Studi Kasus Turn-Around BUMN: PT Pos Indonesia

marketeers article


Salah satu BUMN yang berhasil melakukan transformasi adalah PT Pos Indonesia. Pos Indonesia berhasil melakukan turn-around dari perusahaan pos yang merugi dari tahun ke tahun menjadi network company yang terus menerus untung. Inilah yang membuat saya tertarik mengupasnya dalam sebuah buku berjudul “Marketing for Turnaround, Realizing the Network Company” yang diterbitkan Gramedia. Buku ini diluncurkan pada MarkPlus Conference 2013 pada 13 Desember 2012 di booth khusus Pos Indonesia. Peluncurannya istimewa karena dilakukan oleh I Ketut Mardjana selaku Direktur Utama dan Menteri BUMN Dahlan Iskan.

Buku ini boleh dibilang sebagai sekuel yang menjadi jawaban dari buku pertama yang juga saya tulis bersama Tim MarkPlus berjudul “Bridging to The Network Company: Transformasi Pos Indonesia Menjadi Perusahaan Kelas Dunia” (1999) yang diterbitkan juga oleh Gramedia.

Dalam buku saya yang pertama itu, tampak upaya transformasi Pos Indonesia sedang dibangun di bawah kepemimpinan Cahyana Ahmajayadi yang menjadi direktur utama saat itu. Cahyana saat itu gelisah memikirkan masa depan Pos Indonesia di tengah perubahan zaman yang serba cepat. Khususnya di tengah tren teknologi informasi dan komunikasi yang melahirkan produk-produk substitusi yang mengancam keberadaan produk-produk dan layanan Pos. Lalu, saya ingat betul suatu sore di pengujung Januari 1998, Cahyana menelepon saya. Beliau meminta saya membantunya menyusun dan merumuskan strategi Pos Indonesia. Akhirnya, setelah berdiskusi panjang lebar sekitar sebulan, terumuskanlah strategi baru yang dikenal dengan Marketing Pos 2000.

Namun, tidak gampang mengeksekusi program tranformasi itu. Mimpi-mimpi perubahan Cahyana kurang terealisasi karena waktu yang kurang bersahabat. Saat itu, Krisis Asia terjadi dan berdampak pada perekonomian Indonesia. Sementara, situasi politik kurang stabil karena bergantinya pemerintahan.

Waktu berlanjut, perusahaan pelat merah besar ini mulai tampak sempoyongan. Pos Indonesia masih beroperasi karena mendapat subsidi dari pemerintah. Tapi, saat pemasukan berkurang, Pos Indonesia masih harus menggaji ribuan karyawan sekaligus menanggung beban puluhan ribu pensiunan. Belum lagi dengan biaya lainnya. Akibatnya, Pos Indonesia mengalami kerugian dari tahun ke tahun.

Seperti yang ada dalam buku, pada periode 2004-2008, misalnya, Pos Indonesia merugi hingga Rp 606,5 miliar. Termasuk ketika Pak Ketut masuk  Pos Indonesia pada tahun 2008, Pos Indonesia sedang merugi Rp 71 miliar.  Baru setelah Ketut  Mardjana menjadi Direktur Utama dan melakukan Program Transformasi, Pos berubah. Di tangan Pak Ketut inilah, mimpi-mimpi Cahyana saat itu terealisasi. Bahkan, berhasil mengubah Pos Indonesia dari postal company menjadi the real network company seperti sekarang ini. Boleh dibilang Pak Ketut berhasil menyelamatkan Pos Indonesia dari ambang “kehancuran.” Bahkan, hanya dalam hitungan setahun, Pak Ketut berhasil membawa Pos Indonesia menjadi perusahaan yang untung Rp 98 miliar pada tahun 2009—padahal tahun 2008 merugi hingga Rp 71 miliar.  Luar biasa!

