Saat Big Data Besarkan Bojonegoro

marketeers article

Sejak menjadi wilayah dengan pemerintahan terbuka, Bojonegoro mengalami kemajuan pesat. Teknologi Big Data selain memampukan berjalannya pemerintahan dengan baik, juga memampukan pemerintah menjawab persoalan-persoalan kabupaten dengan cepat dan tepat – dari masalah banjir, panen, hingga kemiskinan.

Saat ini, salah satu kabupaten di Jawa Timur ini memasuki tahap Big Data dalam program Open Government Partnership. Pemerintah terbuka di sini tak lain adalah pemerintah yang transparan, membuka akses informasi seluas-luasnya kepada rakyat, membuka ruang keterlibatan warga untuk mengontrol jalannya pemerintahan.

Open Data menjadi sebuah ruang demokrasi baru bagi seluruh pemangku kepentingan daerah tersebut. Suyoto, Sang Bupati, menyebutnya dengan Democatic Insurance. Pemkab Bojonegoro pun terpilih sebagai satu-satunya wakil Indonesia dalam Pilot Project Open Government. Ini merupakan gerakan pemerintahan terbuka dalam mempromosikan dan memperkuat pengelolaan birokrasi yang terbuka, partisipatif, inovatif, dan responsif. Dalam program ini, Bojonegoro berarti sejajar dengan kota lain di dunia, seperti Seoul, Paris, Madrid, Buenos Aires, maupun Sao Paulo.

Bagaimana Open Data ini dikelola? Apa saja sasaran strategisnya? Seperti apa dampak konkretnya bagi kemaslahatan masyarakat Bojonegoro? Simak wawancara Sigit Kurniawan dari Majalah Marketeers dengan Bupati Bojonegoro Suyoto yang akrab disapa dengan Kang Yoto ini berikut ini:

Apa yang membuat Anda mengandalkan TI dalam pembangunan di Bojonegoro?

Pada prinsipnya, saya tidak mau kehilangan kepercayaan rakyat. Sebab itu, rakyat harus memiliki mekanisme untuk menagih janjinya kepada saya. Dan, ketika saya tahu bahwa sumber daya keuangan kami terbatas, maka kami harus terbuka. Dengan terbuka, justru rakyat tidak menyalahkan saya. Karena kalau tidak terbuka, justru rakyat akan menyangka saya korupsi dan kinerja kami tidak efektif. Sebab itu, pilihan transparansi menjadi pilihan tepat.

Lalu, hubungannya dengan TI?

Kami memanfaatkan teknologi untuk membuka akses keterbukaan itu. Dulu, kami masih memakai SMS. Pada tahun 2008, saat rakyat belum begitu terakses internet, setiap Jumat di pendopo kami menggelar audiensi. Ini sebagai democratic inssurance di Bojonegoro. Di sini, mereka bisa nagih janji, melontarkan usulan dan kritikan, maupun memberi masukan pada pemerintahnya.

Sasaran apa saja yang mau dicapai?

Sedikitnya ada lima sasaran penting, yakni pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan perizinan, pelayanan publik, dan pembangunan infrastruktur.

Bagaimana membiasakan staf pemkab memanfaatkan dan mengolah data?

Tentu, awalnya tidak mudah. Tapi, karena kebutuhan dikelola terus-menerus, akhirnya kesadaran untuk membun open data menguat. Kami kemudian menguatkan website pemerintahan agar dinamis dan efektif untuk digunakan sebagai saluran komunikasi tersebut. Kami juga berpikir, semakin terbuka akan semakin bagus, apalagi sudah ada undang-undang soal keterbukaan publik. Lalu, kami membuat regulasi tentang apa saja yang bisa diunggah.

Seberapa penting pengelolaan big data untuk Bojonegoro?

Sebenarnya, kami berbeda dengan kabupaten lain yang mana kami memiliki dinas kominfo yang menjadi wali terakhir. Namun, setiap satuan kerja juga memiliki wali masing-masing yang memegang password dan segala macamnya. Kalau ada komplain dan meminta akses, sejauh dibenarkan oleh undang-undang, mereka harus dilayani dengan baik.

Bagaimana dengan bujet untuk infrastruktur Big Data di sana?

