55% Orang Indonesia Khawatir Pekerjaannya Tergantikan AI

marketeers article
Ilustrasi artificial intelligence, sumber gambar: 123rf

Populix, perusahaan riset berbasis online kembali mengeluarkan hasil riset terbaru bertajuk Indonesia 2023 A.I. Living Landscape. Dalam laporan tersebut sebanyak 55% orang Indonesia mengaku khawatir pekerjaannya tergantikan oleh teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Co-Founder dan CTO Populix Jonathan Benhi menuturkan penelitian dilakukan dengan menggabungkan beberapa metode, termasuk interview, review literatur, dan survei online pada bulan September 2023. Survei dilakukan selama dua minggu secara online melalui platform Poplite by Populix terhadap total 1.246 responden laki-laki dan perempuan Gen Z serta Milenial di Indonesia.

BACA JUGA: Manfaatkan AI, Pertamina Tambah Pendapatan Negara Rp 3,7 Triliun

Jonathan menyebut teknologi AI mengalami kemajuan yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir sehingga makin memanjakan aktivitas sehari-hari. Kendati demikian, terlepas dari kenyamanan dan efisiensi yang ditawarkan, terdapat juga kekhawatiran di antara masyarakat Indonesia mengenai etika, privasi, dan dampak teknologi ini terhadap masa depan dunia kerja.

“Kekhawatiran terhadap pemanfaatan AI yang dapat menggantikan peran manusia di lingkup pekerjaan tampak besar. Ketakutan masyarakat akan kehilangan pekerjaan kemudian berdampak pada ketidakpuasan kerja dan meningkatnya stres,” kata Jonathan melalui keterangannya, Kamis (30/11/2023).

BACA JUGA: IBM: 43% CEO Gunakan AI Generatif untuk Keputusan Strategis

Menurutnya, AI merupakan pedang bermata dua. Selain menawarkan potensi yang sangat besar, pemanfaatan teknologi ini juga memiliki segudang risiko.

Tak hanya ancaman terhadap berkurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia, AI juga menimbulkan kekhawatiran dari sisi privasi, keamanan, hingga bias. Teknologi AI yang berasal dari mesin pembelajaran membawa risiko bias dan diskriminasi ketika dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan dalam konteks perekrutan tenaga kerja, persetujuan pinjaman, dan peradilan pidana.

Sementara itu, pengumpulan dan pemanfaatan data pribadi secara ekstensif untuk pengaplikasian teknologi AI menimbulkan pertanyaan tentang privasi data. Hal ini berpotensi pada pelanggaran data hingga penyalahgunaan informasi pribadi.

Lebih dari itu, makin canggihnya serangan siber yang didukung AI pun turut membawa ancaman serius terhadap keamanan online. Dengan minimnya keterampilan literasi internet yang diajarkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, risiko penipuan yang didukung AI menjadi makin meresahkan.

“Untuk itu perusahaan-perusahaan di Indonesia perlu mengambil serangkaian upaya untuk memastikan penggunaan AI yang bertanggung jawab. Misalnya, untuk mengurangi risiko bias dalam penggunaan AI, perusahaan dapat melakukan audit pada data yang digunakan untuk melatih model AI,” ujarnya.

Selain itu, Jonathan bilang perlunya memastikan pengumpulan data dan pelabelan data bersifat netral serta mencakup representatif demografi yang merata. Pada tahap desain dan pengembangan model AI, perusahaan juga perlu menetapkan pedoman etika yang jelas dan sejalan dengan nilai-nilai masyarakat dan standar hukum yang berlaku, serta melakukan uji coba dan pengecekan secara berkala untuk mendeteksi masalah-masalah keamanan dan privasi yang berpotensi timbul di kemudian hari.

Hal terakhir yang perlu diperhatikan oleh perusahaan adalah memastikan transparansi dengan memberikan penjelasan terperinci mengenai cara sistem AI beroperasi dan mengambil keputusan. Dengan menerapkan serangkaian upaya-upaya ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia diharapkan dapat makin berkembang dengan dukungan dan penerapan AI yang bertanggung jawab.

Sementara itu, kabar baiknya yakni AI banyak dimanfaatkan untuk membuat konten, termasuk konten iklan. Dengan dukungan AI, perusahaan dapat memanfaatkan big data untuk menyesuaikan pesan iklan dengan preferensi individu, sehingga menciptakan konten yang lebih relevan bagi audiens. 

Personalisasi ini tidak hanya meningkatkan pengalaman pengguna secara keseluruhan, tetapi juga menghasilkan iklan dengan konsep unik dan menarik minat mereka.

Bahkan, hasil survei menyebut sebanyak 37% responden mengatakan tertarik dengan iklan yang didukung oleh AI dan menganggapnya sebagai bagian dari pengalaman digital mereka. Tidak hanya itu, lebih dari sekedar personalisasi iklan dan marketing, AI juga kerap digunakan untuk proses pengambilan keputusan algoritmik di berbagai sektor, seperti persetujuan pinjaman dan rekrutmen kerja.

“Diperlukan penerapan AI yang bertanggung jawab dengan mengedepankan prinsip-prinsip etika dan transparansi di sepanjang siklus hidup AI. Tujuannya adalah untuk memastikan sistem AI tidak hanya unggul secara teknis, tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai sosial dan standar etika yang berlaku di Indonesia,” tutur Jonathan.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related