Warisan Almarhum Bapak Medsos Indonesia untuk Para Pemasar Digital

marketeers article

Ranah media sosial Tanah Air tengah berkabung. Trending topic Twitter pada Minggu, 13 Januari 2019 #RIPNukman membawa berita duka bagi banyak netizen di Tanah Air. Ya, pria yang dikenal sebagai bapak medsos Indonesia Nukman Luthfi mengembuskan napas terakhirnya pada Sabtu (12/1/2019) di Yogyakarta.

Sebelum kepergiannya, pria ini mewariskan banyak pandangan seputar perilaku bermedia sosial bagi para netizen juga perusahaan yang berkecimpung di ranah digital. Seperti yang Marketeers terima pada wawancara dua tahun silam. Berikut pesannya:

Kala itu, Nukman sangat menyangkan banyak sekali perusahaan yang punya akun media sosial namun belum bisa memaksimalkannya. Ia pun menggarisbawahi, sejatinya banyak sekali tujuan besar yang dilakukan oleh para perusahaan atau merek di dalam media sosial, khususnya dalam hal aktivitas pemasaran.

“Media sosial bisa dipakai mulai dari kegiatan PR guna membangun pencitraan positif perusahaan, customer service, hingga menjadi alat untuk mengakuisisi pelanggan,” jelasnya.

Media sosial pun sudah tidak bisa dihindari karena konsumen ada di situ. Sayangnya, tidak jarang perusahaan pun pusing dengan apa yang harus mereka lakukan. Seringkali, perusahaan bingung harus membuat akun media sosial berapa banyak, lantaran banyak sekali aktivitas yang bisa dilakukan di dalamnya.

Nukman pun menekankan bahwa perusahaan harus memiliki strategi yang lebih besar dari sekadar membuat akun di media sosial. Maksudnya, dalam membuat akun di media, perusahaan harus serius menggarapnya dengan tujuan dan fokus yang besar. Tidak asal-asalan dan dicampur-adukkan semua tujuan dalam satu akun. Akun untuk PR-ing dan CS misalnya -harus dipisahkan.

“Paling tidak, beberapa perusahaan yang serius menggarap kanal ini memiliki dua akun sosial media. Untuk PR dan marketing. Seperti Twitter XL (@XL 123 dan @XLCare), Indihome milik Telkom (@TelkomCare dan @TelkomPromo). Tapi ada juga yang tidak mau repot dan hanya membuat satu, seperti Garuda Indonesia (@IndonesiaGaruda). Dalam hal ini, tidak ada yang ideal. Yang ideal adalah strategi media perusahaan yang bisa melayani pasar dengan baik. Satu atau dua? Tergantung,” lanjut Nukman.

Memahami fungsi masing-masing media sosial

Bagi Nukman, hal pertama yang paling penting adalah memahami fungsi media sosial yang dipakai dan memahami siapa penggunanya. Seperti Facebook, fungsinya lebih ke pertemanan (jejaring pertemanan). Hampir semua aktivitas bisa dilakukan di sana, khususnya dalam menjalin engagement.

Kalau di Twitter, sifatnya bukan sosial networking tapi lebih pada information networking. Basisnya adalah informasi. Jadi, tidak berteman tidak masalah. Aktivitas customer service cocok di sini karena pergerakannya cepat dan semua terlihat di timeline dan tidak mudah tenggelam.

Sementara untuk menggelontorkan berbagai aktivitas seputar kampanye marketing bisa menggunakan Instagram. “Perusahaan B2C fokus saja di FB, Twitter, Instagram, dan produk Google (YouTube, Google+, dan kawan-kawannya) karena penyebaran konten yang lebih baik,” pesannya.

Itu pun penggunaannya tergantung dari mediumnya. Misalnya, di FB lebih tepat menyuguhkan konten teks dan gambar, tidak untuk video. Tapi jika ada hal lain yang perlu diterangkan lebih jelas melalui video atau animasi, maka pakailah YouTube dan IG. “Konten berdurasi 30 detik saat ini masih menjadi yang paling efektif. Lebih dari itu, orang sudah tidak konsen. Kecuali berformat film,” terangnya.

Terkait cetak biru, Nukman mengatakan perusahaan harus memiliki strategi. Itu harus bisa dijabarkan bagaimana hal tersebut dilakukan di media sosial. Contoh, objektif perusahaan tahun ini apa? Tentu, mereka akan melakukan strategi marketing. Di dalamnya, harus diimplementasikan dengan strategi marketing di media sosial. “Merek harus tahu bahwa strategi di luar media sosial itu tidak interaktif. Sebab itu, perusahaan harus paham betul prinsip-prinsip di dalam media sosial,” kata Nukman.

Nukman menambahkan, orang yang sudah memakai media sosial biasanya jarang menonton televisi, membaca koran, dan mendengarkan radio. Mereka lebih akrab dengan gadget ketimbang desktopnya. “Sebab itu, apa pun kampanye marketing yang ingin dilakukan, merek harus akrab dengan desain perangkat mobile tersebut,” tutupnya.

Editor: Sigit Kurniawan

Related