Kami tidak mendesain ini semua harus dari bujet pemerintah. Dan yang benar-benar terjadi adalah ketika kami membuka hal ini, banyak sekali partisipasi warga yang datang. Dari 53 aplikasi yang kami pakai di sini, separuh lebih bukan kami yang buat. Di awal-awal, memang kami memanfaatkan bujet khususnya untuk serat optik yang menghubungkan kantor-kantor dinas kami. Kala itu, kami mengajukan anggaran Rp 7,5 miliar.

Apa salah satu aplikasi yang jadi andalan?

Salah satunya, aplikasi Lapor. Bila sebuah laporan tidak ditanggapi oleh dinas saya selama tiga hari akan muncul lampu kuning. Bila lebih, lampu merah akan menyala. Dan, ini yang akan ditayangkan setiap rapat pada Jumat pagi. Lampu ini akan menjadi KPI untuk setiap satuan kerja. Dengan sistem ini, kami tak perlu marah-marah karena sistem yang akan menentukan. TI membuat kami tidak bisa berbohong. Dan, semua sistem ini merupakan kontribusi dari berbagai pihak – termasuk anak-anak SMK pun mau berpartisipasi.

Apa saja yang menjadi tantangan untuk penerapan Big Data?

Tentunya pasti ada tantangan. Tapi, kami memperlakukan semua tantangan itu sebagai energi kami untuk maju. Kami menikmati semua kesulitan dan tantangan serta membuka apa adanya kepada publik. Semboyan kami adalah kerja cepat, kerja tepat, dan kerja bermanfaat. Semua itu didukung dengan TI.

Apa dampak konkret Open Data terhadap perekonomian Bojonegoro?

Tentu saja berpengaruh. Pendapatan Asli Daerah (PAD), misalnya, meningkat dari Rp 50 miliar menjadi lebih dari Rp 300 miliar. Di Bojonegoro, mulai banyak anak-anak muda memanfaatkan TI untuk berjualan. Di sini, banyak toko desa yang sudah memanfaatkan internet. Dengan ini, daerah yang dahulu banjir kemudian menjadi tempat destinasi agrowisata belimbing bisa diketahui publik. Dengan Open Data, orang-orang di luar Bojonegoro seperti Jakarta dan bahkan Bank Dunia bisa datang ke sini dan berkolaborasi.

Kolaborasi macam apa yang dilakukan Bojonegoro untuk bangun itu semua?

Beberapa waktu lalu, wacana Revolusi Pangan dari Bojonegoro tersebar di mana-mana. Prosesnya sebenarnya mirip proses industri kreatif yang dibikin anak-anak muda di sini. Bahan bakunya adalah air banjiran yang disimpan di bawah tanah, diberi sarang burung, disentuh dengan teknologi dan kemudian menghasilkan produk yang dijual mahal. Semua itu dikerjakan secara kolaboratif berbasis Open Data.

Secara kolaboratif juga, kami bisa menentukan dan mengembangkan tempat-tempat mana yang layak untuk destinasi wisata. Tak hanya itu, kebutuhan lain seperti rumah sakit juga terdeteksi. Orang dengan mudah berinvestasi di sini. Dan, tentu ranah-ranah kehidupan lainnya sangat terbantu dengan ini.

 

Bagaimana Open Data bisa mengurangi kemiskinan?

Keduanya saling terkait erat. Dengan teknologi kami bisa mengetahu persis kantong-kantong kemiskinan dengan masing-masing masalahnya. Dengan ini, kami juga bisa menentukan daerah-daerah mana yang akan kami bangun sebagai sentra industri untuk mengangkat perekonomian. Kami bisa melacak mana daerah yang mengaku petani tapi tidak punya lahan, melacak daerah petani berlahan tetapi tak produktif karena kekurangan air, maupun daerah-daerah yang minus SDM. Dengan ini, kami bisa mudah intervensi untuk memberi solusi.

Jadi, TI bukan sekadar latah tren smartcity?

Jelas, TI bukan sekadar untuk gaya-gayaan. Kami sangat serius dalam mengelola TI ini untuk pembangunan Bojonegoro sekarang dan masa depan. Kami membangun Dewan TI untuk mengontrol jalannya pembangunan ini. Kami memanfaatkan aplikasi-aplikasi di ponsel pintar untuk jalannya pelayanan publik dan kontrol pembangunan.

Apa target Anda?

Menjadikan Bojonegoro sebagai daerah terbuka, transparan, dan warganya sejahtera karena bantuan teknologi ini.

Related