Saya mendengar sendiri cerita-cerita bagaimana Pak Ketut melakukan transformasi di Pos Indonesia. Ini sangat inspiratif. Sebab itu, saya pernah mengusulkan kepada Pak Ketut agar mau menceritakan implementasi “Revitalization and Turnaround Strategy” PT Pos Indonesia dalam BUMN Marketeers Club. Akhirnya, Pak Ketut bersedia bercerita dalam acara tersebut yang digelar di Kantor Pos Indonesia.  Paparan Pak Ketut ternyata cukup selaras dengan konten buku “Bridging the Network Company” yang uniknya Pak Ketut mengaku justru belum membaca buku itu. Karena apa yang dilakukan Pak Ketut merupakan  perwujudan network company seperti dimimpikan di buku pertama itu, saya ingin mengkajinya dalam buku yang kedua. Tak salah kalau saya beri judul buku kedua “Marketing for Turnaround, Realizing the Network Company.”

 

Realizing The Network Company

Saya membagi buku itu menjadi tiga bagian utama, yakni Bagian I WHY Must We Do It?, Bagian II WHAT Business are We Really In?, dan Bagian III HOW to Make it Happen?

Bagian I (WHY) menceritakan latar belakangan dan alasan mengapa transformasi Pos Indonesia harus dilakukan. Bagian ini bercerita tentang aneka perubahan (CHANGE) yang dihadapi oleh industri perposan—baik di tingkat global maupun Indonesia.  Salah satu pemicu perubahan adalah teknologi. Saya selalu mengatakan perubahan teknologi merupakan inti dan sumber perubahan bisnis secara luas. Perilaku konsumen berubah. Kompetisi berubah. Perusahaan juga dituntut berubah.

Ada pihak yang menilai industri perposan sedang memasuki senjakala alias sunset industry Contohnya, Pos Amerika—United States Post Service (USPS)—dinyatakan bangkrut. Tapi, benarkah sunset industry? Pak Ketut berpendapat sebaliknya. Justru industri perposan sedang memasuki masa sunrise industry. Buktinya, masih banyak kantor pos yang justru bertumbuh dalam bisnis, seperti Pos Jepang, Pos Australia, dan tentunya Pos Indonesia. Memang terjadi penurunan volume surat. Tapi tidak berarti penurunan bisnis pos. Kuncinya ada pada diversifikasi produk dan kekuatan jaringan.

Di bagian ini, saya juga memaparkan aneka tantangan dan perubahan Indonesia sebagai Tanah Air dari  Pos Indonesia. Posisi Indonesia yang makin mantab di kancah global sangat menguntungkan Pos Indonesia. Perekonomian tumbuh pesat dengan didukung oleh peningkatan kelas menengah dan dua mesin pertumbuhan—investasi dan konsumsi domestik. Kondisi politik yang stabil dan pemerintahan yang makin inklusif, horisontal, dan sosial. Selain itu, tentunya peranan tiga subkultur yang dominan, yakni Youth-Women-Netizen.

Bagian II (WHAT) memaparkan bisnis dan Program Transformasi Pos Indonesia dijalankan. Dalam bahasan ini, saya memakai pendekatan Marketing 3.0—khususnya bagaimana Pos Indonesia stating mission for the customer, charting vision for the shareholders, dan leading values for the people di perusahaan.

Sebelum menjalankan Program Transformasi itu, Pak Ketut melakukan studi lapangan lebih dahulu mengapa perusahaan ini terus menerus rugi. Ada beberapa temuan. Misalnya, aset-aset kantor pos tidak terutilisasi dengan baik. Jaringan yang menjangkau wilayah-wilayah pelosok Indonesia tidak ter-leverage. Sumber daya manusianya bermental birokrat. Produk dan layanan tidak dikenal masyarakat karena tidak ada aktivitas pemasaran yang optimal. Dengan latar orang keuangan, Pak Ketut hanya dengan melihat laporan keuangannya bisa melihat Pos Indonesia dikelola dengan baik atau tidak.

Pak Ketut menggambarkan Pos Indonesia saat itu sebagai raksasa yang tertidur—sleeping giant.  Digambarkan sebagai raksasa karena Pos Indonesia memiliki jaringan yang sangat luas dengan 3.800 kantor pos dan 14.000 titik layanan. Selain itu, aset-asetnya pun berlimpah dari gedung, tanah, hingga infrastruktur.  Sumber daya manusianya pun banyak dengan jumlah 28.000 pegawai. Sebab itu, Program Transformasi digelar sebagai upaya “membangunkan raksasa yang tertidur” tersebut.

