Itu adalah hasil survei pribadi saya ketika berada di Portugal. Waktu itu, saya diundang bicara sebagai keynote speaker oleh Rui Ribeiro di sebuah Konferensi Tahunan Marketing di Porto. Porto adalah kota kedua setelah Lisbon.
Kotanya sangat cantik karena banyak gedung tua ditambah sungai Duomo yang bisa dilayari yacht besar. Di luar dugaan saya, ternyata orang Portugal itu sangat sopan, ramah, dan bersahabat. Mereka jauh lebih ramah dari pada orang-orang Eropa lain pada orang Asia termasuk orang Indonesia.
Kekawatiran saya bahwa Portugal pernah bermusuhan dengan Indonesia masalah Timor Leste ternyata tidak terbukti. Apalagi pada saat ini, Eropa lagi krisis sedang Asia sedang berjaya. Sesuai dengan kebiasaan, saya selalu datang dua hari sebelumnya kalau saya diundang bicara di sebuah kota yang ‘baru’ buat saya.
Tujuannya tidak lain adalah mempelajari situasi setempat termasuk ‘local wisdom’ yang berkembang. Rui Ribeiro ada miripnya dengan saya. Dia baru mulai dengan perusahaan Konsultan Pemasaran QSP sejak lima tahun yang lalu.
Dia ‘menemukan’ nama saya di internet dan tertarik pada konsep Marketing 3.0 karena itu lantas mengundang saya. Walaupun hanya dibantu empat orang staf, dia mampu mengorganisir sebuah The QSP Summit yang selalu dihadiri 500 orang tiap tahun. Separuhnya datang dari Lisbon yang ibukota negara.
Rui tahu dari internet juga bahwa saya mendirikan MarkPlus Inc pada 1 Mei 1990 dan sekarang punya staf lebih dari 260 orang. Dia juga tahu bahwa The MarkPlus Conference diselenggarakan tiap tahun dihadiri 5.000 orang. Kayaknya dia mau ‘belajar’ dari saya bagaimana jadi seorang ‘knowledge entrepreneur’ di bidang Marketing.
Saya bilang kepadanya, sampai lima tahun MarkPlus Inc didirikan dari Surabaya yang juga kota kedua di Indonesia, saya juga hanya dibantu empat orang. Bahkan waktu itu, saya belum pernah sampai sekarang pun tidak pernah menyelenggarakan The MarkPlus Conference di Surabaya. Di Era Krisis Asia dulu, saya terus menyelenggarakan acara bulanan yaitu MarkPlus Forum yang sekarang bernama Marketeers Club di Jakarta dan Surabaya.
Waktu itu, saya malah memberikan penghargaan bulanan pada perusahaan yang tetap kreatif di masa krisis untuk memacu semangat. Nah, itulah yang dilakukan Rui Ribeiro dengan tetap menyelenggarakan The QSP Summit walaupun Eropa, termasuk Portugal lagi kena krisis ekonomi yang hebat.
Sebagai keynote speaker, tugas saya adalah membuat suasana jadi meriah dan memberikan arahan keseluruhan. Nasehat Rui pada saya adalah bicara bola sebagai ice-breaker. Dia brief saya bahwa kesebelasan Porto yang tuan rumah itu selalu ‘musuh bebuyutan’ dari Benfica yang bermarkas di ibukota Lisbon.
Karena yang datang waktu itu separuh-separuh, saya harus ‘fair’. Supaya lancar, saya harus menghafal skor terakhir hasil pertandingan antara dua kesebelasan itu. Benfica baru mengalahkan Porto 3-2. Walaupun sebelumnya Porto pernah mengalahkan Benfica dengan 2-0.
Dan, benar juga ternyata. Begitu saya bicara soal bola, langsung saja pengunjung bertepuk tangan.Pertama, mereka memang mendukung masing-masing kesebelasan.Tapi, mereka juga menghargai orang asing seperti saya yang ter-update soal hasil bola mereka.
