Snapcart, Startup yang Bakal Jadi Ancaman Perusahaan Survei?

marketeers article
15933010 hand holds the check from supermarket against vegetables and fruit

Dunia konsumer yang dinamis dengan merek yang terus menjamur, menciptakan persaingan yang begitu ketat. Merek harus mengamati gerak-gerik kompetitor. Di sisi lain, mereka juga harus fokus pada konsumen. Merek pun pada akhirnya membutuhkan pihak ketiga untuk melancarkan startegi pemasarannya.

Karena alasan itulah, Reynazran Royono menciptakan Snapcart, sebuah startup jaringan big data berbasiskan pembelian. Dengan cara mengumpulkan informasi struk pembayaran dari para pembeli, merek dapat menghadiahi mereka cashback atau uang tambahanAkan tetapi, bukan itu yang menjadi “jualan” utama Snapcart.

“Kelihatannya sederhana, memberikan cashback. Namun, di balik itu, kami membantu mereka memberikan real time analytics mengenai periaku konsumen menggunakan merek-merek tersebut,” katanya kepada Marketeers di kantor Accenture Jakarta, Senin, (15/8/2016).

Secara lebih rinci, ia menjelaskan bahwa big data yang ditawarkan Snapcart kepada merek yang bermitra dengannya, yaitu mengetahui market share suatu merek atau kategori produk, pergerakan harga yang terjadi di ritel, serta performa pricing yang ada.

Pada dasarnya, data tersebut bisa diberikan oleh peritel kepada prinsipal atau merek. Hanya saja, data tersebut dirahasiakan oleh pihak ritel. Selain itu, menurut Rey, ada perbedaan antara data yang diberikannya dengan data ritel.

“Ritel tidak bisa memberikan data secara pengguna. Ia hanya memberikan performa dari satu item produk atau satu gerai. Di sisi lain, merek ingin melihat apa saja yang dibeli oleh pelanggan selama ini,” ucapnya.

Dengan struk belanja, Snapcart bisa memberikan data tersebut ke merek. Selama ritel memberikan struk belanja, Snapcart bisa mengolah data tersebut untuk kepentingan kliennya yang sudah sebanyak 75 merek saat ini, di antaranya L’Oreal, Mayora, dan Mead Johnson.

“Hanya saja yang menjadi kendala adalah format struk belanja di Indonesia ada 5.500 jenis. Hal itu menyebabkan proses pembacaaan lebih sulit,” tutur CEO Berniaga.com, situs iklan baris yang telah diakuisisi oleh OLX pada awal tahun 2015 dengan nilai yang dirahasiakan.

Rey yang selama 9 tahun bekerja di P&G ini mengaku kesulitan ketika harus mengentri setiap produk baru yang masuk ke ritel ke dalam sistem aplikasinya. “Produk baru di ritel ada setiap minggu. Itu harus dimasukkan secara manual, karena tidak ada teknologi yang bisa mendeteksi mana produk baru mana yang bukan.”

Kehadiran Snapcart tentu mendisrupsi peran perusahaan survei dan penelitian (research company) yang masih mengandalkan proses tatap muka dan wawancara untuk mendapatkan data.

Pertama, Snapcart langsung dari konsumen. Bukan dari interview, bukan dari isi kuisioner. Kedua, semua data tersebut real-time dan otomatis masuk ke dalam sistem. Jadi, proses mendapatkan data menjadi lebih cepat,” terangnya.

Mungkin, yang menjadi tantangan Snapcart adalah ketika semua struk belanja dikirimkan dalam bentuk digital alias melalui e-mail. Menanggapi hal itu, Rey bilang, bahwa itu bukan yang akan terjadi dalam dunia ritel.

“Mengolah data dari aktivitas digital memang mudah dilakukan. Snapcart hadir untuk mengolah data transaksi konvensional yang masih menguasai 95% transaksi di ritel,” pungkasnya.

Snapcart yang merupakan startup besutan Ardent Capital pada awal tahun ini telah memperoleh investasi pra seri-A sebesar US$ 1,6 juta (sekitar Rp 22 miliar). Adapun investor yang ikut serta dalam putaran investasi tersebut adalah Wavemaker Partners, SMDV, Ardent Capital, dan SPH Media Fund (badan investasi dari Singapore Press Holding).

Rey menerangkan, yang menjadi target terdekat Snapcart saat ini adalah ekspansi ke sejumlah negara ASEAN, dengan targetnya yaitu Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Saat ini, selain Indonesia, Snapcart telah digunakan di Filipina. Sejak diluncurkan September 2015, Snapcart telah mengantongi 600.000 unduhan dari piranti mobile Android.

Bukan Takut

Di sisi lain, Prihadiyanto, Managing Director Products Operating Group Accenture Indonesia mengatakan, keberadaan startup seharusnya tidak mengancam eksistensi perusahaan legacy. Justru perusahaan-perusahaan yang telah lama berdiri membutuhkan startup untuk meringankan pekerjaannya.

“Perilaku konsumen berubah dan perubahannya dinamis. Melalui aplikasi-aplikasi yang dibuat startup, perusahaan itu menjadi tahu produk apa yang laku pada musim-musim tertentu,” katanya di lokasi yang sama.

Sehingga, lanjutnya, keberadaan startup membantu mereka mengetahui market yang terjadi saat ini. “Jadi, (perusahaan) yang takut, juga salah. Dunia berubah. Mereka harus sering berkolaborasi dengan startup.

Accenture sebagai perusahaan konsultan bisnis yang mengantongi klien perusahaan global telah menyadari pentingnya kolaborasi dengan startup. Pasalnya, perusahaan ini beberapa kali mengakuisisi perusahaan rintisan. Seperti yang dilakukannya saat mencaplok Meglan, startup keamaan siber dari Israel.

Editor: Sigit Kurniawan

Related