Sebagai langkah stating mission for the customers, paling tidak Pos Indonesia harus bisa menunjukkan bahwa dirinya sudah berubah dan janji perubahan itu benar-benar ditampakkan kepada konsumen,  baik melalui produk, layanan, dan sebagainya. Sebab itu, Pak Ketut memulainya dengan menggelar program modernization and empowerment. Dalam program ini, seluruh kantor pos, kendaraan operasional, aset-aset, maupun infrastruktur dimodernisasi. Seluruh jaringan dihubungkan dengan Internet dan dilakukan komputerisasi.

Sementara, charting vision for the shareholders bukan perkara gampang. Saya salut pada Pak Ketut bagaimana upaya beliau menyakinkan para pemegang saham akan janji transformasi itu. Visi yang baik selalu mengusung konsep keberlangsungan (sustainability). Di depan pemegang saham, Pak Ketut harus bisa membuktikan bahwa perusahaan yang ia pimpin akan terus profit di masa depan. Dan, ini telah terbukti, dari tahun ke tahun sejak Program Transformasi dilakukan, Pos Indonesia selalu profit.

Lalu, leading values for the people menjadi hal signifikan bagi Pos Indonesia. Sederhananya, perubahan harus dimulai dari dalam. Dan, sejak Program Transformasi digelar oleh Pos Indonesia, perubahan internal menjadi prioritas pertama. Dalam pendekatan Marketing 3.0, karyawan diposisikan sebagai konsumen yang paling intim bagi perusahaan. Di sini, dikupas bagaimana core values perusahaan bisa diinternalisasi di dalam diri karyawan.

Langkah pertama yang dilakukan Pak Ketut adalah mengatasi krisis identitas dalam diri karyawannya. Ternyata, citra perusahaan yang terus menerus rugi membuat karyawan Pos jadi minder. Perusahaan merugi karena mentalitas kerja karyawan masih paternalistik, menunggu perintah, Asal Bapak Senang (ABS), dan birokratis. Hal ini dinilai Pak Ketut sudah tak cocok lagi karena hanya akan membunuh kreativitas dan inovasi karyawannya. Sebab itu, Pak Ketut berupaya mengubah mental karyawan agar memiliki sense of urgency dan sense of competition serta bermental entrepreneur. Ia juga mulai memberikan wewenang kepada kepala cabang untuk mengambil keputusan. Alhasil, performa kinerja meningkat, perusahaan untung, dan kepercayaan diri dipulihkan. Salut pada Pak Ketut!

Bagian III (HOW) memaparkan bagaimana Pos Indonesia merealisasikan diri sebagai network company dengan cara reformulating the core, recreating the new, dan reconneting the dot.

Dulu, Pos Indonesia hanya dikenal sebagai perusahaan jasa pengantaran surat, logistik, dan wesel. Sekarang, selain memodernisasi core business, Pos Indonesia juga me-leverage jaringannya untuk diversifikasi produk dan layanannya. Jalan diversifikasi inilah yang diyakini Pak Ketut akan menjadikan Pos Indonesia tetap relevan dan berkembang seturut perubahan, khususnya karena customer demand yang berubah.

Tiga core business Pos Indonesia—surat, logistik, dan jasa keuangan—dimodernisasi  dan dikembangkan agar lebih mumpuni di pasar. Tentu saja mendapatkan sentuhan teknologi mutakhir. Pos Indonesia mengembangkan Pos Ekspress Regional yang mengusung layanan cepat sehingga kiriman bisa sampai dalam sehari. Wesel pos dikembangkan menjadi Wesel Pos Instan sehingga pengiriman uang bisa dilakukan secara real-time antara pengirim dan penerima. Pos Indonesia juga meluncurkan PosPay yang menjadikan kantor pos bukan sekadar tempat menerima surat, barang, maupun uang. Tapi, juga untuk melakukan aneka pembayaran, dari cicilan motor, listrik, air, kartu kredit, TV berbayar, dan sebagainya. Fungsi intermediary tersebut yang menjadikan Pos Indonesia sebagai perusahaan jaringan makin kokoh.

