UKM Harus Kreatif Kemas Produk dan Berani Mengeksekusi

marketeers article

Salah satu modal utama UKM agar sukses di pasar yang kompetitif adalah kreativitas. Selain kreatif dalam strategi, pelaku UKM harus kreatif juga dalam produk yang ia jual dan pasarkan. Manajemen produk yang kreatif bakal memberi nilai tambah dari merek yang ia tawarkan kepada konsumennya.

Tak disangkal, Indonesia memiliki banyak pelaku UKM yang sangat kreatif di dalam produknya. Entah dengan menghadirkan produk yang sama sekali baru – artinya belum ada sebelumnya – atau sekadar memberi sentuhan baru dengan modifikasi, atau bermain di kemasannya.

Kreativitas ini menjadikan produk umum memiliki diferensiasi yang kuat. Dalam pemasaran, diferensiasi tersebut bisa diwujudkan dalam tiga hal, yakni konten (produk), konteks (kemasan maupun cara penyajian), dan infrastruktur (hal-hal pendukung, seperti kedai, toko, dan wadahnya).

Ambil contoh produk kuliner seperti martabak. Orang tentu kenal martabak. Makanan ini sudah dikenal sejak lama. Namun, belakangan, martabak kembali menjadi happening ketika beberapa pemainnya memberi sentuhan kreatif pada produknya. Martabak tidak lagi dikenal dalam dua jenis saja – martabak telor dan martabak coklat-keju. Sekarang, martabak bisa dikemas dalam berbagai variasi, baik rasa, topping, warna, kemasan, dan sebagainya.

Salah satunya, martabak besutan Gibran Rakabuming Raka, Putra Sulung Presiden Jokowi dengan merek “Markobar.” Kata “Markobar” sendiri merupakan singkatan dari “Martabak Kota Barat.” Singkat cerita, sebenarnya martabak ini dirintis oleh kawan Gibran, yakni Arif Setyobudi.

Bisnis martabak ini berangkat dari tahun 1996 dari tangan seorang anak muda bernama Arif Setyobudi. Saat itu, Arif menjajakan martabak secara kaki lima di pinggir jalan Kota Barat, Solo. Arif terinspirasi pada penjaja martabak di daerah Pecenongan, Jakarta, yang berani menjajal rasa martabak dengan coklat premium.

“Saya menambah rasa coklat yang lain dengan coklat premium. Sampai sekarang, ada 16 topping coklat di martabak ini. Lalu, kami utak-atik dan kemudian saya menemukan martabak atau terang bulan yang penyajiannya tidak dilipat,” kata Arif.

Penemuan ini, menurut Arif, terbilang sebuah kecelakaan. Sejak awal, sambung Arif, dirinya tidak menyukai pizza. Tetapi, setiap melihat iklan pizza, Airif ingin sekali membelinya. Ia terinspirasi dengan cara meyajikan pizza. Lalu, ia mencoba menyuguhkan martabak dengan penyajian seperti pizza tersebut dengan satu topping berbeda di setiap potongnya. Martabak dengan delapan potong dan delapan rasa itu kemudian ia foto dan disebar melalui Twitter. Hasilnya? Banyak orang menginginkannya. Jadilah kemudian martabak delapan rasa yang fenomenal saat ini.

“Saat itu, ingin riset rasa mana yang disukai. Ternyata, delapan rasa ini malah banyak peminatnya. Padahal, risetnya sampai sekarang belum selesai,” katanya.

Dalam perjalananya, bisnis martabak ini akhirnya menarik hati Gibran Rakabuming Raka, Putra Sulung Presiden Jokowi, untuk turut mengelolanya. Gibran mengaku, mumpung usianya masih muda, ia harus banyak belajar mengelola banyak produk. Lalu, merasa cocok dengan Markobar tersebut dan kemudian percaya diri mengembangkan produk ini. Gibran optimistis bisa mengembangkan martabak ini dengan sentuhan kreatif dan inovatif.  Kini, Markobar pun berekspansi dengan membangun gerai di Jakarta dan tetap fenomenal alias ramai pengunjung.

Padukan Unsur Tradisional dan Modern

Kasus serupa adalah jamu. Orang tahu kalau jamu itu minuman tradisional yang sudah menjadi warisan budaya alias turun temurun. Namun, perkembangan zaman, membuat jamu menjadi kurang populer, khususnya di kalangan anak muda sekarang.

