Dalam persaingan pasar, setiap brand memiliki posisinya masing-masing dan hal ini perlu dipahami oleh setiap perusahaan. Dalam industri, ada yang disebut sebagai challenger brand atau brand besar atau kecil yang berusaha untuk menantang market leader.
Dengan segala usaha yang dimilikinya, challenger brand ingin dapat merebut market share yang selama ini dipegang oleh sang market leader.
Iwan Setiawan, CEO Marketeers yang juga CEO MarkPlus, Inc. dalam Program Analisis di kanal YouTube Marketeers TV membagi challenger brand ini ke dalam tiga kelompok, berikut pembahasannya:
1. A mindsetter
“Biasanya, challenger brand adalah a mindsetter, mereka leading the market change, mereka mencoba memengaruhi persepsi pasar agar meninggalkan market leader dan pelan-pelan menggerogoti pasarnya si market leader,” ujar Iwan.
Iwan menjelaskan cara untuk dapat menjadi ‘a mindsetter’. Pertama adalah customer management, berfokus pada segmen yang mau mencoba brand baru, karena tidak semua segmen senang mencoba sesuatu yang baru.
Segmen yang dimaksud oleh Iwan ini adalah Gen Z yang senang mencoba sesuatu baru karena mereka tidak peduli dengan market leader saat ini, mereka hanya mencari brand yang cocok dengan kebutuhannya.
Gen Z ini jauh lebih terbuka dibanding Millennial, jadi cobalah untuk mencari ide yang paling relevan dengan segmen tersebut.
“Carilah ide tersebut dan fokuskan seluruh positioning Anda pada ide tersebut. Carilah sebuah cerita yang memikat pemikiran Gen Z terhadap brand Anda,” tuturnya.
Misalnya parfum lokal Indonesia, HMNS, yang cikal bakalnya adalah sebuah storytelling yang dikemas sedemikian rupa untuk dapat relevan dengan segmen Gen Z.
BACA JUGA: 6 Tips Marketing, Tetap Relevan dan Garap Peluang Tahun 2024!
2. A Maverick
Kelompok challenger brand selanjutnya adalah ‘A Maverick’ yang selalu men-challenge aturan yang berlaku dalam industri.
“Mereka (a maverick) selalu mencoba men-challenge status quo. Mereka tidak percaya dengan prinsip-prinsip marketing yang sudah dianggap best practice di industri,” jelasnya.
Iwan menyatakan bahwa biasanya mereka menciptakan product management yang sangat inovatif, mulai dari penciptaan pengalaman baru hingga go-to-market atau cara jualan yang baru untuk menjual produk baru tersebut.
Contohnya adalah BoboCabin dari Bobobox yang memberikan alternatif dengan experience baru bagi orang yang ingin traveling. Pengunjungnya tidak lagi menginap di hotel konvensional biasa, tetapi mengajak pengunjung tinggal di tengah alam dengan fasilitas berteknologi tinggi.
3. A crossover
Challenger brand biasanya cenderung pindah ke kategori lain untuk mempromosikan atau membangun brand mereka. Iwan menyebutnya sebagai positioning in other markets.
“Biasanya, brand-brand ini tidak hanya melakukan promosi di kategorinya sendiri, tetapi mencoba untuk pindah ke kategori lain yang less crowded dan mungkin tidak ada kompetitornya,” jelas Iwan.
Iwan menjelaskan bahwa ‘A Crossover’ ini biasanya memiliki brand management yang fokus pada dua hal, yaitu cross-category marketing atau melakukan pemasaran di segmen industri lain dengan menerapkan obsessed with collaboration atau ber-partnership dengan brand-brand lain yang lebih besar.
Contohnya adalah Dermies by ERHA, produk skincare yang berkolaborasi dengan Teh Botol Sosro untuk menciptakan produk skincare atau perawatan kulit yang memiliki nuansa Teh Botol Sosro sebagai brand yang jauh lebih besar dari Dermies by ERHA.
Kolaborasi ini membuat kedua brand lokal ini memiliki peluang untuk masuk ke kategori lain, menjangkau para audiens dari brand yang berkolaborasi, sekaligus memperluas pasar yang dimiliki.
Itulah tiga kelompok challenger brand yang dapat merebut pangsa pasar yang dimiliki oleh market leader.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz
BACA JUGA: Berapa Marketing Budget Plan yang Tepat untuk Tahun 2024?