Yang Kita Tidak Ketahui dari Tren Ngopi di Kota-Kota Besar

marketeers article

Saat ini, beragam kalangan di Indonesia sedang menggandrungi kebiasaan minum kopi. Tidak hanya minum kopi kemasan maupun produk kopi dari perusahaan waralaba asing, tetapi sampai mengulik beberapa jenis kopi nasional. Apalagi ditambah dengan menjamurnya kedai-kedai kopi, baik di kota besar dan kota kecil.

Salah satu yang terkenal mungkin adalah Kedai Kopi Tuku. Semenjak berdiri pada Juni 2015, Kopi Tuku memiliki visi untuk menjembatani penikmat kopi di Jakarta. Andanu Prasetyo yang akrab dipanggil Tyo, melihat ada jarak yang cukup besar antara penikmat kopi instan dan kopi yang ada di kafe-kafe di ibukota.

Ia melihat, kopi dalam bentuk kemasan memiliki kadar gula yang tinggi dan berpengaruh pada faktor kesehatan. Sementara, kopi yang disajikan di kafe-kafe dalam segi harga masih tergolong mahal.

Secara umum kami ingin meningkatkan konsumsi kopi di Indonesia. Dengan harga yang terjangkau, orang menjadi membeli produk kami secara rutin dan akhirnya tingkat konsumsi kopi pun turut bertambah,” ujar Tyo.

Harga yang ditawarkan oleh Kopi Tuku terbilang terjangkau apabila dibandingkan dengan kopi-kopi yang ditawarkan kedai kopi lainnya. Mulai dari Rp 10.000-Rp 30.000 per gelas, konsumen bisa menikmati kualitas terbaik dari biji kopi Indonesia.

Selain Kopi Tuku, di Jakarta juga terdapat Kedai Filosofi Kopi di bilangan Melawai, Jakarta Selatan. Kedai ini merupakan adaptasi dari novel dan film yang berjudul sama, Filosofi Kopi. Handoko Hendroyono selaku produser dan salah satu pendiri kedai Filosofi Kopi menjelaskan bahwa kunci sukses kedai ini adalah kepekaan untuk menangkap tren dan mengakselerasinya menjadi suatu hal yang unik.

Rio Dewanto, salah satu pemeran utama dalam film Filosofi Kopi menyebutkan, Filosofi Kopi merupakan first user generated movie yang mencoba mengajak penonton terlibat dalam proyek Filosofi Kopi. “Dari awal dibentuk memang telah disiapkan untuk menciptakan universe dari Filosofi Kopi di dunia asli. Orang bisa bertemu langsung dengan Ben dan Jody (karakter di Filosofi Kopi). Bisa merasakan kopi yang mereka baca di buku atau saksikan di film. Kami ingin universe ini benar-benar hadir di lingkungan kami,” ujar Rio.

Konsumsi Naik Tapi Produksinya Menurun

Mungkin masih banyak yang mencibir hadirnya kedai-kedai kopi di kota-kota besar dan kecil sebagai sebuah tren di kalangan anak muda semata. Faktanya, budaya minum kopi merupakan budaya nasional. Hampir semua daerah mempunyai budaya meminum kopi sendiri.

Bahkan, ada beberapa daerah yang memilki tradisi unik dalam menikmati secangkir kopi. Di Aceh, misalnya, ada kopi sanger, racikan kopi yang berbentuk kopi susu. Ia mengatakan kopi sanger dibuat dengan cara disaring dan ditarik berulang-ulang. Di Sumatera Barat, ada kopi kawa daun. Kopi ini dibuat dari daun kopi yang dikeringkan, diseduh, lalu disajikan menggunakan batok kelapa. Di kota Medan, ada kebiasaan minum kopi yang dicampur dengan daging durian. Sementara, di Yogyakarta ada kopi hitam yang dimasukkan arang panas ke dalamnya atau lebih dikenal dengan nama kopi joss.

