 11-13, tumbuh kesadaran pentingnya penggalian kembali kebudayaan kuna Yunani dan Romawi. Setelah revitalisasi budaya, terjadi Renaisans berupa perkembangan kesenian dan kesusastraan di Abad 14-17. Renaisans mendorong terjadinya revolusi sains di Abad 16-17. Akhirnya terjadi restrukturisasi sistem politik di Abad 17-18, dan berlanjut ke revolusi industri di Abad 18-19. Revitalisasi budaya merupakan elemen penting yang mengawali kebangkitan sebuah peradaban melalui Gerakan Renaisans.

Dari sini terlihat, Renaisans Eropa adalah sebuah proses panjang yang diawali proses revitalisasi budaya. Proses ini juga mengawali kebangkitan Jepang, Amerika Serikat, China, dan Rusia. Oleh sebab itu perlu disadari, Renaisans Yogyakarta tidak harus segera menghasilkan perubahan besar, tetapi dapat secara bertahap, namun konsisten. Sejarah memang selalu berisi sejumlah pilihan-pilihan sulit seakan di simpang jalan. Keputusan yang diambil pelaku-pelakunya merupakan langkah yang akan menentukan jalan ke depan yang tidak jarang berliku, terjal penuh tantangan dan rintangan.

Renaisans Yogyakarta memerlukan “Revolusi Kultural”. Itulah mengapa reformasi birokrasi belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan. Karena baru menyangkut hard side of change, seperti perubahan pada aspek kelembagaan, sistem dan prosedur yang lebih mudah diidentifikasi.

Sementara soft side of change yang berbasis kultur untuk merubah mindset dan perilaku, belum cukup disentuh. Tekad diperlukan untuk mengatasi tantangan yang datang dari kalangan yang akan dirugikan karena perubahan.

Oleh karena itu, Renaisans Yogyakarta harus dilakukan secara sistematis dan terarah, didukung oleh kemampuan pimpinan yang kuat, konsisten dan konsekuen, disertai keteladanan di semua lini, selain ditunjang oleh komunikasi kultural yang adaptif.

Catatan Akhir

Ketika kita jenuh menjalani hidup, jalan yang bijak adalah menyelam ke danau kebudayaan. Di sana airnya jernih, sejernih Sang Kudus, sebiru nirmala Yang Maha Pencipta. Dengan metafora jernihnya “air kebudayaan” itu, pendekatan kultural seharusnya menjadi arus utama “menjinakkan” perbedaan cara pandang yang berpotensi konflik untuk menjalin rekonsiliasi. Karena setiap kebijakan yang menggunakan pendekatan kultural pada hakikatnya adalah mediasi kemanusiaan yang bersumber dari hati nurani guna tercapainya kesejahteraan yang berkelanjutan.

Dalam hal ini, Kerabat Keraton sebagai pamomong dan peneladan harus bisa berani mengubah cara berpikir dan bertindak dengan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya adiluhung agar menjadi perilaku warga. Ditambah penyelenggara negara yang berpikir dan bekerja cerdas, akademisi yang kreatif dengan komitmen, rohaniawan yang mengamalkan kesalehan ritual dan kesalehan publik, wirausahawan yang inovatif dan berani mengambil risiko, didukung oleh Rakyat Jogja Istimewa yang kreatif, diharapkan lahirnya model sinergi baru, Catur Sagâtrâ 4-K: “Keraton, Kaprajan, Kampus dan Kampung” sebagai energi akselerasi bagi percepatan terwujudnya Renaisans Yogyakarta.

Sehingga menjadilah satu keterpaduan Pranata Istimewa sebagai agen perubahan, dan di tangan entitas itu pulalah standar hidup “Jogja Istimewa” menuju kesejahteraan ini dipertaruhkan. Dan itulah makna hakiki dari pewarisan budaya unggul bagi generasi penerus bangsa yang digagas sebagai Renaisans Yogyakarta.

Dalam kaitan Renaisans Yogyakarta, ada relevansinya jika mengutip pesan seorang penggerak Renaisans Eropa, Leon Batista Alberti, yang mengatakan “Man can do all things if they will”. Namun pesan itu harus dijalankan sesuai ajaran terpenting dari Sêrat Wêdhâtâmâ, “ngèlmu iku kalakoné kanthi laku”. Atau jika mengutip pidato Lahirnja Pantja Sila oleh Bung Karno, “zonder perjuangan Weltanschaung pun tidaklah akan menjadi realitet”.

Dalam hal ini, Anatole France, seorang sastrawan Perancis penerima Nobel Sastra tahun 1921, memberikan inspirasi, bahwa “Untuk menyelesaikan hal yang besar, kita tidak hanya harus bertindak, tetapi juga harus bermimpi, tidak hanya berencana tetapi juga harus percaya”.

Dalam konteks itu, Anatole berharap: Jika Anda terlibat secara emosional, maka Anda dapat membayangkannya, sehingga Anda akan dapat mencapainya. Jika Anda dapat memimpikannya, maka Anda pun akan dapat mewujudkan mimpi Renaisans Yogyakarta menjadi nyata.

Jakarta, 12 Mei 2015

GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

HAMENGKU BAWONO X

Related