Namun, kondisi ini tak menyurutkan langkah Uwi Mathovani dalam membesut bisnis jamu yang dikemas secara modern. Merek yang ia usung pun kental dengan nuansa Jawa tradisional, yakni Suwe Ora Jamu.

“Awalnya, saya melihat susahnya orang menemukan jamu sekarang ini. Biasanya, penjual jamu keliling dari rumah ke rumah atau orang bikin sendiri jamunya. Itu pun sekarang jarang-jarang ada. Ini bagi kami peluang. Kami lalu bangun sebuah kedai jamu dengan suasana se-hommy mungkin dan modern,” ujar Uwi.

Sebab itu, dalam kedai tersebut, Uwi menampilkan barang-barang rumahan agar memberi aksen at home bagi para pelanggannya. Tak mudah tentunya mengangkat jamu di tengah persaingan minuman lain seperti kopi dan teh yang sudah menjadi bagian dari gaya hidup orang modern.

“Kami memanfaatkan media sosial untuk mengangkat jamu ini. Tapi, bukan produk atau tempat saja yang kami promosikan. Kami juga mengedukasi kembali pentingnya minum jamu di era sekarang. Kami berbagi knowledge,” katanya.

Uwi boleh dibilang berhasil membangun diferensiasi jamu dalam hal konteks maupun infrastrukturnya sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Strategi mirip juga dilakuka oleh Danu Sofwan, pemilik bisnis Radja Cendol. Tangan kreatif Danu membuat cendol besutannya tak lagi menjadi sekadar minuman tradisional pemuas dahaga, tetapi menjadi minuman sehat yang berdaya pikat.

Danu memberi sentuhan modern bagi produk lawas tersebut. Apa saja ide kreatifnya? Ia mengganti santan dengan susu, misalnya, dan menambahinya dengan topping coklat, keju, dan aneka rasa lainnya. Kurang dalam setahun, inovasi ini mendorong Radja Cendol berekspansi ke seluruh pelosok nusantara karena makin banyak pelanggannya. Sudah ada lebih dari 700 gerai dengan sistem waralaba.

“Saya melawan arus dengan membuat cendol yang dimodifikasi karena ingin meraup pasar baru. Saya tidak ingin ikut arus pasar minuman yang sedang tren seperti minuman agar-agar dan jeli. Radja Cendol juga saya dedikasikan sebagai gerakan untuk membudidayakan minuman tradisional,” ujar Danu.

Berani Ambil Risiko

Gibran, Uwi, maupun Danu mengaku kreativitas dan inovasi bukanlah segalanya. Yang menjadi motor pendorong utamanya tak lain adalah keberanian mengambil risiko. Tanpa ini, bisnis sekadar ide di kepala saja.

“Dari dulu, saya selalu dalam menjalankan bisnis, janganlah terlalu banyak wacana. Tidak sibuk dengan proposal atau business plan. Yang penting, langsung jalankan saja. Tidak takut pada bayang-bayang rugi karena hanya akan membuat kita tak bisa menjalankan bisnis tersebut,” kata Gibran.

Hal sama juga diyakini Uwi. Baginya, berjualan jamu di tengah hiruk pikuknya pasar minuman modern saat ini tidaklah kecil tantangannya. Apalagi kesadaran orang-orang modern saat ini makin jauh dari minuman sehat tradisional tersebut. Tapi, Uwi dengan kedai jamunya, ingin membalik arah tren tersebut agar orang makin mencintai jamu karena memang menyehatkan. Ini tentunya sebuah edukasi tak gampang dan penuh risiko.

Danu mengamini hal yang sama. Baginya, menjadi pengusaha dan petualang itu. Keduanya harus berani menyambut tantangan, bermental tangguh, dan percaya diri. “Pengusaha sukses merupakan mereka yang berani mengambil risiko. Takut tidak akan ada di kamusnya. Mereka akan menghadapinya dengan penuh persiapan,” katanya.

Nah, pelajaran utama dari ketiga pengalaman pengusaha muda tersebut ada dua. Pertama, kreativitas bisa mengubah sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin, sesuatu yang lawas menjadi baru, sesuatu yang tak menarik menjadi berdaya pikat tinggi. Kedua, semua hanya sia-sia jika masih dalam tataran wacana. Action is power, demikian ringkasnya.

Bagaimana dengan Anda?

Related