Vivo, Dari Selfie Sampai Usaha Enyahkan Stigma Negatif China

marketeers article

Brand smartphone asal China begitu menjejali pasar Indonesia setidaknya tiga tahun belakangan. Sebut saja Oppo sampai Xiaomi, mulai menancapkan eksistensi mereka dengan jor-joran marketing sampai memposisikan dirinya sebagai smartphone terjangkau dengan spesifikasi kelas atas.

Walau pangsa pasar masih dikuasai oleh pemain Korea Samsung sekitar 30%, smartphone-smartphone Negeri Tirai Bambu mulai menjadi pilihan. Padahal menurut Edy Kusuma, Brand Manager PT Vivo Mobile Indonesia, stigma negatif masyarakat Indonesia terhadap brand China masih kuat.

“Seperti biasa, mereka menganggap buatan China itu gampang rusak dan lain-lain. Apalagi bagi kami yang tergolong baru masuk 2014 lalu ke sini, sulit sekali untuk mengenal karakter konsumen Indonesia itu maunya seperti apa,” ujarnya di Jakarta pada Jumat (11/8) 2017 pada gelaran musik We The Fest di mana Vivo menjadi sponsor dalam gelaran milik grup Ismaya tersebut.

Memang lambat laun brand Vivo mulai menampakan diri lewat berbagai strategi marketing-nya, termasuk dengan menggaet brand ambassador penyanyi beken Agnez Mo. Sejak saat itu Edy mengaku penjualan mereka mengalami peningkatan signifikan.

Berdasarkan data yang ia kutip dari salah satu survei, saat ini penjualan Vivo di Indonesia ada di posisi keempat. Edy yakin brand-nya mampu masuk merangsek ke posisi tiga setidaknya pada akhir tahun. “Sekarang sudah tipis sekali posisi empat ke tiga. Kami cukup optimis tembus tiga besar tahun ini,” ujar Edy lagi.

Salah satu strategi marketing Vivo di Indonesia adalah memposisikan dirinya sebagai smartphone selfie. Semisal di produk Vivo V 5s, tersemat kamera depan 20 megapiksel yang diklaim sangat mumpuni untuk melakukan selfie.

Bagi Edy, positioning tersebut melihat karakter masyarakat Indonesia yang doyan foto diri sendiri maupun bersama rekan-rekannya. Kekuatan kamera depan menjadi daya pikat tidak terpisahkan konsumen Indonesia. Karena itu Vivo tampak tidak terlalu memusingkan soal me-marketing-kan spesifikasi kepada konsumen.

Padahal brand yang bermain dengan positioning smartphone selfie cukup banyak. Brand-brand lain juga mengkomunikasikan hal yang sama. Tidak heran gimmick selfie tampak menjadi komoditas di tengah pasar smartphone yang ketat di Indonesia.

“Ya itu kembali pada brand masing-masing. Konsumen kami senang selfie, oke. Tapi kembali lagi bahwa karakter konsumen itu banyak. Sekarang juga Vivo tidak hanya memposisikan sebagai brand selfie, kami juga sematkan musik sebagai elemen marketing kami,” ungkap Edy.

Tidak heran Vivo melirik festival musik We The Fest sebagai ajang branding. Apalagi musik menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat, terutama generasi muda yang biasa disebut millennials yang menjadi target pasar We The Fest.

Untuk itulah kenapa We The Fest dipilih, yaitu sebagai ajang pendekatan kepada generasi millennials Indonesia serta mempposisikan dirinya sebagai brand yang lekat dengan musik. Vivo sendiri menyasar segmen ini di mana sekitar 50% penggunanya berada di kisaran usia 18 sampai 28 tahun. Selain itu mereka berada di kelas ekonomi B, B plus sampai C plus, termasuk generasi millennials yang juga pekerja profesional.

Tidak heran Vivo bermain di ranah smartphone kelas menengah antara Rp2 jutaan sampai hampir Rp5 jutaan. “Karena memang di ceruk inilah pasar smartphone di Indonesia merekah. Di harga tersebut smartphone kami laris manis,” sambung Edy lagi.

Ditanya soal kesiapan produksi di Tanah Air, lewat Tyas Rarasmurti sebagai Public Relations Manager menyatakan bahwa Vivo sudah punya pabrik di kawasan Cikupa. Menurutnya, Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) Vivo di sini sudah melebihi batas yang ditentukan. “Kandungannya sudah 32%. Jadi untuk penetrasi pasar lebih lanjut sampai masuk tiga besar harusnya sangat memungkinkan,” tutupnya.

    Related