Ririek Adriansyah, Marketeer of the Year 2017

marketeers article

Kecanggihan teknologi telah mengubah dunia telekomunikasi. Dulu kita mengenal teknologi telepon rumah -yang mulai ditinggalkan-, hingga telepon umum atau CDMA yang kini telah tiada. Saat ini dunia telco yang sebelumnya mengandalkan pendapatan dari bisnis legacy, seperti suara (voice) dan pesan singkat (SMS) harus kembali terdisrupsi dengan semakin banyaknya layanan berbasis digital.

Kondisi semakin diperparah ketika kompetisi di dunia telco semakin ketat dari waktu ke waktu. Operator yang satu dan lainnya berlomba melakukan perang tarif, bahkan tak jarang membuat keuangan mereka terganggu. Namun, kondisi sebaliknya terjadi pada Telkomsel. Meski persaingan sangat ketat, anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk ini masih mampu meningkatkan kinerja yang gemilang.

Prestasi Telkomsel itu pun tidak terlepas dari peran Ririek Adriansyah, sang nakhoda. Ketimbang terjebak dalam perang tarif, Telkomsel lebih memilih konsisten dengan strategi mereka. “Yang menjadi perhatian kami adalah layanan dengan network. Sehingga, network Telkomsel harus bagus dan selalu menjadi yang terbaik di mana pun,” kata alumni Universitas Teknologi Bandung (ITB) ini.

Lantas bagaimana dengan disrupsi yang terjadi pada dunia ini? Apakah benar bahwa dunia telco telah memasuki masa senja? Simak wawancara Hendra Soeprajitno dari Marketeers bersama Ririek Adriansyah, CEO Telkomsel yang meraih penghargaan tertinggi bagi pemasar di Indonesia, Marketeer of The Year 2017 ini. Berikut nukilannya:

Seperti apa gambaran industri telekomunikasi pada tahun ini?

Pertumbuhan secara umum diperkirakan mulai melambat. Semula, pertumbuhan tahun ini dan tahun depan diperkirakan masih bisa double digit atau high single digit. Sampai kuartal ketiga 2017, ketiga pemain besar (big three) hanya mencatatkan pertumbuhan industri mid-single digit. Sedangkan Telkomsel masih di atas. Tahun depan, sedikit banyak akan sama. Para analis dan konsultan memprediksi, pertumbuhannya akan ada di angka 4%—5% pada tahun depan.

Berdasarkan revenue atau subscriber?

Berdasarkan revenue. Untuk subscriber sebenarnya pertumbuhannya lebih tinggi. Pasar di Indonesia banyak menjual starter pack dengan denomisasi rendah. Misal Rp 10.000 atau Rp 20.000. Sehingga, pertumbuhannya menjadi tinggi. Sebab, ada semacam fenomena, starter pack digunakan sebagai calling card. Habis dipakai, langsung dibuang. Hal ini menjadikan subscriber tidak mewakili secara riil.

Industri telco diproyeksikan hanya tumbuh single digit. Apakah industri ini sudah memasuki masa senja?

Sebenarnya tidak. Di dunia ini, yang masih bisa tumbuh sebanyak double digit hanya dua negara, yaitu Indonesia dan India. Negara lain di dunia kebanyakan hanya tumbuh single digit, bahkan di bawah pertumbuhan ekonomi. Memang, berbagai lembaga pemerintah memprediksi bahwa pertumbuhannya masih bisa di angka 11%an. Namun, yang disebut di sini adalah Information & Communications Technology (ICT). Yang kita tidak tahu, apa saja elemen yang ada di dalamnya? Apakah penjualan hand phone masuk di sini, atau produk elektronik lain. Selain itu, e-commerce. Apakah transaksi ini masuk sebagai elemen? Hal ini yang kita kurang mengetahuinya. Tapi jika murni hanya telekomunikasi, tidak termasuk hand phone, pertumbuhannya seperti yang saya katakan tadi.

Apa kekuatan Telkomsel dalam menghadapi itu?

Kami masih konsisten dengan strategi di awal. Bagi kami, yang terpenting adalah utamakan yang utama. Apakah konsumen butuh GraPARI yang megah? Padahal konsumen belum tentu ke customer service setiap setahun sekali. Makanya, yang menjadi perhatian kami adalah layanan dengan network. Network Telkomsel harus bagus dan selalu menjadi yang terbaik di mana pun. Tidak hanya di kota, tapi seluruh pelosok. Kami selalu menempatkan diri bahwa layanan kami adalah yang terbagus, dan kami selalu memonitornya. Dengan begitu, kami menempatkan diri pada layanan premium. Memang, biaya layanan kami sering di atas yang lain. Jika dibandingkan Data Revenue per MB (RPMB), kami memang berada di atas operator lain. Namun, kami konsisten dan komitmen dengan layanan kami. Meskipun rata-rata lebih tinggi, paket kami masih affordable dan mulai bermain di bawah.

Jumlah subscriber di Indonesia sudah sangat tinggi. Apakah masih bisa tumbuh?

Masih bisa. Penetrasi sim card sudah 130% dibanding populasi. Artinya, jumlah sim card yang beredar telah melebihi jumlah penduduk. Tapi banyak orang yang memiliki sim card lebih dari satu. Ada yang memiliki lebih dari satu smartphone, belum termasuk tablet. Ke depannya, mungkin saja pelanggan Telkomsel bisa mencapai 1 miliar. Tapi sebagian besar bukan orang, melainkan mesin.

Apa visi dan misi Anda sebagai CEO?

Dunia telco sudah berkali-kali mengalami disrupsi. Dulu, dari analog pindah ke digital. Lalu, kita juga pernah lihat telepon rumah, telepon umum, pager, dan semua mengalami disrupsi. Saat ini kami pun sedang mengalami hal yang sama. Makanya, Telkomsel harus mentransformasi dirinya. Menghadapi tantangan dan bisa survive. Bagi saya dan Telkomsel, yang paling menakutkan bukanlah kompetitor, tapi teknologi pengganti yang mendisrupsi. Dalam kompetisi, kompetitor akan mengambil pasar kami secara bertahap dan kami tentunya tidak akan tinggal diam. Namun, lain halnya dengan teknologi. Dunia ini bisa mengubah semuanya dalam sekejab. Dan, ini sudah terjadi, tanpa melihat ukuran perusahaan.

Telkomsel harus transformasi ke arah digital. Memang, tidak mudah karena kami hadir sebagai perusahaan legacy. Itulah kenapa, saya memisahkan T-Cash. Meskipun masih berada di bawah Telkomsel, perusahaan ini memiliki CEO sendiri, bahkan gedungnya terpisah.

Artikel selengkapnya bisa Anda dapatkan
di Majalah Marketeers, edisi Des 2017-Jan 2018,
Marketeer of the Year 2017

Related