Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tinggal menghitung hari. Setiap calon presiden, wakil presiden, hingga legislatif berlomba-lomba melakukan politik marketing yang menarik.
Memang aktivitas yang dilakukan para tokoh politik ini tidak jauh berbeda dengan para pebisnis, memasarkan pesan pemasaran kepada target audiens yang tepat.
Ignatius Untung, Praktisi Marketing dan Behavioral Science, dalam program Market Think di kanal Youtube Marketeers TV menjelaskan secara mendalam bagaimana ilmu marketing berperan penting dalam berpolitik.
“Marketing adalah ilmu yang universal. Hampir apapun produknya atau kategorinya, ilmu yang sama bisa diterapkan, tinggal adaptasi konteks sedikit,” ujar Untung.
Menurut Untung, ilmu marketing ini tidak hanya cocok untuk bisnis, tetapi juga cocok untuk para tokoh politik.
Dalam konteks politik, politik marketing bertujuan untuk mempersuasi masyarakat agar memilih tokoh politik yang sesuai dengan aspirasinya.
Sebelum melakukan marketing, para tokoh politik tentu perlu membuat ramuan yang menjadi sebuah brand yang melekat dengan tokoh tersebut.
Hal ini dilakukan melalui strategi branding. Setelah brand terbentuk, maka politik marketing pun diterapkan untuk menyebarluaskan dan menjual ramuan tersebut agar dapat mempersuasi target pasar.
BACA JUGA: Kenali 6 Komponen Branding yang Membentuk Suatu Brand
Strategi Behavioral Marketing dalam Politik
Untung menjelaskan lima behavioral marketing yang banyak digunakan sebagai strategi politik marketing dan bisa diterapkan dalam dunia bisnis. Berikut penjelasannya:
1. Mere-exposure effect
“Mere-exposure effect adalah tentang tendensi manusia untuk memilih sesuatu yang familiar ketimbang yang kurang familiar,” ujar Untung.
Menurut Untung, suka tidak suka hal ini banyak dilakukan tanpa sadar di berbagai sesuatu. Misalnya saja, ketika Anda menerima penempatan kerja, maka Anda akan lebih memilih tempat penempatan yang paling familiar.
Hal ini dikarenakan otak selalu berusaha untuk bertahan dengan mencari cara yang aman dengan menemukan berbagai clue yang dapat dinilai dan paling sesuai.
Contoh clue ini bisa saja reputasi brand, packaging yang unik, nama yang familiar, harga yang tinggi, dan lain sebagainya. Namun nyatanya, tidak semua orang mengetahui lebih detail setiap penawaran yang ada.
Oleh karena itu, politik marketing yang dekat dengan fenomena ini adalah dengan mencari familiarity untuk mengetahui seberapa familiar Anda dengan suatu brand.
“Hal yang terpenting adalah membangun familiarity dengan persepsi yang benar, bukan sekedar asal nongol dan tenar. Familiarity itu bikin sesuatu yang mudah diingat tetapi perlu juga dijaga, kita ingin diingat sebagai apa. Jadi nggak bisa sekedar familiar doang,” jelas Untung.
Contoh familiarity ini adalah capres yang punya hobi berlari atau suka berdialog dengan cara yang berbeda dari capres lainnya.
2. Halo effect
Salah satu aktivitas politik marketing yang dilakukan oleh tokoh atau partai politik adalah dengan menggandeng selebriti.
“Yang ingin didapatkan dari selebriti adalah exposure karena selebriti punya banyak pengikut yang menempel dengan sosok selebriti, sehingga bisa mendapatkan akses dan ekstra exposure dari selebriti tersebut,” tuturnya.
Hal ini bisa menjadi cara yang paling murah bagi tokoh politik karena tidak perlu keluar uang untuk bayar selebriti. Biasanya selebriti tersebut bisa saja ditawarkan dengan satu kursi legislatif.
Sosok selebriti ini dapat menciptakan halo effect atau kecenderungan kita untuk menilai sesuatu atau seseorang yang kita kagumi di satu bidang sebagai orang yang juga kredibel di bidang lain.
Anggapannya adalah jika ada selebriti sukses memilih capres tertentu, maka dapat diasosiasikan bahwa pilihannya juga tentu bagus dan tepat.
Padahal hal ini tidak selalu ada hubungannya, bukan? Selebriti yang sukses bukan berarti pandai dalam memilih capres yang paling tepat untuk suatu negara.
Namun, itulah kerja otak kita dalam melihat politik marketing yang ingin mencari jalan pintar untuk menghemat energi.
