Perlukah CEO Ambil Sikap Sosial-Politik Untuk Pikat Konsumen

marketeers article
22795426 happy business colleagues working together and discussing project on laptop during meeting

Nama-nama beken CEO kelas global semakin menjadi idola di kalangan tertentu. Sebut saja Steve Jobs dan Tim Cook dari Apple, Larry Page dan Sergey Brin selaku pendiri Google, Sundar Pichai yang sekarang menjabat jadi CEO Google, Mark Zuckerberg dari Facebook, hingga Elon Musk yang mengkomandoi Tesla dan SpaceX. Tidak hanya bisnis saja, kehidupan serta aktivitas sosial mereka juga turut disorot.

Mungkin masih ingat betul beberapa nama tersebut secara gamblang mengutarakan sikap dan pandangan mereka terhadap kehidupan sosial politik, yang bahkan juga berujung pada sikap resmi korporasi yang mereka bawahi. Tim Cook misalnya mengakui bahwa dirinya adalah seorang pencinta sesama jenis, Howard Schultz dari Starbucks maupun Mark Zuckerberg mendukung gerakan LGBT. Sundar Pichai misalnya melawan aktivitas politik Presiden Donald Trump terkait larangan pengungsi di Amerika Serikat.

Beberapa CEO kelas wahid ini memang kerap menunjukkan sikap politik dan sosial mereka, meskipun sikap dan pandangan tersebut merupakan pendapat pribadi, tidak sedikit pula yang mengartikannya sebagai sikap korporasi secara keseluruhan. Menunjukan sikap sosial dan politik ternyata juga berpengaruh terhadap psikologis konsumennya terhadap merek tersebut.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Weber Shandwick dan KRC Research pada tahun 2017, ditemukan hampir separuh dari generasi Millennials (47%) yakin bahwa CEO memiliki tanggung jawab untuk angkat bicara tentang isu-isu sosial yang penting bagi masyarakat. Angka ini jauh melampaui temuan di generasi Gen X dan Boomers (masing-masing sejumlah 28%). Lebih jauh lagi, 6 dari 10 generasi Millennials (56 %) mengutarakan bahwa pemimpin-pemimpin bisnis di era ini memiliki tanggung jawab untuk angkat bicara dibandingkan di masa lalu.

“Selama setahun terakhir, iklim di Amerika Serikat berubah drastis seiring dengan semakin eratnya hubungan antara bisnis dan kebijakan publik,” kata Andy Polansky, CEO Weber Shandwick.

Andy menambahkan bahwa semakin banyaknya CEO yang angkat bicara sehubungan dengan keputusan pemerintah Amerika Serikat yang baru di bidang-bidang penting seperti perubahan iklim dan kebijakan perjalanan dari sejumlah negara ke Amerika Serikat menyulut reaksi keras dari publik lewat media sosial dan media konvensional.

Baginya mengkomunikasikan sudut pandang perusahaan dalam kondisi seperti ini menjadi semakin kompleks namun tetap penting untuk dilakukan. “Generasi masa depan akan sangat bergantung pada pengambilan sikap sebuah perusahaan terhadap sebuah isu saat memilih tempat bekerja atau membeli sebuah produk,” imbuhnya.

Fakta menarik dari studi ini adalah, para millenial sebanyak 51% responden mengakui bahwa mereka cenderung untuk membeli produk dari perusahaan dengan CEO yang sependapat dengan mereka dalam isu tertentu. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan hasil studi di tahun 2016 (46 persen). Fakta ini semakin relevan di era dimana perusahaan berlomba-lomba dalam akuisisi pelanggan. Sebaliknya, aktivisme CEO tidak terlalu mempengaruhi keputusan pembelian generasi Gen X dan Boomers.

Tidak hanya konsumen, pegawai juga bisa loyal

Tidak sedikit pegawai yang berlomba masuk dalam satu perusahaan tertentu karena mengidolakan sang pemimpin. Aktivitas sosial dan politik dari seorang CEO juga berdampak pada psikologi para pegawainya. Lebih dari 4 dari 10 pekerja millenial (44%) mengakui bahwa mereka akan lebih loyal terhadap perusahaan ketika CEO tempat mereka bekerja mengambil sikap terhadap isu sosial yang sedang hangat.

“Millennials, melebihi generasi lainnya, berharap CEO tempat mereka bekerja memiliki pandangan dan nilai yang sama dengan mereka,” sebut Micho Spring, Global Corporate Practice Chair Weber Shandwick.

Bagi para Gen X dan Boomers, hal yang sama tidak ditemukan. Hanya 16% Gen X dan 18% Boomers yang akan lebih loyal jika CEO mereka aktif secara sosial. Sementara 2 dari 10 dari generasi-generasi tersebut akan menjadi kurang loyal. Sebelum mengambil sikap dalam sebuah isu, sangat penting bagi perusahaan untuk mempertimbangkan pendapat demografi tersebut agar tercapai pemahaman komprehensif tentang apa saja yang dapat mengubah persepsi para pegawai.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related