WOOD Siap Bersaing di Pasar Fesyen Pria Urban

marketeers article

Bagi pria urban, fesyen telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gaya hidup masa kini. Seraya memahami hasrat tersebut, Delamibrands meluncurkan flagship store pertama Wood sekaligus memperkenalkan wajah baru merek kaum Adam itu ke pasar ibu kota.

Merek Wood pada awalnya lahir pada tahun 1979 sebagai merek pants (celana panjang) dari PT Delami Garment Industries, sebuah perusahaan manufaktur tekstil yang berbasis di Bandung, Jawa Barat. Kala itu, Wood hanya dijual di berbagai department store. Ketika perusahaan yang didirikan Johanes Farial ini memutuskan untuk beralih sebagai perusahaan ritel pakaian, seluruh merek di bawah Delami satu per satu mengalami repositioning.
 
Salah satunya adalah Wood yang selama lima tahun terakhir berhasil mereposisi dirinya sebagai merek apparel lengkap bagi pria urban usia 25 hingga 40 tahun. Keberhasilan itu dibuktikan Delami dengan meluncurkan flagship store pertama Wood yang terletak di Grand Indonesia Shopping Town – East Mall lantai 3. Gerai ke-18 seluas 138 m2 ini menjadi langkah keseriusan Delami menggarap fesyen pria kelas menengah atas.
 
“Selama lima tahun terakhir, kami melihat bahwa pasar pria yang kami bangun sejak dulu, kini telah didominasi kaum tua usia 60an. Tentu, hal itu tidak baik bagi merek Wood sendiri. Kami ubah pasarnya menjadi lebih muda dengan segmentasi kalangan mapan perkotaan,” kata Director Marketing Delamibrands Boysanto Pasaribu kepada Marketeers, Jumat, (27/3/2015).
 
Selain pasar yang berubah, desain fesyen yang diusung pun turut mengalami penyesuaian. Boy menuturkan, Wood menawarkan busana pria dengan koleksi lengkap, mencakup busana formal maupun busana kerja kasual seperti blazer, kemeja, polo shirt, tas, dasi, sepatu, jam tangan, dan lainnya. Dengan target pasar itu, Wood menyadari bahwa busana bergaya slim fit menjadi identitas kalangan eksekutif muda saat ini.
 
“Blazer kami dibanderol seharga mulai dari Rp 1 juta. Dikerjakan secara piece by piece, dan bukan produksi massal. Artinya, produksi kami eksklusif dan tidak pasaran. Kisaran harga yang kami tawarkan mulai dari Rp 300 ribu hingga Rp 4 juta,” terangnya.
 
Dalam meningkatkan brand image sebagai pakaian pria mapan, Wood melakukan serangkaian kolaborasi dengan berbagai merek internasional. Di antaranya dengan jam tangan Nixon, kaca mata Ray-Ban, dan sepatu Adidas. Untuk Adidas, Boy mengklaim, Wood berhasil menawarkan produk yang sulit ditemukan di ritel resmi maupun reseller Adidas yang ada di mal-mal ibukota.
 
“Tak hanya itu, kami juga melakukan investasi besar dalam hal interior dengan memanfaatkan kayu asli untuk lantai dan dinding. Ini dilakukan untuk memberikan pengalaman merek Wood yang sesungguhnya kepada pelanggan,” ujar pria yang sudah 17 tahun bekerja di Delamibrands ini.
 
Menyoal kompetisi ritel fesyen yang kiat sengit di Jakarta lantaran masifnya serbuan ritel asing seperti Zara, P&B, H&M, dan Uniqlo, Boysanto menanggapinya dengan santai. Ia berpendapat, seharusnya merek-merek lokal lah yang lebih mengerti pasar dan tahu kebutuhan terdalam konsumen di negerinya sendiri.
 
“Kami berani berkompetisi dengan merek asing. Dari segi kualitas, kami punya craftmanship yang jauh lebih unggul. Dari segi warna dan tren, kami bermitra dengan konsultan asal New York. Dari segi harga, kami menawarkan produk yang terjangkau di segmennya,” tutur Boy.
 
Tentunya, lantaran menyasar kelas berkantong tebal, ekspansi Wood tak segencar saudara kandungnya The Executive yang menyasar kelas menengah. Selain Grand Indonesia, gerai Wood terletak di mal-mal kelas A, di antaranya Kota Kasabalanka, Pondok Indah Mal, Senayan City, dan Mal Kelapa Gading. Ke depan, pihak Delami akan memanfaatkan peluang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebagai pintu masuk Wood berekspansi ke kawasan regional.
 
“Kawasan regional memiliki tipikal konsumen yang sama, seperti ukuran tubuh dan seleran. Hanya saja, warna kulit agak sedikit berbeda. Asal tahu saja, kami telah hadir di Malaysia dan Singapura, dan berencana membuka cabang di Vietnam, Filipina, dan Thailand seiring dengan diberlakukannya MEA itu,” tuturnya.
 
Selain Wood dan The Executive, Delami juga memiliki merek lain, seperti Et Cetera, Wrangler, Lee, Tirajeans, Colorbox, Choya, dan Jockey. Sebelumnya, Ia mengantongi lisensi penjualan dan distribusi merek internasional Billabong. Akan tetapi, kata Boy, pihaknya telah tidak lagi bekerja sama dengan Billabong lantaran ritel asal Australia itu telah mengalami penurunan penjualan di hampir seluruh negara di dunia.
 
Dari semua merek fesyen yang ada di bawah naungan Delami, Boy bilang, Wood merupakan merek yang paling agresif angka pertumbuhannya. Dalam lima tahun terakhir, Wood bisa tumbuh 40% setiap tahun, sedangkan merek lain 20-25% per tahun.

Related