Tantangan Nation Brand Indonesia di Mata Dunia

marketeers article
51412578 bali, indonesia june 13, 2015: beautiful women group dressed in colorful sarongs balinese style female dancer costume, dancing traditional temple dance legong at bali art and culture festival show

Bukan hanya produk dan layanan yang membutuhkan sebuah brand. Wilayah sekelas negara seperti Indonesia pun membutuhkan brand yang disebut dengan nation brand. Dan, branding menjadi proses kontinu yang tak boleh dianggap remeh jika negara itu mau dikenal dan dikunjungi oleh warga negara lain. Hal inilah yang sedang dilakukan oleh Kementerian Parisiwata Republik Indonesia.

Branding sebenarnya adalah sebuah investing. Apabila ada kenaikan nation brand sebesar 10%, maka turisme kita akan naik sebesar 11% dan investasi kita akan naik sebesar 2%. Inilah rumus dari dari Reputation Institute yang menemukan kaitan kuat antara reputasi sebuah negara dengan keinginan orang untuk mengunjunginya,” kata Arief Yahya, Menteri Pariwisata.

Arief menandaskan, brand merupakan investasi di masa depan bagi sebuah negara. Brand ini, sambung Arief, tidak bisa dilepaskan dari marketing. Branding tak lain adalah janji produk kepada customer-nya. Ketika ini dikelola dengan baik, branding akan memunculkan reputasi. Terkait ini, Arief menggunakan strategi 3C dari Anholt-GFK Roper, yakni Contribution, Competence, dan Communication.

Terkait National Competence, Arief merujuk segala sesuatu yang dimiliki oleh Indonesia. Terkait Global Contribution, Arief merujuk pada kontribusi pada customer global. Hal ini terkait dengan sains, kultur, dukungan pada keamanan dan perdamaian dunia, kepedulian pada planet dan iklim, perwujudan kesejahteraan bersama, dan sebagainya. Sementara, Glocal Communication mengacu pada bagaimana keduanya dikomunikasikan secara global dan lokal.

“Ketika kompetensi dan kontribusi tersebut dikomunikasikan, terciptalah reputasi.  Reputasi inilah yang akan menjadi persepsi bagi orang yang menilainya,” kata Arief.

Masih mengutip Anholt, Arief mengatakan ada enam aspek yang memengaruhi kompetensi nasional, yakni turisme, ekspor, pemerintah, investasi dan imigrasi, kultur dan warisan budaya, dan masyarakatnya. “Kami sendiri sudah sepakat dengan TTI atau Trade Tourism Investment. Orang akan tahu sebuah negara itu dari TTI tersebut. Dan, inilah inti ketika orang membicarakan nation brand,” kata Arief.

Arief menegaskan, dari semua potensi dan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia, yang paling inti atas citra Indonesia adalah keberagaman atau yang dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman ini nampak dalam bidang seni, budaya, agama, kuliner, maupun sejarah. Dengan ini, Indonesia mampu menawarkan banyak hal yang dapat memuaskan semua selera.

Terkait kontribusi global, apa yang menjadi posisi Indonesia saat ini? Arief mengatakan, pada tahun 2016, Indonesia menempati ranking ke-40 dari 50 negara yang di daftar indeks Anholt-GFK Roper. Peringkat Indonesia masih berada di posisi terbawah dari pesaing utamanya, yakni Thailand (posisi 32), India (posisi 31), Singapura (posisi 25), dan China (posisi 24).

Apa yang menyebabkan Indonesia masih kalah dengan negara pesaing utama tersebut? Ada dua faktor yang menurut Arief berpengaruh, yakni manusia dan budaya. Orang Indonesia memang terkenal ramah, tetapi skornya tidak tinggi untuk skor tenaga kerja. Sementara, warisan budaya Indonesia memiliki skor tinggi, tapi masih lemah pada budaya kontemporer seperti sport. “Dengan hal itu, kita masih kurang cukup baik dalam mengelola nation brand Indonesia,” katanya.

Terkait komunikasi global, Arief menyebut beberapa metode komunikasi yang jamak dipakai. Pertama, metode house of brand yang menaungi berbagai strategi branding. Arief mencontohkan India dan Australia. India mengusung tagline nasional Incredible India. Tetapi, setiap destinasi wisata di India memiliki logo, jenis font, dan warnanya. Demikian juga Australia dengan nation brand Tourism Australia. Intinya, brandnya banyak tetapi masih satu negara.

Kedua, endorsed house of brand yang mengusung identitas negara pengusung. Ini bisa terjadi dengan logo yang berbeda, tetapi mendapat endorsement oleh satu negara. “Metode ketiga yang kita gunakan adalah endorsed brand family. Logonya berbeda-beda, tetapi warnanya sama dan di-endorse dengan Wonderful Indonesia,” kata Arief.

Arief mengingatkan, dalam proses komunikasi nation branding tersebut, yang paling penting adalah konsistensi. Dan, pemerintah Indonesia sudah memutuskan untuk nation branding ini adalah Wonderful Indonesia.  “Dalam hal ini, semua font untuk berbagai jenis destinasi sama semua. Saat menulis Enjoy Jakarta, Stunning Bandung, font yang digunakan sama dengan  font pada Wonderful Indonesia. Warna-warna yang digunakan juga sama,” katanya.

Pemerintah Indonesia juga sudah memutuskan sepuluh top brands destinasi wisata, yakni Bandung, Jakarta, Jawa, Lombok, Bali, Banyuwangi, Riau, Makassar, Medan, dan coral pearl yang meliputi Bunaken, Raja Ampat, dan Wakatobi. Font dan warna yang dipakai oleh brand destinasi tersebut sama dengan nation brand.

Reputasi Wonderful Indonesia

Wondeful Indonesia sudah dipromosikan di banyak negara. Bagaimana tanggapan negara lain terhadap nation brand Indonesia? Pada tahun 2013, World Economic Forum (WEF), menerbitkan peringkat country brand untuk turisme. Penilaian ini dimasukkan dalam Travel and Tourism Competitivenes Index. Pada tahun 2013, Wonderful Indonesia tak masuk ranking dalam 140 negara. Bisa jadi, sambung Arief, karena terlalu buruk atau terlalu tidak dikenal.

“Pada tahun 2015, Wonderful Indonesia berhasil naik hampir seratus peringkat. Pada tahun ini, brand Indonesia naik ke ranking 47. Angka ini memasukkan Indonesia di kluster satu meski masih paling bawah,” katanya.

Posisi baru Indonesia ini pun berhasil menggeser negara tetangga, seperti Thailand (83), Malaysia (96), Hongkong (51), dan Korea (60). Strategi branding Wonderful Indonesia, sambung Arief, masih lebih bagus dari Thailand dan Malaysia dan masih kalah dengan Singapura.

“Reputasi yang cukup membanggakan terjadi sepanjang tahun 2016 yang mana Wonderful Indonesia mendapatkan 46 penghargaan di 22 negara. Dan, Indonesia menjadi yang terbaik di pameran wisata terbesar sedunia, yakni ITB (Internationale Touristik Börse‎) Berlin tahun 2016,” kata Arief.

Akhirnya, kesuksesan itu bisa diraih sekaligus diperhatikan jika Indonesia mampu mengelola tiga strategi tadi, yakni mengembangkan kompetensinya, aktif berkontribusi, sekaligus kreatif dalam mengkomunikasikannya. Nah!

    Related