Tidak Ada Perusahaan di Dunia Seperti Xiaomi

marketeers article

Senin (25/6/2018) akan menjadi sejarah baru bagi Xiaomi, merek smartphone asal China yang terinspirasi dari pendahulunya, iPhone. Xiaomi akan mulai menerima pesanan para investor yang hendak membeli saham perdananya di bursa Hong Kong pada 9 Juli mendatang.

Sekitar 2,2 miliar saham ditawarkan dengan harga US$ 2,1 hingga US$ 2,8 per lembar. Harapannya, angka itu akan menghasilkan hingga lebih dari US$ 6 miliar untuk perusahaan. Jika berhasil, ini bisa meningkatkan valuasi perusahaan sebesar US$ 54 miliar hingga US$ 70 miliar.

James Paradise, co-president Goldman Sachs Asia Pacific yang bertindak sebagai co-sponsor dari IPO ini menjuluki Xiaomi sebagai “spesies baru.” Dalam presentasi selama setengah jam, Xiaomi memproklamirkan model bisnis triathlon. “Xiaomi adalah tiga perusahaan dalam satu kesatuan,” begitu eksekutif perusahaan berpendapat.

“Anda tidak boleh menganggap Xiaomi sebagai perusahaan perangkat keras, atau perusahaan internet, atau perusahaan e-dagang. Kami adalah perusahaan langka yang dapat menjadi perangkat keras, perusahaan internet, dan menjadi e-commerce. Perusahaan semacam ini pada dasarnya belum ada sebelumnya,” kata Xiaomi CFO Chew Shou Zi.

Tetapi, apakah itu benar-benar model bisnis baru? Bukankah menjual gawai murah kepada satu juta orang merupakan model bisnis biasa? Apakah Xiaomi satu-satunya raksasa teknologi yang memiliki banyak cabang untuk model bisnisnya? Itu menjadi pertanyaan yang coba diklarifikasi Xiaomi sebelum IPO mereka yang kemungkinan menjadi salah satu yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir.

CEO Xiaomi Lei Jun menjelaskan bahwa model bisnis triathlon Xiaomi terdiri dari “tiga pilar”, yakni menjual smartphone, menjual perangkat keras dan produk lain yang terhubung secara offline, serta menjual layanan internet (biasanya iklan atau barang virtual melalui serangkaian aplikasi seluler yang dikembangkannya).

Sementara, Apple menghasilkan uang dari perangkat keras dan perangkat lunaknya, iOS. Xiaomi, di sisi lain, menjual perangkat yang sebagian besar adalah perangkat Android dengan margin keuntungan tipis. Hingga saat ini, tidak ada perusahaan perangkat keras yang membangun bisnis globalnya dengan memanfaatkan perangkat murah sebagai kendaraan memperoleh keuntungan dari iklan dan layanan lainnya.

Selain itu, perusahaan internet seperti Alibaba dan Amazon telah mencoba menjual perangkat keras, tetapi itu tidak pernah menjadi bagian inti dari pendapatan mereka.

Akankah model bisnis ini mampu mencapai valuasi perusahaan US$ 70 miliar? Itu tergantung pada apakah investor lebih fokus pada sisi perangkat kerasnya atau sisi internetnya, serta potensi pertumbuhan yang mereka lihat di masing-masing lini.

Menurut Lei, pemilik smartphone Xiaomi kemungkinan akan membeli barang Xiaomi lainnya. Perusahaan ini telah berinvestasi di lebih dari 200 perusahaan yang membuat produk mulai dari skuter listrik, filter udara hingga pulpen, sebagian besar dijual dengan merek Xiaomi.

Lebih lanjut, Lei berpendapat bahwa pemilik smartphone Xiaomi juga lebih cenderung menghabiskan waktu di aplikasi Xiaomi. Ada lebih dari 30 aplikasi di mana mereka bisa melihat iklan.

Dia melanjutkan, pihaknya juga melihat potensi pendapatan yang sangat besar di lini internet, yang mana pendapatan rata-rata per pengguna Xiaomi saat ini sebesar US$ 9. Sementara Facebook mencapai lebih dari US$ 20, dan WeChat hampir US$ 35. Itu artinya, masih ada ruang peningkatan yang bisa digali perusahaan.

Pencapaian itu amat mungkin terjadi, mengingat di daratan China, serangkaian aplikasi seluler Google diblokir oleh pemerintah. Begitu pun dengan layanan seperti YouTube dan Facebook. Oleh karena itu, keberhasilan Xiaomi memang didesain tanpa harus bersaing dengan raksasa teknologi Amerika Serikat.

Namun, keistimewaan itulah yang menjadi tantangan terberat Xiaomi, yaitu bagaimana meyakinkan dan menarik pengguna non-China untuk membeli perangkatnya, khususnya di pasar Eropa dan Amerika. Syukurnya, di belahan dunia lain seperti di India, ponsel cerdas Xiaomi banyak diminati. Begitu juga di Indonesia.

Artinya, ada risiko bahwa bisnis internet Xiaomi tidak akan mencapai kesuksesan yang sama di luar negeri, kecuali hanya di negara asalnya China. Apakah benar demikian?

Editor: Sigit Kurniawan

Related