Revolusi Mental: Budaya Tak Dibangun Dalam Semalam

marketeers article

Pada pertengahan tahun 2014 lalu, optimisme publik terhadap perubahan di Indonesia semakin berkobar dengan konsep revolusi mental yang digaungkan calon presiden yang lantas terpilih sebagai Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi). Konsep revolusi mental ala Jokowi ini pun tak jauh dari pemikiran Soekarno yang disampaikannya dalam pidato tahun 1963 dan dikenal dengan sebutan Trisakti. Tiga pilar utamanya adalah Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya.

Dalam pandangan Prijono Sugiarto, CEO PT Astra International Tbk, revolusi mental di Indonesia adalah sebuah keharusan. Hanya dengan begitu Indonesia bisa maju dan sejajar dengan negara-negara lain di dunia. “Orang yang ingin sukses, baik secara pribadi, keluarga, pemerintahan, maupun negara, harus mulai dengan pembentukan budaya dan disiplin yang baik. Itu yang harus kita bangun,” ujar Prijono.

Ia mencontohkan pada saat Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945, Jepang sedang luluh lantak akibat bom nuklir. Namun hari ini, perbedaan besar antara dua negara ini masih jelas terlihat. Kereta cepat Shinkansen, misalnya, telah ada di Jepang sejak 35 tahun lalu. Kegigihan, kedisiplinan, dan kesantunan yang kuat menurut Prijono menjadi motor yang menggerakkan Jepang untuk terus menjadi yang terdepan.

“Saya tidak mengatakan orang Indonesia tidak santun. Tapi, dalam beberapa kasus, perlu diakui masih terjadi. Saat mengantre di tempat pemainan anak misalnya, sang ibu justru menyuruh anaknya untuk cepat-cepat dan memotong antrian. Ini, kan, tidak benar. Bila harus antre, ya, antre,” kata Prijono.

Hal yang sebaliknya malah terjadi di Jepang. Salah satu pengalaman Prijono saat berkunjung ke Negeri Sakura mengajarkannya untuk menjadi pribadi yang taat aturan dan berdisiplin tinggi. Kala itu, ia menaiki sebuah bus bersama orang-orang Jepang. Ketika berhenti di sebuah halte, tampak bus sudah agak penuh, sehingga sang supir mengumumkan lewat pengeras suara untuk menunggu bus selanjutnya. Saat itu juga, orang yang bahkan satu kakinya telah naik ke atas bus mundur lagi untuk menunggu. Berbeda dengan pemandangan keseharian di Indonesia.

Lalu bagaimana implementasi revolusi mental dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia? Simak dalam majalah Marketeers edisi Februari 2015 yang bertajuk Revolusi Mental: Making Indonesia WOW!

Related