Surga yang Dilupakan itu Bernama Danau Toba

marketeers article

Danau Toba, nama ini sangat tenar di telinga masyarakat Indonesia, sekalipun bagi Anda yang belum pernah mengunjungi danau terbesar sedunia ini. Tak heran, panorama alam yang indah dari Danau Toba diabadikan ke dalam uang kertas Rp 1.000. Namun sayang, di balik permai Danau Toba yang menghampar di Sumatera Utara, menyimpan sisi menyayat yang hingga kini belum terentaskan.

Decak kagum dan kata dahsyat menjadi ungkapan yang tepat ketika Anda mengetahui bagaimana kawasan kaldera Danau Toba ini terbentuk. Danau seluas 3.000 km2 ini tercipta dari letusan maha dahsyat yang terjadi 74.000 tahun lampau, mengempaskan sedikitnya 2.800 kilometer kubik magma ke udara, sehingga ahli geolog sepakat menjadikan letusan ini sebagai yang maha besar sepanjang satu juta tahun terakhir.

Danau sepanjang 10 kilometer ini mengelilingi tujuh kabupaten, antara lain Samosir, Toba Samosir (Tobasa), Humbang Hasundutan (Humbahas), Tapanuli Utara (Taput), Simalungun, Dairi, dan Karo. Akan tetapi, kondisi tujuh kabupaten cukup memprihatinkan. Penduduk setempat hidup di bawah garis kemiskinan.

Syukurnya, ada harapan positif yang dihembuskan oleh Kementerian Pariwisata RI dengan menjadikan Danau Toba sebagai salah satu Destinasi Prioritas Indonesia. Destinasi baru ini digadang-gadang akan menjadi the next Bali yang akan mendatangkan wisatawan baik nusantara maupun mancanegara. Langkah strategis ini akan mendorong pencapaian target Kemenpar meraih 20 juta wisman pada tahun 2019.

Dipilihnya Danau Toba sebagai destinasi prioritas tercetus saat Menteri Pariwisata Arief Yahya mengunjungi Danau Xi Hu di Hangzhou, Tiongkok, pada Rabu (12/10/2016). Danau Xi Hu menjadi rujukan wisata paling populer di situs Trip Advisor.

Danau Toba memang tersohor dan menjadi danau yang terbesar di dunia. Namun, masalah yang dihadapi Danau Toba cukup kompleks, mencakup masalah sampah, aksesbilitas seperti infrastruktur jalan tol dan bandar udara, kualitas event, serta hospitality culture.

Hospitality culture itu big issue di Danau Toba. Meskipun kawasan wisata, tapi masyarakat setempat belum begitu friendly dengan keramahtamahan bagi wisatawan,” ungkap Jacky Mussry, COO MarkPlus, Inc., di acara MarkPlus Center Tourism & Hospitality bertajuk Diskusi Percepatan Pariwisata Danau Toba: Identifikasi Sejumlah Langkah Kritis Jangka Pendek, di Philip Kotler Theater Class, Jakarta, Jumat (20/10/2016).

Laurensius Manurung, Ketua Yayasan Percepatan Pembangunan Kawasan Danau Toba mengatakan, yang perlu dilakukan dalam mempercepat pembangunan di Danau Toba adalah dengan mengajak pemerintah dan swasta untuk melakukan program pariwisata secara terpadu, dan jangan setengah-setengah. “Kami mengusulkan Danau Toba sebagai objek wisata nasional kepada pemerintah sejak 20 tahun lalu,” tegasnya.

Menurutnya, yang membuat kemiskinan melanda penduduk sekitar Danau Toba adalah keterisoliran. Infrastruktur yang buruk menuju danau tersebut, membuat ekonomi tak berjalan maksimal.

“Pintu utamanya, menurut saya adalah Bandara Silangit, Itu harus dijadikan bandara internasional. Dengan demikian wisman maupun wisnus akan membanjiri Danau Toba,” katanya.

Sejak bandara ini dibuka untuk penerbangan domestik, tingkat load factor-nya diklaim mencapai 100%. Sampai saat ini, baru Sriwijaya Air dan Garuda Indonesia yang membuka rute menuju Bandara Silangit. Baru beberapa bulan dibuka saja, 200 ribu orang sudah memasuki Danau Toba.

“Logikanya, orang Batak di Jabodetabek saja sudah 2,5 juta orang. Setahun sekali saja, mereka pulang kampung, sudah berapa flight?” tanyanya.

Bangun dari Tongging

Pendapat lain dikemukakan Arya Sinulingga, Direktur Pemberitaan i-News. Menurutnya, pembangunan infrastruktur Danau Toba bisa dimulai dari Desa Tongging, sebelah utara Danau Toba. Sebabnya, wilayah Tongging lebih dekat ke pusat Kota Medan, yang berjarak 2,5 jam apabila berkendara darat.

“Kalau menunggu jalan tol akan lama sekali, bisa sepuluh tahun. Dan pengelolanya masih belum jelas. Siapa yang mau investasi dengan ROI yang bisa sampai 70 tahun?,” tanya Arya, pria berdarah Batak ini lantang.

Nah, dari Tongging, pemerintah bisa membuat transportasi laut menyusuri tujuh kabupaten yang berada di sekitar Danau Toba. Transportasi laut dinilai Arya lebih cepat terealisasi. “Lagipula, turis pun bisa memanfaatkan wisata ini menyusuri Toba lewat kapal,” ucapnya,

Ia melanjutkan, estimasi waktu sebuah kapal menyusuri Danau Toba sekitar tiga hari. Artinya, wisata cruise ideal untuk menarik wisatawan asing atau domestik datang ke Danau Toba.

“Di Flores saja, ada transportasi menyusuri laut Flores dengan biaya Rp 3 juta per orang per malam. Danau Toba bisa mengadopsi hal serupa,” paparnya.

Selain infrastruktur yang mesti dibenahi, komponen lainnya seperti akomodasi perhotelan, kuliner, dan industri kreatif juga perlu dipersiapkan. Laurensius bilang, Danau Toba memiliki sumber alam yang luar biasa, mulai dari ikan hingga kopinya. “Starbucks saja menggunakan kopi Lintong dari Kabupaten Humbang Hasundutan Tapanuli Utara,” ungkapnya.

Perhotelan dan restoran akan berdiri seiring pariwisata tumbuh di Danau Toba. Namun, jika tidak ada aktivitas ekonomi, yang dilakukan hanyalah mengeksploitasi sumber daya alam secara tidak seimbang. “Hutan-hutan dibakar dan gundul. Mereka melakukan itu karena untuk hidup, bukan untuk kaya,” kata Laurensius.

Kemiskinan juga membuat tingkat pendidikan rendah, karena tak ada biaya untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Efeknya, narkotika dan HIV AIDS di sekitar Danau Toba meningkat, bahkan pertumbuhannya tertinggi kedua setelah Papua.

“Kuncinya adalah konektivitas. Ketika semua terkonek, perubahan akan terjadi. Bayangkan, jarak Medan ke Danau Toba saja bisa 7 jam. Bagaimana bisa menjual sayur-mayur ke Jakarta? Bisa busuk di jalan,” tutup Laurensius.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related