Itu baru kebiasaan minum kopi, belum menyebut jenis-jenis kopi yang ada di Indonesia. Sebut saja ikopi tubruk, kopi aceh, kopi jawa, kopi toraja, dan masih banyak lagi.

“Banyak kultur yang bisa diambil dari negeri ini. Misalnya di Aceh, minum kopi itu di sana tidak sekadar minum, namun menjadi sebuah ruang diskusi dan solusi. Kedai kopi di sini menjadi sebuah ruang kreatif berkumpulnya banyak orang dari beragam latar belakang,” jelas Handoko Hendroyono.

Namun, saat ini, permasalahan lain muncul. Konsumsi kopi ternyata tidak sebanding dengan produksi biji kopi itu sendiri. Data dari Kementerian Pertanian menampilkan bahwa produksi kopi Indonesia terus menurun. Pada Tahun 2012, produksinya mencapai 691,2 ribu ton, pada tahun 2013 menjadi 675,9 ribu ton. Sementara itu, pada tahun 2016 produksi kopi nasional mencapai 639,3 ribu ton atau turun tipis dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2017, produksi kopi diprediksi mencapai 637,5 ribu ton yang lagi-lagi turun tipis.

Hal ini berkebalikan dengan data dari International Coffee Organization (ICO) dalam studinya, konsumsi kopi masyarakat Indonesia semenjak tahun 2000 terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2012, konsumsi kopi masyarakat Indonesia mencapai 3,9 juta bungkus (1 bungkus = 60 Kg). Pada tahun 2013, naik menjadi 4,2 juta bungkus, kemudian naik menjadi 4,3 juta bungkus di 2014. Pada tahun 2015, naik menjadi 4,4 juta bungkus, dan pada tahun 2016 menjadi 4,5 juta bungkus.

Naiknya konsumsi kopi di Indonesia membuat banyak pelaku turut membuka bisnis yang berkaitan dengan kopi. Salah satunya adalah grup musik Slank. Grup musik legendaris ini memanfaatkan kekuatan brand mereka ke ranah bisnis lain di luar musik dengan meluncurkan brand SlanKopi.

Kecintaan Slank terhadap kopi diakui Vokalis Slank Kaka mendasari mereka untuk memilih kopi sebagai gelutan bisnis mereka kini. “Sudah sejak dulu kami benar-benar suka minum kopi. Lagu-lagu tentang kopi pun tak sedikit kami ciptakan. Melalui terobosan SlanKopi, kami ingin melestarikan kopi Indonesia, membuka lapangan pekerjaan baru, sekaligus menyajikan kopi yang benar-benar kopi bagi para pecinta kopi,” kata Kaka.

Menjamurnya kedai kopi di beberapa kota saat ini menurut Handoko Hendroyono harus dipandang sebagai suatu hal yang positif. Beberapa indikatornya adalah peningkatan apresiasi kepada para petani, barista, dan teknik menikmati kopi. Namun, ia mengingatkan bahwasanya dari segi bisnis, membuka kedai kopi tidak boleh latah.

 

Baginya, bisnis kedai kopi harus digeluti secara serius. Tidak bisa hanya mengandalkan modal yang besar tanpa mau mendalaminya. “Story telling, karakter, dan tema harus kuat. Banyak sudut pandang tentang kopi yang bisa diambil. Yang terpenting kopinya harus benar dan baik,” ujarnya.

Sementara itu, Tyo dari Kedai Kopi Tuku menilai bahwa situasi yang ada saat ini, khususnya di Jakarta, harus didukung. Baginya saat ini masyarakat memiliki banyak pilihan untuk menikmati kopi khas Indonesia. Ia membantah, bahwa apa yang dilakukan Kopi Tuku dengan menawarkan harga yang terjangkau telah merusak pasar.

“Orang yang benar-benar tahu akan paham bahwa saya tidak merusak pasar. Cara membantu petani kopi adalah dengan menjual yang banyak sehingga konsumsi meningkat, ujungnya adalah kuantitas.” pungkasnya.

Editor: Sigit Kurniawan

Related