Setelah Istilah Unicorn dan Cockroach, Ada Lagi Kebo, Apa Itu?

marketeers article
42739205 african or cape buffaloes syncerus caffer, south africa

Istilah-istilah di dunia startup mulai bertebaran sejak sektor ini booming beberapa tahun belakangan setelah banyak perusahaan-perusahaan baru bermunculan, khususnya di bidang teknologi.

Kata startup sendiri masih sering diperdebatkan. Ada yang memaknainya sebagai perusahaan rintisan, yang artinya bidang apapun jika usahanya baru bisa disebut startup, tidak harus bergerak di bidang teknologi.

Ada juga yang mengartikan bahwa startup adalah perusahaan berbasis teknologi, baik yang sudah beroperasi lama maupun baru. Di sini Google yang sudah ada sejak lama bisa disebut startup, begitu pun yang relatif baru seperti GO-JEK, Tokopedia, serta MatahariMall.com yang baru beroperasi sejak 2015 lalu.

Beda lagi dengan influencer Rene Suhardono. Ia melihatnya dari cara berpikir sebuah perusahaan. “Kalau perusahaan tersebut tidak pernah berhenti berinovasi, selalu menghasilkan sesuatu yang baru, artinya cara berpikirnya selalu seperti perusahaan baru, itulah startup,” ujarnya.

Dengan banyaknya bertebaran perusahaan berbasis teknologi, istilah-istilah di sektor tersebut juga berkembang. Salah satunya soal kasta, level, atau definisi besar atau kecilnya sebuah startup, seperti yang paling populer adalah unicorn sampai ada juga istilah cockroach.

Unicorn dianggap sebagai kasta tertinggi sebuah startup. Skalanya besar dan punya parameter valuasi, di mana jika sudah menembus angka US$1 miliar bisa disebut unicorn. Di Indonesia dipercaya ada tiga perusahaan teknologi sudah memiliki valuasi di atas angka tersebut, yaitu GO-JEK, Tokopedia, dan Traveloka.

Namun rupanya definisi unicorn juga berbeda-beda bagi tiap orang termasuk pelaku di dunia ini. “Buat saya parameter US$1 miliar sudah tidak relevan lagi, karena itu kan dulu sekitar satu dekade lalu ketika Google valuasinya menembus angka segitu. Kalau sekarang ada perusahaan berbasis teknologi yang bisnisnya digunakan di seluruh dunia, itu baru namanya unicorn,” ujar Chief Marketing Officer GDP Venture Danny Oei di Jakarta beberapa waktu lalu.

Selain Google, bagi Danny contoh unicorn lainnya adalah Facebook dan Apple. Selain sudah digunakan di mana-mana, valuasinya juga sudah terlampau raksasa dikejar. Nah, bagaimana dengan perusahaan yang sudah menembus valuasi US$1 miliar namun belum digunakan di mana-mana dan hanya di satu negara atau beroperasi regional saja? “Saya menyebutnya kebo,” sambung Danny.

Menurutnya, berangkat dari istilah unicorn, hewan bertanduk tersebut hanya ada di dunia fantasi. Artinya startup berstatus unicorn memiliki bisnis yang sudah diawang-awang dan sulit dilakukan oleh perusahaan lain. Bisnis Google, Apple, dan Facebook dianggap sulit disaingi karena mereka melesat membesar meninggalkan yang lain. Ketiganya pun inovatif terus melahirkan produk dan layanan baru out of the box.

Sementara kebo dianggap mewakili banyak startup sekarang yang walau sebenarnya sudah menembus valuasi unicorn, produk dan layanannya belum digunakan di seluruh dunia. Artinya GO-JEK, Tokopedia, Traveloka, sampai pemain regional seperti Grab dan Shopee masuk dalam kategori kebo versi Danny.

“Filosofinya jangan dilihat bahwa kebo itu lambat dan kotor. Tapi mereka itu badan besar dengan daya tahan hidup tinggi, dan kebo kan hewan yang riil ada betulan, belum sampai tahap ngawang-ngawang. Mereka yang masuk kategori tersebut juga secara bisnis memang belum sampai tahap tersebut. Bisnisnya besar tapi belum digunakan dan me-wow-kan dunia,” ujar Danny lagi.

Peacock

Istilah kotor berdaya tahan hidup tinggi juga berlaku untuk istilah cockroach. Menurut Danny, ada parameter valuasi bagi si cockroach, yaitu di bawah US$100 juta. Paremeter lain, mereka para cockroach mampu bertahan hidup lama, secara biaya marketing tidak jor-joran, sangat efisien dalam operasional dan keuangan, walau secara skala sulit untuk berkembang lebih jauh karena pasarnya tidak besar.

Danny mencontohkan seperti e-commerce vertikal, yang hanya menjual satu jenis produk semisal Asmaraku, e-commerce berbasis fesyen, maupun startup bernama Kukuruyuk. Mereka tidak menjual produk bersifat horizontal alias serba ada seperti Blibli, Tokopedia, sampai Lazada. Akibatnya sulit untuk scale up walaupun mampu bertahan karena pasarnya memang benar-benar ada, kalau tidak dikatakan niche.

“Kalau di GDP Venture seperti Kincir dan Daily Social. Mereka menghasilkan uang, survive, tapi pasarnya segitu saja dan hanya beroperasi di Indonesia,” terang Danny.

Selain ketiga istilah itu, ada lagi kata peacock. Apa artinya? “Ramai di awal, tampak besar dan potensial, tapi engga lama hilang. Ada? Ya ada. Beberapa tahun lalu ada e-commerce yang muncul kali pertama marketing-nya ramai sekali di mana-mana. Tapi sekarang mereka entah ke mana kalau tidak dikatakan tutup, he he he,” kekeh Danny.

Dengan banyak definisi dan berbeda-beda itu pula, tenyata masih ada para pelaku industri teknologi yang kurang tahu menahu terhadap istilah unicorn, kebo, sampai cockroach. Seperti CEO Berrybenka Jason Lamuda yang bergerak hanya di bidang fesyen alias vertikal, hanya tahu istilah unicorn. Soal cockroach dan yang lain ia mengaku tidak tahu. “Istilah apapun itu kan yang penting bisnis growing,” ujarnya.

Sementara co-founder Asmaraku William Tunggaldjaja mengaku cukup tahu soal istilah-istilah tersebut. Dan William tidak berkeberatan jika disebut dengan salah satu istilah. “Kalau ada yang bilang Asmaraku itu cockroach, ya tidak apa-apa,” ujarnya.

    Related