Selanjutnya, tentang Marketing 3.0, saya tekankan pentingnya sebuah negara yang sedang krisis ‘balik’ ke Human Spirit. Tapi, saya juga mengikuti pesan Rui sebelumnya. Walaupun mayoritas orang Portugal itu resminya Katolik, tapi jangan bicara terlalu banyak tentang agama. “They will not buy your message, if you talk too much about Christianity.“
Saya baru sadar bahwa Portugal dan kebanyakan negara Eropa memang bukan Kristen lagi. Mereka hanya Kristen secara statistik. Mereka jarang ke Gereja di hari Minggu walaupun di masa krisis yang hebat. Itu memang makin terbukti. Keesokan harinya, saya mampir ke Fatima yang terletak di tengah perjalanan ke Selatan dari Porto ke Lisbon.
Sebagai orang Katolik, saya ingin mampir ke tempat penampakan Bunda Maria di Fatima. Untuk melengkapi kunjungan rohani saya ke dua tempat penampakan lain yaitu Lourdes di Perancis dan Guadalupe di Mexico City. Ke Fatima,saya diantar seorang staf Rui bersama istrinya yang lagi hamil. Mereka memang ingin ke Fatima untuk mendoakan anak mereka yang ada di perut.
Yang menarik, ketika saya bertanya pada pemilik restoran dan toko di Fatima. Selama Krisis ternyata, pengunjung turun. Omzet mereka juga ikut turun. Sampai di Lisbon, saya juga diantar untuk memasuki Stadion Benfica yang terkenal itu.
Ketika beli Jersey resminya, saya juga bertanya tentang pengaruh Krisis ke sepakbola. Eh, ternyata, jumlah penonton malah naik, apalagi Benfica lagi menang terus. Rupanya Stadion sepak bola sudah jadi ‘gereja baru’ di Portugal.
Nonton Sepakbola bisa membuat mereka melupakan Krisis Eropa sejenak. Jawaban yang sama, juga saya dapatkan ketika saya mampir di Nou Camp Stadionnya Barcelona. Makin banyak orang beli Jerseynya Barca dan nonton pertandingan di saat Krisis. Padahal di Asia, waktu krisis terjadi, hampir semua orang mendadak jadi makin religius.
Makin banyak yang ke Masjid, Gereja, dan Kuil di seluruh Asia. Itulah bedanya Asia dengan Eropa, juga Amerika yang juga sama saja. Karena itulah Paus Benediktus XVI yang orang Jerman jadi pusing akan ‘turun’ nya ke Kristen an orang Eropa.
Tapi, kenapa “Marketing 3.0: From Product to Customer to Human Spirit” juga laris di Barat termasuk Eropa. Di Portugal, saya malah melihat stiker khusus dengan nama saya sebagai keynote-speaker The QSP Summit dipasang di cover semua buku yang terjemahan bahasa Portugis.
Terharu sih, karena nama saya ternyata juga dihargai di sana. Ternyata mereka suka buku itu, bukan karena aspek religiusnya. Tapi lebih karena Internet!
Di zaman yang serba transparan ini, memang tidak ada yang bisa disembunyikan dari customer. Sekali aja sebuah brand berbuat curang ke customer dan tersiar di Internet, maka susah sekali menghapusnya!
Tidak seperti di zaman media konvensional, di mana customer tidak bisa melihat file. Karena itulah,di Barat saya juga mengatakan saya bukan ahli agama yang sifatnya vertikal. Marketing 3.0 hanya ‘ngurusin’ aspek hubungan Marketer dan Brand dengan customernya yang bersifat horisontal.
Ekstrimnya, “I don’t care wether you are a believer or non-believer.The Point is please be honest to your customers.Don’t cheat them.“ Di Marketing 3.0, saya memang hanya bicara aspek ‘minanas’ atau horisontalnya aja. Karena itu, konsep ini jadi sangat universal justru di era Internet ini.
Bagaimana pendapat Anda?