Selain itu, kekuatan jaringan juga digunakan Pos Indonesia untuk bermitra dengan lembaga keuangan lain dalam pelayanan keuangan. Remitansi, misalnya, menjadi salah satu andalan Pos Indonesia. Layanan hasil kerjasama dengan Western Union ini memudahkan orang mengirim uang—khususnya bagi para TKI yang ingin mengirimkan uangnya ke berbagai pelosok daerah di Indonesia yang selama ini belum atau tidak terjangkau oleh lembaga keuangan lainnya.

Saya tertarik juga dengan strategi Communal Activation yang dilakukan Pos Indonesia. Ini merupakan langkah inovatif Pos Indonesia dalam memberdayakan komunitas masyarakat untuk memperkuat jaringan Pos. Bentuknya adalah Agen Pos. Pak Setyo Riyanto, selaku Direktur Ritel & Properti dan tentunya juga orang kunci dalam Program Transformasi ini mengatakan, Pos Indonesia memberi kesempatan masyarakat untuk berwirausaha dengan membuka agen pos yang juga merupakan kepanjangan tangan PT Pos dalam melayani masyarakat.

Dengan demikian, Pos Indonesia menemukan Place baru dengan Communal Activation. Agen Pos bisa memberikan layanan dari parsel dan surat serta layanan jasa keuangan seperti halnya di kantor-kantor pos. Agen Pos ini akan mendapatkan imbalan progresif sebesar 20%. Langkah yang inovatif!

Sementara, diversifikasi produk dan bisnis sedang digarap dan dikembangkan. Pos Indonesia sedang menyiapkan dan sedang mengembangkan bisnis lain, seperti properti, e-commerce, Bank Pos, dan ritel. Agar bisa fokus menggarap diversifikasi usaha tersebut, Pos Indonesia akan menjadikan dirinya sebagai perusahaan induk  (holding company) dengan membentuk enam anak perusahaan. Keenamnya adalah PT Pos Kurir Indonesia yang akan fokus menggarap layanan pengantaran surat dan dokumen, PT Pos Logistik, PT Pos Jasa Keuangan, PT Pos Properti, PT Posmart Indonesia sebagai jawaban Pos untuk tren belanja ritel baik online dan offline, serta PT Bhakti Wasantara Net sebagai bisnis jaringan virtual.

Sebagai langkah pemantapan dalam pengembangan bisnis tersebut sekaligus sebagai bukti memiliki good corporate governance, Pos Indonesia merencanakan IPO. Pak Ketut menandaskan transformasi ini tak lain menjadikan Pos Indonesia yang dulunya hanya sebagai postal company, sekarang dan ke depannya menjadi network company. Kekuatan jaringan inilah yang menjadi competitive advantage dari Pos Indonesia. Dan, Connectivity menjadi penting!

Jangan kaget juga, bila suatu saat, kantor pos akan menjadi sentra aktivitas banyak hal, termasuk komunitas. Di sana, orang bisa melakukan bisnis sambil hangout untuk sekadar nongkrong, menyeruput kopi, melakukan e-commerce, belanja barang konsumsi, dan sebagainya.

Terkait  e-commerce, saya mendengar kabar dari Pak Setyo Riyanto, bahwa baru saja Pos Indonesia kedatangan rombongan Japan Post Holding. Ini merupakan kunjungan balasan dari kunjungan Pak Ketut November tahun lalu di Jepang. Nah, Pos Jepang sangat mumpuni karena berhasil melakukan diversifikasi produk dan tentunya memiliki jaringan sampai pelosok Jepang. Potensi yang sama dimiliki juga oleh Pos Indonesia. Kunjungan ini dijadikan momentum bagi Pos Indonesia untuk menggalang kerjasama khususnya untuk pengembangan sistem e-commerce maupun distribusi.  Nah, Pos Indonesia pun  berpotensi untuk tidak kalah dengan Pos Jepang!

Nah, sebagai salah satu upaya, mensosialisasikan buku tersebut, pada tahun ini, Pos Indonesia bersama Marketeers akan menggelar Indonesia Marketeers Festival 2013 di 16 kota besar di Indonesia yang mana Pos Indonesia akan menjadi title sponsornya. Festival pertama akan dilangsungkan Mei mendatang.

Related