Saat Kopi Starbucks Berutang Budi pada Sumatera

marketeers article

Harimau Sumatera bisa saja punah. Namun, di pulau subur yang penuh dengan pohon pinus itu bersemayam hamparan ladang yang menjadi salah satu “lumbung padi” bagi kedai kopi global, Starbucks. Sebab, kopi yang dihasilkan di tanah itu berpengaruh besar terhadap hidup-mati gerai Starbucks di dunia.

Pohon kopi di Sumatera tumbuh di perkebunan kecil di dataran tinggi 3000 hingga 6000 kaki di atas permukaan laut. Tumbuhan ini pun dipanen sekitar bulan Mei sampai Oktober. Banyak petani di Sumatera memiliki perkebunan dengan luas lahan yang amat kecil, dengan rata-rata setiap kebun menaungi sekitar 200 pohon. Ini amat sedikit bila dibandingkan dengan banyak daerah di Amerika Latin di mana satu kebun dapat menampung sekitar 2.000 pohon kopi.

Pohon kopi itu menghasilkan green bean alias biji kopi seberat 1-2 kilogram. Cobalah sesekali masuk ke gerai Starbucks dan melihat-lihat rak mereka, Anda akan menemukan banyak kantong berukuran 250 gram berisi biji kopi halus. Sekarang, bayangkan satu pohon kopi hanya menghasilkan 4-8 kantong kopi. Berapa ton kopi Sumatera yang dibutuhkan Starbucks?

Sayangnya, Starbucks tidak mau merinci berapa ton kopi yang mereka beli dari Sumatera, salah satu daerah penghasil kopi terbesar di dunia setelah Brazil dan Vietnam. Kendati demikian, kedai asal Seattle itu menaruh perhatian lebih pada pulau ini, di mana perusahaan membangun Starbucks Farmer Support Centre di Kota Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Di sana, Starbucks memberikan pelatihan kepada para petani lokal untuk meningkatkan produktivitas hasil tanaman kopi, sekaligus meningkatkan mutunya. Starbucks mengaku pelatihan tersebut tidak berbayar, dan tidak memberikan syarat bagi petani kopi untuk menjual hasil panen kopinya ke Starbucks.

COO PT Sari Coffee Indonesia, operator gerai Starbucks di Indonesia, Anthony Cottan mengatakan dari hama kopi hingga perubahan kondisi iklim, petani kopi di seluruh dunia menghadapi tantangan yang sama, yaitu soal kuantitas dan kualitas kopi.

“Itulah sebabnya Starbucks berkomitmen untuk berbagi penelitian dan praktik terbaik dengan para petani, terlepas mereka menjual kepada kami atau tidak,” kata dia.

Perusahaan itu saat ini mengoperasikan sembilan Starbucks Farmer Support Centre di negara-negara penghasil kopi utama termasuk Kolombia, Rwanda, China, dan Indonesia. Petani diberikan akses terhadap temuan terbaru dari ahli agronomi Starbucks, termasuk mengenai jenis pohon tahan penyakit dan teknik pengelolaan tanah terbaru.

“Banyak petani dari daerah lain seperti Sulawesi datang ke kami, untuk tahu mengenai cara mengelola tanaman kopi agar berbuah dengan kualitas yang baik,” kata Surip Mawardi, agronomis yang menangani pusat pelatihan itu.

Starbucks Farmer Support Centre baru berjalan sejak tahun 2016 dan telah melibatkan ribuan petani yang tergabung ke dalam komunitas tani dari berbagai wilayah. Misalnya, Komunitas Tani Desa Suka, Karo, mewadahi 40 petani kopi juga terlibat dalam program ini.

Menurut Surip, meski baru dua tahun, petani mulai menjadikan kopi sebagai mata pencaharian utama. Maklum, dengan luas lahan yang kecil, para petani biasanya melakukan sistem tumpang sari, alias menanam lebih dari satu jenis tanaman di lahan yang sama.

“Bisa dibilang, pada tahun 2016, ada sekitar 10.000 bibit pohon kopi di Tanah Karo. Setelah ada Starbucks Farmer Support Centre, kuantitasnya meningkat menjadi 30.000 bibit,” jelas dia.

Dari segi harga, menjual kopi memberikan keuntungan yang cerah bagi petani. Apalagi, kondisi market saat ini tengah over-demand, alias produksi lebih sedikit daripada konsumsinya.

Alhasil, harga kopi Sumatera di level petani saja (disebut Kopi Asal) berada di kisaran US$ 4,5 per kilogram. Lebih tinggi dari harga internasional yang dipatok di pasar kopi New York, yaitu US$ 2,5 per kilogram.

“Menanam kopi meski fluktuatif, namun harganya cenderung naik selama lima belas tahun terakhir. Ini karena kopi mulai menjadi bagian dari gaya hidup dan konsumsi per kapitanya meningkat,” papar dia.

Rayakan Kopi Lokal

Dalam upaya memperkenalkan kopi lokal di Indonesia, Starbucks membuat kampanye pemasaran Art in A Cup. Kampanye ini memungkinkan konsumen untuk merasakan kopi hitam yang menjadi favorit di Starbucks, antara lain Caramel Cream Frappucino Affogato Style, Caramel Macchiato, Vanilla Sweet Cream Cold Brew serta Iced Matcha & Espresso Fusion.

Starbucks memberikan harga khusus selama promo yang berakhir pada penghujung April 2018, yaitu sebesar Rp 35.000. Ini dilakukan agar semakin banyak masyarakat bisa menikmati kopi hitam Indonesia.

“Kopi hitam kami memang tidak 100% dari single origin Sumatera, tetapi merupakan house blend atau racikan dari berbagai biji kopi, salah satunya Sumatera,” ujar Yuti Resani, Corporate Communications & CSR Manager Starbucks Indonesia.

Di Indonesia, kopi Sumatera single origin ukuran 250 gram dibanderol Rp 250.000. Kopi Sumatera merupakan kopi favorit dari CEO Starbucks Global Howard Schultz. Per 2017, Starbucks memiliki 2.254 gerai di seluruh dunia, yang mana 360 gerai berada di Indonesia.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related