Starbucks Melenggang dari Museum Hingga Lantai Bursa

marketeers article
Starbucks

Ada yang spesial dari bulan April bagi raksasa kedai kopi Starbucks. Sebabnya, bulan ini diperingati setiap tahun sebagai Starbucks Global Month of Service (GMOS), sebuah dedikasi perusahaan untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat.

Tujuh tahun lalu, saat hendak merayakan hari jadi ke-40, sekelompok karyawan Starbucks merencanakan perayaan yang menggabungkan aktivitas sukarela kepada komunitas di mana lokasi Starbucks berada. Aktivitas tersebut dilakukan oleh karyawan Starbucks dan akhir-akhir ini juga melibatkan konsumennya.

Anthony Cottan, Direktur PT Sari Coffee Indonesia, perusahaan yang membawahi Starbucks di Indonesia mengatakan, Starbucks mengemban value perusahaan untuk berusaha memperbaiki nasib orang lain dan bukan sekadar menjadi penonton.

“Identitas Starbucks adalah bagian dari masyarakat. Kita tidak hanya menjual produk kepada konsumen. Kami ingin mengajak karyawan untuk engage di hal yang berbeda. Bukan hanya job mereka,” ujar Anthoni di Museum Tekstil Tanah Abang, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Kali ini, Starbucks memfokuskan aktivitas GMOS itu di museum. Alasannya, kedai ini telah menjalin hubungan yang lama sejak sepuluh tahun lalu dengan museum. Pihaknya mengajak masyarakat dan karyawan untuk pergi ke museum agar kembali mengingat budaya dan sejarah masa lalu.

“Dewasa ini, hal-hal yang berkaitan dengan kultur sudah dianggap tidak penting lagi bagi sebagian besar orang. Kami mempunyai harapan untuk membangkitkan semangat masyarakat kembali ke museum,” paparnya.

Sebagai bentuk dukungan ke museum, GMOS diadakan serentak di enam kota, yakni Jakarta, Bandung, Jogja, Solo, Surabaya dan Bali dengan menggandeng Yayasan Sobat Budaya. Di acara yang sebagian besar berlangsung di museum itu, perusahaan menggelar workshop membatik, menari, dan mempelajari alat musik tradisional.

“Seruan ke museum adalah salah satu dari pilar perusahaan untuk menjadi mitra bagi komunitas sekitar, yang menandakan bahwa Starbucks lebih besar dari pada segelas kopi,” ungkap Anthony.

Mendekatkan diri dengan warisan budaya nusantara merupakan cara Starbucks mengintegrasikan konsep glocalization, alias perusahaan global yang mengadaptasi wilayah atau kebudayaan tempat mereka beroperasi. Konsep glocal ini paling mudah dilihat dari gerai Starbucks yang mulai mengusung desain-desain bertema budaya nusantara.

“Beberapa gerai kami memang didesain dengan tema-tema budaya lokal, seperti batik di Cirebon dan di Palembang,” pungkas Anthony yang juga COO dari PT MAP Tbk.

Melenggang ke panggung bursa

Perjalanan Starbucks di Indonesia telah berlangsung selama 15 tahun, ketika gerai pertama kedai kopi berlogo ikan duyung Syren itu dibuka di Plaza Indonesia pada tahun 2002. Hingga akhir tahun lalu, gerai Starbucks telah menyentuh 270 gerai yang tersebar di 24 kota.

Tahun ini, Starbucks berencana menambah 60 gerai di nusantara, atau 30% dari 200 gerai yang akan dibuka MAP. Target itu terbilang cukup tinggi jika dibandingkan dengan target ekspansi di lima tahun sebelumnya.

Target tersebut seirama dengan rencana sang induk perusahaan PT MAP Boga Adiperkasa (MBA) yang ingin masuk bursa saham tahun ini. Jika rencana itu tereksekusi, Starbucks akan memperoleh tambahan modal untuk keperluan ekspansi.

MBA kabarnya segera melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) dengan menjual 20% saham yang dimiliki perusahaan itu. Sampai saat ini, belum diketahui berapa nilai 100% saham MBA. Kontan menganalisa bahwa nilai seluruh saham MBA sekitar Rp 3,61 triliun.

Selain Starbucks, MBA juga mengendalikan tiga anak usaha di segmen makanan dan minuman, antara lain PT Sari Pizza Indonesia yang mengelola Pizza Express, PT Premier Doughnut Indonesia mengelola Krispy Kreme, dan PT Sari IceCream Indonesia yang mengusung Cold Stone dan Godiva.

Saat ditanya Marketeers soal rencana induk perusahaan melakukan IPO, Anthoni memang tak ingin berkomentar banyak. “Tak ada yang berubah dari Starbucks. Kita tetap menjadi gerai kopi berstandar tinggi. Semuanya akan sama. Hanya terjadi restrukturisasi perusahaan induk,” ujarnya moderat.

Target yang besar (membuka 60 gerai tahun ini), membuat Starbucks harus jeli dimana ia membuka gerainya. Pasalnya, adanya moratorium pembangunan mal di Jakarta (kecuali kawasan Jakarta Timur), membuat pasokan lahan ritel terbatas. Hal ini menyulitkan langkah peritel untuk melakukan ekspansi toko.

Sebagai langkah antisipasi, Starbucks memang cukup yakin membuka lebih dari satu gerai di mal yang memiliki trafik kunjungan tinggi. Misalnya di Grand Indonesia dimana Starbucks mengoperasikan tiga gerai di mal terbesar di ibukota itu.

Starbucks juga mulai memanfaatkan lahan ritel yang dimiliki oleh department store yang bernaung di MAP, di antaranya SOGO dan Galerie Lafayette. Kendati demikian, Anthony mengatakan, pihaknya akan membuka gerai di lokasi di mana konsumen paling banyak menghabiskan waktu.

“Sayangnya, di kota besar, konsumen menghabiskan paling banyak waktu di jalan, di mobil atau transportasi,” tuturnya.

Karenanya, Starbucks mulai menjajaki pembukaan gerai di lokasi penghubung transportasi seperti stasiun kereta api dan bandar udara. “Kami ingin perjalanan yang jauh dan melelahkan menjadi lebih enjoy dengan Starbucks. Kami juga berencana membuka gerai di MRT atau dekat-dekat itu,” ujar dia mengakhiri.

Related