“Politik marketing dengan selebriti boleh, tetapi tidak bisa asal selebriti karena brand diingat dan dipilih atas asosiasinya. Kalau adal tenar, ini bisa bahaya,” ucap Untung.
Untung juga menegaskan bahwa pilihlah selebriti yang sejalan dengan nilai dari tokoh atau partai politik yang akan dipromosikan.
BACA JUGA: 6 Strategi Branding di Media Sosial untuk Tahun 2024
3. Social influence
Tidak hanya bisnis yang menggunakan buzzer, politik marketing juga umumnya memanfaatkan buzzer untuk menciptakan kesan bahwa tokoh politik tertentu dipilih dan disukai oleh banyak orang, walaupun sebenarnya tidak demikian.
Pemilih yang sebelumnya belum menentukan pilihan bisa saja mempertimbangkan social influence dari buzzer yang ada di media sosial ini.
Kembali lagi bahwa hal ini menjadi salah satu cara cepat untuk menentukan pilihan, meskipun sebenarnya tidak mengetahui utuh mana tokoh yang paling bagus.
Social influence ini menjadi referensi yang kita cari dan sama halnya ketika kita mencari referensi restoran terbaik untuk dikunjungi.
Untuk mengingatkan bahwa buzzer ini tidak boleh asal ramai saja, harus juga menunjukkan kredibilitas dari setiap informasi yang disampaikan.
Jika informasinya buruk, maka ini bisa menjadi bumerang yang membuat orang tidak mau memilih.
“Buzzer baiknya digunakan untuk amplification channel saja, artinya pesan yang diamplifikasi harus punya nilai jual, jangan sampai jadi pabrik hoax saja walaupun selalu saja ada yang termakan hoax, tetapi jika ketahuan, maka brand reputation bisa hancur,” tegas Untung.
Oleh karena itu, social influence dalam politik marketing ini harus sesuai dengan realita yang sebenarnya.
4. Illusory truth effect
“Illusory truth effect adalah kecenderungan manusia untuk menerima sesuatu yang terus berulang sebagai suatu kebenaran,” jelas Untung.
Konsep ini juga banyak digunakan oleh buzzer dan tokoh politik. Misalnya ada tokoh politik yang mencoba turun ke rakyat sebanyak mungkin dan dijual ke masyarakat secara terus-menerus.
Memang informasi ini adalah realita, namun karena terus disebarluaskan, maka kesannya seperti difabrikasi. Oleh karena itu, kesannya menjadi negatif karena bisa saja informasi yang digunakan bukan yang sebenarnya.
Politik marketing ini hampir mirip dengan penggunaan buzzer yang harus sangat hati-hati karena mempertaruhkan kepercayaan publik.
BACA JUGA: 5 Taktik Political Marketing, Strategi Raup Banyak Suara di Pemilu 2024
5. Experiential marketing
Ilmu marketing yang satu ini sangat umum digunakan dalam politik marketing dalam bentuk off air event, seperti mengunjungi pasar, bertemu warga, kunjungan ke daerah, hingga kampanye akbar.
Aktivitas ini memberikan pengalaman langsung kepada para pemilih untuk bisa merasa dekat dan berinteraksi langsung dengan tokoh yang ingin dipilihnya.
“Hal ini juga bisa membuktikan apakah benar tokoh tersebut sebagus dan sebaik yang dilihat di media,” ujarnya.
Kekuatan dari politik marketing yang satu ini dibanding yang lain adalah sensory marketing ketika berinteraksi dan berdialog secara langsung, selfie bareng hingga bersalaman.
Kekuatan yang dirasakan ini sama halnya ketika mengikuti konser secara langsung dibanding menonton konser di YouTube.
Semakin banyak indra yang terlibat, maka kesan yang ditinggalkan akan semakin kuat, sehingga mudah diingat.
Namun, satu hal yang penting diingat adalah ada banyak hal di lapangan yang mungkin tidak sesuai dengan rencana, terutama dari keramaian yang ada.
Jika salah bersikap, maka sikap tersebut bisa saja diingat dan terus diputar oleh media, bahkan menjadi bahan omongan yang berlarut-larut.
Kesimpulannya, politik adalah sebuah kategori produk yang juga butuh ilmu marketing. Apapun yang terjadi dalam politik marketing tentu juga bisa diimplementasikan di dunia bisnis.
Marketer yang jago marketing adalah seseorang yang bisa menerapkan framework ilmu marketing untuk berbagai jenis kategori dan produk.
BACA JUGA: 6 Langkah Membuat Content Marketing Strategy, Jitu dan Tepat Sasaran!